DISFUNGSI NEGARA DALAM KONFLIK REMPANG

AGITASI.ID – Penggusuran paksa telah menjadi masalah berkepanjangan di Pulau Rempang, dan telah dilakukan relokasi pada tanggal 25 September, Senin lalu. Namun, keluarga besar adat Melayu Tempatan 16 Tua Pasir Panjang, tetap menolak sejengkal penggusuran demi Proyek Strategis Nasional (PSN).

“kami menolak dengan tegas sejengkal pergeseran, perpindahan, relokasi atau penggusuran atau pengosongan dari tanah tumpah darah nenek leluhur kami. Apapun bentuknya, apapun terminologinya tanpa syarat” ujar salah satu warga Rempang dalam video yang diunggah oleh akun YLBHI Senin lalu.

Bacaan Lainnya

Meskipun penolakan telah disuarakan dan disampaikan langsung oleh warga Rempang, selaku pemilik hak ulayat (hak tanah masyarakat adat). Pada akhirnya keputusan relokasi pemerintah tetap kukuh bertempat di pulau Rempang. Apa iya, pemerintah setuli itu untuk tidak mendengar suara rakyat kecil? Wahh ini parah nih.

Melihat hal tersebut (penggusuran masyarakat adat dan tidak respon terhadap suara rakyat), mencerminkan bagaimana ketidak pedulian negara terhadap Pancasila sebagai ideology. Untuk memahami konteks penggusuran ini, penting kiranya untuk mengkaji lebih lanjut asal-usul Pancasila. Pancasila merupakan “lima prinsip” yang diadopsi sebagai landasan filsafat negara Indonesia pada tahun 1945. Lima prinsip tersebut mencakup Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Indonesia yang bersatu, Demokrasi yang berpedoman pada konsensus, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apabila diperhatikan, agaknya Indonesia hanya sekedar berkomitmen saja terhadap Pancasila. Penggusuran Rempang menunjukan ketidak pedulian negara terhadap prinsip-prinsip tersebut. Konflik penggusuran warga Rempang yang berkepanjangan, kurangnya kompensasi yang layak, pilihan perumahan alternatif, dan abai terhadap kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak, semuanya mengarah pada kegagalan negara dalam menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, bak kacang lupa kulit.

Baca Juga :  Komnas HAM dan Kejagung Pasti Saling Lempar Tangani Kasus Munir, Suciwati Mengharap Presiden Serius Menuntaskannya

Implikasi Sosial-Ekonomi Penggusuran di Rempang

Apabila dikaji lebih dalam, dampak sosial-ekonomi yang muncul akibat penggusuran di Rempang, secara signifikan menimbulkan kesenjangan antara cita-cita Pancasila dan realita di lapangan. Kok bisa? Bisa kok. Lihat saja, Pancasila yang mulia agung senantiasa menekankan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga Indonesia. Namun, cerita berbeda ditunjukkan dengan adanya penggusuran masyarakat adat.

Tentu, penggusuran ini berdampak besar terhadap kaum marginal (terpinggirkan), seperti masyarakat berpendapatan rendah dan kelompok minoritas yang sering kekurangan sumber daya juga dukungan untuk melawan pengungsian secara efektif. Akibatnya, mereka harus bergulat dengan hilangnya rumah, mata pencaharian, dan jaringan sosial.

Tidak hanya itu, penggusuran ini juga mengganggu perekonomian lokal dan memperburuk kesenjangan sosial-ekonomi, karena pada hakikatnya masyarakat lokal yang terdampak sering kali bergantung pada perekonomian informal yang terkait langsung dengan tempat tinggal mereka. Terbukti sudah, bahwa penggusuran di Rempang tidak hanya melanggar (abai) prinsip-prinsip Pancasila, tapi juga melanggengkan kesenjangan sosial-ekonomi yang ada dalam masyarakat Indonesia. Khususnya warga Rempang itu sendiri.

Ihwal keterjaminan HAM pula, Rempang tak bisa berharap lebih. Indonesia sudah melupakan Pancasila secara sistematis, sudah barang tentu bahwa negara juga LUPA akan adanya Hak Asasi Manusia (HAM). Katanya Pancasila, setiap warga negara berhak atas perumahan yang layak, keamanan, dan penghidupan yang layak.

Namun tindakan yang diambil untuk menanggapi kasus ini, justru melanggar Hak Asasi Manusia. Kegagalan dalam menaati prinsip-prinsip Pancasila menimbulkan kekhawatiran serius terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi Hak Asasi warga negaranya. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini melemahkan landasan demokrasi Indonesia karena mengatasi konflik tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila. Ini sih namanya menangani masalah dengan masalah.(*)

Baca Juga :  Kekerasan Seksual Anak dan Advokasi Narsistik KOPRI PC PMII Jember

Penulis : Ronven Apriani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *