TRADISI PENDIDIKAN PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR

AGITASI.ID – Gontor punya banyak alumni yang tersebar di berbagai organisasi Islam. Rata-rata memegang tampuk kepemimpinan. Mulai dari yang paling keras atau ekstrim macam KH. Abu Bakar Baasyir, sampai paling moderat macam Dr. Nurcholis Madjid, dari yang memimpin Nahdyiyin (DR. Idham Chalid, KH. Hasyim Muzadi, dll) sampai yang mengetuai Persyarikatan (Dr. Dien Syamsudin dll). Yang model tarbiyah/PKS macam Hidayat Nurwahid sampai yang kultural macam Emha Ainun Nadjib.

Dari penerima Ramon Mangsangsay Award (KH. Hasanain Junaini), presiden aktivis HAM Internasional Habib Chirzin sampai pimpinan KPK macam Adnan Pandu Praja. Belum lagi yang aktivis Jaringan Islam liberal (JIL) sampai para pentolan INSIST yang puritan. Dari yang ketua MUI, Ketua MIUMI, ketua DDI, Mathaliul Anwar dst, sampai yang menteri agama (Lukman Hakim Saifudin & Maftuh Basyuni). Belum terhitung ratusan pengasuh/pemilik/pengelola pesantren dengan berbagai aliran (Az Zaitun Indramayu, Darunnajah Jakarta, As Salam Solo, Al Amien Prenduan dst) dan model pendidikan, puluhan rektor IAIN dan Perguruan Tinggi, dengan tidak mengesampingkan ribuan bahkan mungkin puluhan ribu para pendidik dan pemuka masyarakat.

Bacaan Lainnya

Sungguh, tepat seperti salah satu motto Gontor “Berdiri diatas untuk Semua Golongan”. Juga tepat seperti yang disampaikan Trimurti, kalau ada pesantren yang kiainya lebih terkenal dari pesantrennya, maka pesantren itu bukan pesantren yang ideal terutama dalam hal sistem pengelolaan dan optimalisasi pendidikan santrinya. Kalau ada pondok yang nama kiainya tak dikenal, tapi nama lembaga dan alumni-alumninya tenar sampai kemana-mana, maka sebenarnya pondok tersebut berhasil dalam pendidikan santrinya serta sistem pengelolaannya.

Dalam hal ini, saya yakin tidak banyak orang yang mengenal KH. Hasan A. Sahal, KH. Abd Syukri Zarkasyi, KH. Syamsul Hadi Abdan, KH. Masyhudi Subari dibandingkan nama-nama yang saya sebutkan sebelumnya. Tapi justru itulah kebanggaan dari Gontor. Mampu mendidik santri-santrinya ke tingkat yang lebih dari pendidiknya di bidang masing-masing.

Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat Gontor adalah Gontor? Mungkin ini adalah suatu pertanyaan yang tak akan mampu dijawab oleh siapapun secara utuh, meskipun sudah ikut khutbatul arsy berkali-kali, apalagi oleh santri mbetik yang kebanyakan protes kurang kontribusi macam saya ini. Tapi bagaimanapun saya ingin mencoba menuliskan apa kesan yang saya dapatkan dari kunjungan terakhir saya ke Gontor sambil mengenang dan memaknai apa saja kira-kira yang saya alami selama empat tahun di tempat yang dulunya sarang segala perbuatan kotor tersebut (Gontor = Nggon Kotor = tempat maksiat), sambil mengintisarikan apa saja yang secara sadar maupun tidak sadar telah ditanamkan jauh kedalam benak dan alam bawah sadar saya oleh terutama KH. Syukri Zarkasyi. Akan saya coba kupas satu persatu, mengenai apa yang disangka key success factors (tapi menurut saya justru bukan faktor penentu) yang membuat Gontor menelurkan sekian banyak aktivis di berbagai lini.

Baca Juga :  Gembar-Gembor “Hilirisasi Nikel”, Benarkah Untuk Indonesia Emas 2045?

BAHASA
Kalau dibilang Gontor unggul karena membekali kami dengan ilmu kunci, yaitu bahasa Inggris dan Arab (Gontor menggunakan bilingual Inggris dan Arab sejak dahulu kala sebelum yang lain sadar pentingnya bahasa), saya akan yang pertama protes. Hal itu tidak sepenuhnya benar, karena bahasa yang kami dapatkan bukanlah bahasa Arab dan Bahasa Inggris. kami secara umum mendapatkan bahasa Gontory.

Arab dan Inggris yang sudah bertrasnformasi sedemikian rupa sehingga seringkali hanya kami yang mengerti. Itupun pendalaman kami terhadap dua bahasa ini tidak juga saya rasa diatas rata-rata sekolah lain yang menggunakan bilingual. Meskipun ada banyak kursus bahasa independen yang dikelola santri, saya rasa tetap kurang tepat kalau menisbahkan keunggulan Gontor ke pendidikan bahasa. Kampung Inggris Pare yang awal mula berdirinya diprakarsai oleh pak Kailani yang alumnus Gontor itu jauh lebih baik dalam membekali bahasa, kalau persoalannya bahasa.

AQIDAH & IBADAH, MUAMALAH
Santri Gontor tidak pernah secara khusus dibekali ilmu-ilmu kasyaf, ilmu spiritual tingkat tinggi. Ibadah ada dalam segala aktivitas, itu kira-kira yang saya tangkap dari aktivitas keseharian di Gontor. Teman-teman di Pondok Pesantren lain ada yang jauh lebih mendalam, fokus dan khusuk di drill secara spiritual. Kami paling-paling sholat malam berjamaah di waktu-waktu tertentu, itupun dengan terkantuk-kantuk sambil menunggu momen yang lebih khusu’ adalah tajamuk makan mie instant di ember bekas cucian yang diaduk dengan hanger pakaian.

Secara Aqidah kami juga tidak pernah didoktrin satu bentuk akidah yang dicap paling benar. Bahkan waktu santri dulu kami suka rasan-rasan (dasarnya tukang protes) bahwa aqidah yang diajarkan di kelas awal dengan waktu kelas akhir tidak sepenuhnya sama (misalnya mengenai sifat Allah), meski juga tidak sepenuhnya bertentangan.

Buku Fikih yang kami pelajari adalah Bidayatul Mujtahid, yang dalam membahas satu permasalahan membahas dari pendapat yang paling ujung yang satu dengan ujung lain yang berbeda, dengan dalil masing-masing, dan tidak pernah menmutlakkan pendapat penulis sendiri. Tapi itupun saya haqqul yakin tak banyak santri yang sampai mengkhatamkan membacanya dari awal sampai akhir. Kami lebih diajarkan fathul kitab, cara merujuk permasalahan ke kitab, bukan menghafalkan atau bahkan tidak untuk sekedar membaca keseluruhan isi kitab. Justru karena Aqidah dan Fiqh yang diajarkan secara demikian, alumni Gontor bisa menyebar ke segala lini dan sendi umat Islam.

Di bidang Muamalah, kami juga biasa-biasa saja. Bergaul sebagaimana remaja pada umumnya. Tetap islami tentunya, tapi kami bukan kumpulan anak-anak sholeh yang selalu menundukkan pandangan pada lawan jenis, memelihara jenggot, melempar senyum dan salam dengan wajah teduh kepada siapa saja, makan dengan tiga jari, selalu menjaga kebersihan hati dan diri. Meskipun begitu kami juga bukan anak nakal yang tak tahu diri, tak mengerti adab sopan santun (asal tidak ada kaitannya dengan makanan, insyaAllah kami selalu sopan, hehehe). Kami santri baik-baik yang berusaha menjalankan tanggung jawab pimpinan dengan profesional, itu saja, tak lebih.

Baca Juga :  RESAH

Jadi kalau kesuksesan anak-anak Gontor dirujuk kepada keunggulan di tiga bidang tersebut, saya rasa kurang tepat juga. Tapi mungkin juga justru karena kami yang “biasa-biasa” saja di soal keislaman ini (atau mungkin lebih kerennya, bisa dikatakan “Tawasuth” moderat, tidak ekstrim), menjadikan para alumni lebih dapat istiqomah dalam memegang panji Islam.

KURIKULUM
Kami santri Gontor berkewajiban menempuh Kulliyatul Muallimin Islamiyah, semacam Sekolah Kejuruan untuk Para Pendidik Islam. Kurikulumnya unik, hanya dipakai oleh Gontor dan pondok-pondok yang berafiliasi ke Gontor (ada ratusan). Kurikulum yang berbeda ini sempat tidak diakui oleh sistem pendidikan Indonesia, sehingga ijazahnya tidak bisa dibuat mendaftar ke Perguruan Tinggi di Indonesia (di Mesir malah diakui). Tapi sekitar tahun 1998 (70 tahun setelah Gontor berdiri) akhirnya ijazah Gontor bisa diakui.

Diluar keunikannya, dan keefektifan metode pengajarannya, apakah benar kurikulum Gontor yang menjadikan santri Gontor beda dengan yang lain? Terus terang saya kok sangsi. mata pelajaran yang diberikan memang hal-hal yang mendasar, dan seringkali aplikatif dalam hidup. Lihat aja cerita Ahmad Fuadi dalam novel larisnya Negeri Lima Menara yang sampai difilmkan dan sukses di bioskop itu, dia banyak sekali merujuk prinsip-prinsip hidup sederhana tapi mendasar yang didapatkannya di Gontor. Man Jadda Wajada, Man Shobaro Dzhofiro, Man Saaro Alad Dharbi Wasola dan seterusnya.

Terus apa yang membuat saya sangsi? karena yang saya alami dulu, kami lebih banyak ngantukknya di kelas daripada terjaga. Sepertinya banyak yang seperti saya. hehehe. Internalisasi apa yang diajarkan di kelas tidak terjadi di kelas, tapi dalam kegiatan sehari-hari. Kami diajak mengalami, bukan hanya mempelajari. Kurikulum saja tanpa pendidikan diluar kelas, rasa-rasanya tidak akan berbekas apa-apa. Apa yang terjadi diluar kelas inilah yang menurut pendalaman saya menjadi pembeda, menjadi key success factors yang dimiliki anak-anak Gontor.

PENDIDIKAN MENYELURUH
Dua puluh empat jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, kami dihadapkan dengan kegiatan yang super padat. Saya tidak perlu menceritakan apa saja. Karena ada yang lebih menarik dan lebih penting. Saya ingin menceritakan bagaimana para pengasuh Gontor mengelola Pondoknya. Karena akan cukup untuk menjadi pembahasan tersendiri, maka saya tuliskan dalam bagian kedua “RAHASIA PENDIDIKAN GONTOR (2)”. Ditulisan lanjutan inilah, apa yang saya percaya sebagai faktor pembeda key success factors pendidikan di Gontor saya coba deskripsikan dan maknai.

Penulis : Yahya Zulkarnaen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *