“Libur telah usai. Sudah saatnya sunyi dikalahkan. Kampus harus hidup kembali, sebab masa depan bangsa tak mungkin dibangun dari keheningan!“
Oleh: Mashur Imam*
Agitasi.id- Langit Jember telah kembali cerah, setelah minggu-minggu disaput gemuruh takbir dan gegap gempita mudik. Hiruk pikuk terminal kembali reda, jalan-jalan yang sempat lengang telah disesaki kendaraan, dan peluit kereta tak lagi bernyanyi sunyi.
Libur lebaran resmi berakhir. Kota seharusnya pulih, denyutnya seharusnya normal kembali. Tapi ada satu sudut yang tampak enggan bangun dari tidur panjangnya: Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember. Kampus yang terletak di jantung Kota Jember (Kecamatan Kaliwates) ini masih terbenam dalam sunyi. Tak ada keramain, tak ada diskusi, tak ada tawa mahasiswa di bawah rindang pohon-pohonnya.
Sekilas, tak ada yang salah dengan kampus yang sepi. Bahkan kadang-kadang, sunyi adalah anugerah bagi para pemikir. Tapi jika keheningan itu terus berlarut, mengendap, dan membeku, maka patut kita bertanya: apakah kampus ini masih hidup?
Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang memayungi puluhan ribu mahasiswa dan ribuan pendidik, senyapnya UIN KHAS Jember bukan sekadar soal ketiadaan kegiatan. Ia adalah isyarat bahwa nadi akademik tengah melemah.
Dalam perspektif sosiologis, ini bukan hanya tidak lazim—ia adalah anomali. Kampus adalah pusat peradaban, laboratorium sosial, dan dalam konteks negara, adalah instrumen pembangunan.
Sepi memang bukan kejahatan. Namun dalam konteks kampus—yang mestinya menjadi pusat denyut kehidupan intelektual, lokus perdebatan dan penciptaan inovasi—kesunyian adalah sebuah ironi yang getir. Sebab universitas, apalagi yang menyandang nama besar Islam Negeri, adalah tempat yang seharusnya hidup sepanjang hari, dengan obrolan tentang filsafat, perdebatan tafsir, diskusi riset, bahkan sekadar tawa mahasiswa yang baru saja keluar dari kelas. Ketika semua itu menghilang, bukankah ada yang perlu ditanyakan?
Para ahli dari belahan dunia lain telah lama memikirkan ini. Di Cina, Wenjun Lei dan koleganya cemas melihat ruang kampus yang kehilangan makna spasialnya. Michael Harris dan Karri Holley dari Amerika bahkan lebih lantang—mereka menyebut kampus sebagai nadi ekonomi kota. Universitas yang ramai akan menciptakan lapangan pekerjaan, menggerakkan roda keuangan lokal, dan pada akhirnya membangun kesejahteraan urban.
Maka jika ia memilih diam di saat masyarakat bersiap kembali bergerak, tidakkah ini mencederai harapan yang lebih besar?
Mari kita mundur sejenak ke Jakarta, ke ruang-ruang rapat strategis kenegaraan, tempat Presiden Prabowo Subianto menyusun arah baru pembangunan bangsa. Dalam satu kesempatan penting, Prabowo mengundang para rektor untuk menyampaikan sebuah pesan: kampus tidak boleh lagi berdiri di menara gading,(13/03/2025). Sivitas Kampus harus turun, menyingsingkan lengan baju, dan terlibat langsung dalam pemerataan kesejahteraan rakyat. Universitas harus menjadi pusat inovasi ekonomi, pendorong kewirausahaan, dan agen perubahan sosial. “Kampus tak cukup jadi ruang kuliah,” begitu kira-kira pesan beliau, “ia harus menjadi motor ekonomi rakyat.”
Kini mari tengok kembali UIN KHAS Jember. Dengan kondisi yang masih adem ayem pasca libur lebaran, bisakah kita katakan bahwa kampus ini telah menjawab panggilan presiden? Ataukah ia masih duduk di pojok ruangan, menunggu komando yang entah datang dari mana?
Faktanya, industri mikro di sekitar kampus mulai menjerit. Warung kopi yang dulu tak pernah sepi pelanggan kini memungut remah-remah rupiah dari dua atau tiga pembeli. Penjual fotokopi kehilangan halaman-halaman yang biasa dicetak. Ekonomi mikro yang tumbuh dari keberadaan kampus kini menggigil dalam diam. Maka sangat mungkin kita simpulkan: sepinya UIN KHAS Jember secara langsung—dan tragisnya—telah merugikan program kerja Presiden Prabowo yang begitu ambisius ingin menjadikan pendidikan sebagai poros kesejahteraan rakyat.
Bukan hanya program presiden yang terabaikan. Sepinya kampus juga bisa dibaca sebagai bentuk ketidaksungguhan dalam menjalankan amanah Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menuntut adanya pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dalam konteks ini, pemberdayaan tak cukup diwujudkan dalam slogan. Ia butuh ruang interaksi sosial, butuh kehadiran fisik, butuh riuh-rendah gagasan dan tindakan. Ketika mahasiswa tak datang, dosen enggan mengajar, dan masyarakat tak tertarik mendekat, pemberdayaan menjadi fatamorgana—indah dalam konsep, kosong dalam praktik.
Dan jangan lupa, kita hidup di era yang menuntut ruang publik yang sehat, sebagaimana didefinisikan oleh Habermas: ruang di mana wacana berkembang, perdebatan tumbuh, dan pengetahuan dipertukarkan secara bebas dan terbuka. Jika kampus justru menjadi ruang sunyi, bukan hanya perdebatan yang mati, tapi semangat berpikir kritis dan semangat kolektif untuk membangun bangsa pun ikut tertimbun debu ketidakpedulian.
Lantas, dari mana sumber kesunyian ini berasal?
Sebagian besar mungkin dari para mahasiswa. Di atas kertas, mereka puluhan ribu. Tapi kenyataannya, lingkungan kampus tak menunjukkan jejak mereka. Bahkan di akhir pekan, kampus lebih menyerupai lahan kosong yang ditinggal pengembara. Padahal kabarnya, organisasi kemahasiswaan di kampus ini cukup aktif. Di mana mereka? Apakah mereka lebih senang berdiskusi di kafe-kafe instagramable yang jauh di luar kampus? Atau mungkin sedang sibuk menata hidup pribadi di dunia yang lebih “nyata”—entah pacaran, jualan online, atau rebahan tanpa target?
Sementara dari sisi dosen, barangkali jawabannya tak kalah kompleks. Mungkin mereka masih menikmati sisa-sisa hangatnya suasana lebaran di rumah. Atau mungkin memang tidak lagi merasa tertantang untuk hadir secara aktif di ruang akademik. Sebab jika kampus tak menyediakan atmosfer intelektual yang memanggil, maka ruang keluarga tentu lebih menggoda.
Namun, berapa lama kita bisa membiarkan kampus tertidur? Jika kampus tidak membangkitkan ekonomi lokal, tidak menjawab tantangan nasional, dan tidak menjadi ruang publik yang sehat—bukankah itu berarti ia sedang melanggar fungsinya sebagai institusi negara?
UIN KHAS Jember harus segera bangun. Bukan semata-mata karena jadwal akademik yang menuntut, tapi karena tanggung jawab sejarah yang mendesak. Di pundak institusi ini tertumpu harapan mahasiswa, orang tua mereka, masyarakat sekitar, dan ya—juga Presiden Republik Indonesia yang menaruh cita-cita besar pada peran pendidikan pendidikan tinggi.
Tulisan ini tak sedang menggugat dalam kemarahan, melainkan menyentil dalam kasih sayang. Sebab kita ingin melihat UIN KHAS Jember kembali hidup: menjadi pusat ilmu, jantung ekonomi kota, dan ladang dialog yang tak pernah kering.