Paradoks! Solusi Pemerintah Hadapi Dampak Limbah Tambak Udang di Pesisir Selatan Jember

Paradoks! Solusi Pemerintah Hadapi Dampak Limbah Tambak Udang di Pesisir Selatan Jember
Gambar Paradoks! Solusi Pemerintah Hadapi Dampak Limbah Tambak Udang di Pesisir Selatan Jember (Sumber: Grafis Agitasi.id)

Oleh: Abdul Mu’is*

Agitasi.id- Tercatat pada hari senin tanggal 24 Februari 2025. Kelompok Perjuangan Masyarakat Kepanjen, beserta kader PMII Jember geruduk kantor bupati dan DPRD Jember. Dalam rangka aksi demonstran, menyelamatkan pesisir selatan Jember dari limbah tambak udang modern.

Bacaan Lainnya

Dengan satu nafas yang sama, limbah tersebut sudah mencemari lingkungan, ruang hidup dan penghidupan. Ungkapan mas arif selaku korlap masyarakat, “Sudah hampir puluhan tahun masyarakat kepanjen tercemari oleh limbah tambak. Dan sekitar 200 hektar lahan pertanian tidak bisa di produksi lagi”.

Masa aksi disambut oleh perwakilan dewan di depan pintu gedung DPRD Kabupaten Jember. Candra Ary Fianto selaku ketua komisi B DPRD kabupaten Jember. Ia mengatakan, ”jika mereka hari ini sedang rapat paripuna tentang dua raperda. Yang pertama Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan, kedua tentang Pendidikan”.

Menurutnya, perda tersebut penting bagi Indonesia. Ia mengatakan jika Pak Prabowo telah mencanangkan Asta Cita. Bahwa Asta Cita tersebut terdapat sawasembada, ketahanan pangan yang menjadi fokus utama pemerintahan hari ini. Sehingga dengan tegas perkataan terakhir di gerumunan masa aksi yang paling saya ingat, “Jika ada orang, ada pihak-pihak yang tidak mau petani subur, maka dia telah membangkang cita-cita Presiden”, katanya.

Tak sampai di situ, ia meminta perwakilan masyarakat dan mahasiswa untuk masuk agar maksimal. Dan ditutup dengan ucapan,

Baca Juga :  MENGAPA PEREMPUAN JAWA BEGITU IDAMAN?

pada prinsipnya kami tidak anti investor, namun investor tidak boleh melanggar peraturan undang-undang apalagi merusak lingkungan hidup. Jika ada orang yang melanggar berarti membangkang perintah Presiden”.

Sungguh paradoks yang sangat luar biasa. Kenapa dibalik ungkapan itu menggunakan kata jika? Bukankah sudah jelas sekitar 200 hektar lahan tidak bisa di produksi. Para nelayan yang kesulitan menangkap ikan.

Begitupun berbagai ungkapan dalam proses negosiasi. Termasuk DLH (Dinas Lingkungan Hidup) yang mengakatan, “Jika laporan perusahaan yang masuk ke DLH tentang sanilitas air (kadar garam yang terlarut dalam air) masih bisa ditoleransi dan normal“.

Sedangkan uji coba masyarakat, jauh lebih dari batas normal. Hingga mencapai angka 9 dengan jarak kurang lebih 1,5 km. Begitupun administratif dalam perizinan kelola perusahaan. Ungkapnya dalam persoalan perizinan jika di bawah 10 hektar bisa secara online dan langsung terbit. Namun faktanya tambak tersebut lebih dari 10 hektar.

Selama ini kebijakan yang di ambil tidak pernah sesuai dengan realitanya. Mereka memiliki kekuasaan namun selalu tertimbun oleh uang. Tidak ada bukti serius disetiap gagasan-gagasan yang disusun. Hanya menghabiskan uang negara saja.

Persoalan ketahanan pangan tidak sedangkal ungkapan ke ungkapan. Dari tahun 1961 Pemerintah mengeluarkan Rencana Tiga Tahaun produksi padi. Pada Agustus 1963 gagasan penerapan Revolusi Hijau di Indonesia.

Hingga hari ini terdengar Asta Cita bagian dari misi Presiden dan Wakil Presiden. Semua itu hanya menjadi paradoks di lingkup Nasional bahkan daerah-daerah.

Terbukti, pada kejadian di atas, badan pemerintahan selalu ngelantur jika dihadapkan dengan keadaan masyarakat. Mereka hanya membolak balikkan fakta, lempar kursi sembunyi tangan dan berteduh di bayang-bayang kekuasaan. Mereka selalu mementingkan ruang hidup diri sendiri, mengesampingkan ruang hidup masyarakat.

Baca Juga :  Melawan Praktik Pungli KIP di Kampus Aswaja Jember

Padahal mereka representatif dari suara rakyat, yang seharusnya menjalankan amanahnya sebagai perwakilan rakyat. Saya rasa dan bahkan kami disini menyaksikan.

Tidak ada satupun dari mereka (perwakilan rakyat, pemerintahan kabupaten Jember) satu pun tidak ada yang cacat secara fisik, kecuali akalnya. Mereka berkampanye dengan suara yg lantang, mata terbuka, telinga yg terbuka lebar.

Namun, apa yang terjadi ketika sudah menduduki atau bertanggung jawab sebagai bagian dari pemerintahan? Mereka tidak hanya cacat secara akal, mata mereka selalu Buta dalam melihat realita masyarakat. Telinga mereka tuli terhadap suara jeritan rakyatnya. Bahkan mulutpun tersolasi oleh uang.

Akan tetapi, sebagai masyarakat sipil, mesti dan akan selalu datang bertamu meski pandangan mata mulai kabur untuk membedakan yang mana perwakilan rakyat dan yang mana peliharaan oligarki. Meski mulut selalu di penuhi cacian. Bahkan telinga yang selalu mendengar omongan pemerintah yang ngibul.

*Aktivis Lingkungan Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *