AGITASI.ID – Kebijakan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang diresmikan melalui Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024, telah menjadi topik hangat dan mendapat banyak kritikan dari berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Program ini sejatinya bertujuan untuk memudahkan akses perumahan yang terjangkau. Namun ternyata menjadi distopia bagi para pekerja terkait beban finansial. Sebab mengurangi gaji UMR (Upah Minimum Regional).
Karena adanya kewajiban iuran sebesar 3% dari penghasilan mereka. Dikhawatirkan tidak hanya mengurangi pendapatan bersih mereka. Tetapi juga memperumit administrasi dan menambah ketidakpastian dalam pengelolaan keuangan.
Kebijakan ini sekaligus memunculkan debat mengenai strategi pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya untuk mengatasi isu perumahan. Muncul pertanyaan etis apakah seharusnya beban finansial ini ditanggung oleh pekerja saja, atau apakah perlu ada strategi yang lebih inklusif dan berkelanjutan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan sektor swasta ?.
Secara lebih umum, Tapera menggarisbawahi kesulitan yang dihadapi oleh sistem perumahan di Indonesia dan perlunya reformasi menyeluruh. Tantangan ini tidak hanya terbatas pada penyediaan dana.
Tetapi juga mencakup pembuatan ekosistem yang kondusif untuk pengembangan perumahan yang terjangkau, termasuk ketersediaan lahan dan infrastruktur yang memadai.
Dengan demikian, penting bagi kebijakan Tapera untuk direvisi dengan mempertimbangkan konsekuensi sosial dan ekonomi yang lebih luas, dan mengakomodasi masukan dari semua pihak yang berkepentingan, agar program ini dapat mencapai tujuan aslinya tanpa memberatkan masyarakat Indonesia.
Kritik terhadap Tapera tidak terbatas pada besarnya iuran yang dirasa membebani. Namun juga merambah ke aspek pengelolaan dan keterbukaan informasi terkait dana tersebut.
Kekhawatiran masyarakat terhadap efisiensi dan keadilan dari program ini semakin meningkat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Di mana pekerja sudah terbebani dengan biaya hidup yang terus naik dan berbagai kewajiban finansial lainnya.
Muncul keraguan apakah dana yang terkumpul akan benar-benar dialokasikan untuk pembangunan perumahan yang memadai dan terjangkau, serta adanya risiko penyelewengan dana yang tidak bisa dianggap enteng ?.
Di ranah media sosial, banyak warganet yang mengungkapkan ketidaksetujuan mereka terhadap pemotongan gaji yang diwajibkan oleh Tapera. Sebagai contoh, seorang pekerja dengan penghasilan Rp10 juta per bulan sudah dibebani dengan potongan untuk pajak penghasilan, iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan dana pensiun, yang keseluruhannya dapat mencapai 8,5% dari total gaji, dan itu belum termasuk iuran Tapera.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama dengan berbagai serikat pekerja dan asosiasi pengusaha, juga telah menyatakan keberatan terhadap kebijakan ini. Menuntut transparansi yang lebih besar dan keadilan dalam implementasi Tapera, seraya menyoroti beban tambahan yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.
Dari berbagai perspektif, tampak jelas bahwa Tapera didirikan dengan tujuan yang luhur untuk menyediakan solusi perumahan yang terjangkau bagi masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan penting; apakah Tapera sungguh-sungguh efektif dalam mencapai tujuannya, atau justru menambah beban bagi pekerja tanpa memberikan manfaat yang proporsional ?.
Oleh karena itu, sangat penting kebijakan Tapera untuk dirombak, dengan mempertimbangkan dampak ekonomi yang lebih luas dan keberlanjutan program dalam jangka panjang.
Pemerintah wajib mendengarkan dan merespons kekhawatiran yang diungkapkan oleh masyarakat, serta mengambil langkah-langkah yang konkret untuk memastikan bahwa Tapera tidak hanya menjadi beban tambahan. Melainkan benar-benar menjadi solusi efektif untuk mengatasi masalah perumahan di Indonesia.(*)
Penulis : Dimas Aji Pangestu S.
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, redaksi Agitasi.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.