Agitasi.id– Kedatangan Nyai Sinta Nuriyah di Universitas Kiai Haji Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember (26/03/2024), dikemas dengan acara Sahur Bersama. Acara tersebut dihadiri oleh banyak pihak, utamanya masyarakat akademisi sendiri.
Anehnya, pasca sambutan rektor, Nyai Sinta Nuriyah bercerita bahwa sebelumnya biasa bersahur dengan masyarakat sipil, seperti tukang becak dan kuli bangunan. Sehingga, ia merasa agak kago’ (bisa diartikan kaku) di acara sahur itu. Entah mungkin karena acara yang dihadirinya itu terlihat aneh atau tak mewakil rasa rindunya pada sosok pejuang kemanusiaan, KH. Abdurrahman Wahid, sang Suami.
Pasca acara tersebut Crew Agitasi.Id tiba-tiba menerima permintaan maaf secara tertulis. Sang penulis tampaknya merupakan alumni UIN KHAS Jember sendiri dan sangat mencintai Gus Dur.
Adapun isi surat yang diterima adalah sebagaimana berikut ini;
Nyai Sinta Nuriyah, Maafkan Saya!
Asslamualaikum Bu Nyai..
Perkenalkan, saya alumni UIN Khas Jember yang juga mencintai perjuangan Gus Dur. Tentu, sangat bersyukur dan terima kasih banyak, telah mau datang ke kampus kami.
Dulu, di Kampus ini, kami belajar banyak pemikiran suami tercintamu, KH. Abdurrahman Wahid. Tentu, bukan dari dosen-dosen atau mata kuliah. Kami belajar dari senior-senior di organisasi.
Sebenarnya sejak dari rumah, saya telah mengenal nama Gus Dur, sebab bapak-ibu juga mengaguminya. Bukan karena pernah jadi Presiden, namun katanya, Gus Dur ada di hati masyarakat.
Dicintai orang miskin, terdiskriminasi dan kaum marginal. Pada sisi ini, saya benar-benar mencintainya. Itu sebabnya, saat di kampus, artikel, esai bahkan segala yang berhubungan dengan Gus Dur, saya baca.
Jangan cemburu ya Bu..! Walaupun saya mencintai Gus Dur, belum tentu kami dicintai olehnya. Pastinya, tetap Jenangan yang ada di hatinya.
Saya tahu diri, tak pantas untuk menerima cintanya. Saya hanya membaca pemikiran tanpa diilhami semangat perjuangannya. Hanya memahami kebenaran idenya, tanpa berani melaksanakan.
Saya tak seperti Jenengan, yang semangat dan keberaniannya telah sama dengan Gus Dur. Utamanya, dalam hal mencintai sesama. Bahkan, tak pantas rasanya, saya mengaku “pencinta Gus Dur”. Sebab mestinya, seorang pencinta akan meniru yang dicintainya. Saya gagal dalam hal ini Bu Nyai..!
Saya masih sering bertikai karena perbedaan simbol. Bahkan kadang pecah belah sebab jabatan. Tak bisa, saya meniru Nyai Sinta Nuriyah, apalagi Gus Dur.
Walaupun banyak baca tentang karyanya, saya yakin pemahamanku tentang Gus Dur tak sebagus Nyai Sinta Nuriyah. Hal itu terlihat sekali, pada acara tadi malam.
Sebagai Alumni UIN KHAS Jember yang mencintai Gus Dur, hati dan harga diri terasa tercabik, saat mendengar sindiran keras Nyai Sinta Nuriyah di acara sahur semalam. Kurang lebih, Bu Sinta mengatakan begini,
“Saya kaku di acara ini. Sebab sebelumnya, saya biasanya sahur bersama kuli bangunan dan tukang becak…. Pada setiap bulan puasa, saya sering bersahur dengan kuli-kuli bangunan, yang mereka tidak punya rumah. Tinggalnya di kolong Jembatan. Maka saya akan bersaur bersama mereka di bawah kolong jembatan”
Ungkapan ini adalah nasehat bagi kami kaum akademisi yang mengaku sangat terdidik. Bahkan bisa jadi tamparan keras bagi mereka yang selain akademisi juga mengaku ingin meneladani Gus Dur.
Dalam otak kami bertanya, Kenapa Bu Nyai Sinta Nuriah lebih memilih sahur bersama tukang becak dan kuli bangunan dari pada bersama kami, para akademisi?
Air mata, pelan-pelan jatuh tak terasa. Malu, saya sebagai akademisi.
Ucapan itu seolah menyadarkan bahwa akademisi hanya tukang retorika dan pembuat acara megah, tanpa nilai-nilai kemanusian. Apa guna sahur bersama di Gedung besar bagi Perjuangan kemanusiaan yang telah Gus Dur ajarkan? Apa guna mendatangkan para pejabat, dosen, wakil rektor, bahkan Mahasiswa untuk menemani Bu Nyai Sinta Nuriah sahur?
Saya yakin, Bu Nyai Sinta Nuriyah selalu merindukan Gus Dur. Dan, cara biasa memuaskan rindunya adalah menghidupkan ide dan perjuangannya. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan berupaya terus berjuang dan bermanfaat bagi masyarakat sipil yang lemah.
Untuk itu, sebagai Alumni UIN KHAS Jember, saya meminta maaf jika sahur bersama tadi, tidak memuaskan. Saya yakin itu bukan kesengajaan, sebab acara versi demikian sudah mentradisi di kampus ini, bisa jadi di semua perguruan tinggi di Indonesia.
Tradisi kampus saat ini, tidak seperti era Gus Dur. Mahasiswa dan bahkan dosen-dosennya, telah terpisah dengan masalah masyarakat.
Kemiskinan dan kemanusiaan, hanya menjadi bahan diskusi dan objek kajian. Solusi dan konsepnya tidak untuk dilaksanakan. Hanya sebagai bahan debat “keren-kerenan” dan maksimalnya, jadi alat menaikkan kepangkatan saja.
Bu nyai Sinta pasti tak tertarik pada hal-hal yang sok berilmiah itu. Saya yakin, Jenengan merasa asing pada narasi sambutan rektor yang mendaki-daki dalam menjelaskan kepanjangan SAHUR, Sustainable, Adaptable, Humanity, dan Responsible.
Mohon itu dimaklumi..! Sebab standar bagus di kampus ini adalah memang “wajib dibahasakan keren, walau aksi lemah”.Demikianlah lumrah akademisi kampus era milineal saat ini.
Bu nyai..! pikiran Gus Dur mungkin tidak akan punah di Kampus, namun nilai-nilai telah lama hilang.
Kampus-kampus sudah agak berjarak dengan orang miskin, tukang becak dan kuli-kuli bangunan. Semua yang ada di kampus adalah masyarakat kelas menengah. Jika pun ada orang kelas lemah, mungkin itu hanya beruntung atau takdirnya sedang mujur.
Biaya kampus ini sudah tak lagi murah. Walaupun ada beasiswa atau keringanan, namun susah diakses. Yang didahulukan, ya tetap keluarga kelas menengah sendiri. Apalagi pejabatnya, adalah mereka yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Tidak heran lagi kan, jika di acara sahur tadi malam, tak ada kaum lemah dan minoritas.
Sekali lagi, saya minta maaf bu nyai..! Jangan pernah kapok datang ke kampus ini. Sungguh kedatangan Bu nyai Sinta telah menjadi cambuk untuk menyadarkan kembali nilai-nilai perjuangan Gus Dur yang terancam keserakahan kita sendiri.
Semoga bu nyai sehat selalu, Amin..
Hormat Kami
Pencinta Perjuangan Gus Dur