AGITASI.ID – Presiden Indonesia Joko Widodo telah meresmikan perizinan pengelolaan tambang, bagi ormas (organisasi kemasyarakatan) keagamaan, yang tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dari inisiatif tersebut, Ketua Umum PBNU yaitu KH. Yahya Cholil Staquf atau sering disebut Gus Yahya pun berterima kasih, atas pemberian konsesi pertambangan bagi ormas keagamaan, yang salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU).
Tak hanya NU, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah yang diketuai oleh Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, juga turut masuk dalam bursa pemberian konsesi tambang.
Padahal perizinan tambang ini banyak menuai pendapat positif dan negatif dari berbagai kalangan. Dalam perizinan pengelolaan tambang ada beberapa kriteria yang wajib dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat.
Kriteria tersebut termaktub dalam Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi di Pasal 4 Ayat (6).
Adapun kriteria yang wajib dilengkapi yaitu : terdaftar dalam sistem informasi Organisasi Kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, berbadan hukum, memiliki lingkup kegiatan kemasyarakatan secara nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Organisasi Kemasyarakatan, dan mengelola sumber daya ekonomi, melestarikan lingkungan hidup serta memelihara norma, nilai, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat.
Ada beberapa kejanggalan yang membuat masyarakat berpikir-pikir, salah satunya adalah melestarikan lingkungan hidup, mau melestarikan seperti apa !? Kalau sudah berurusan dengan tambang pasti akan tidak stabil lingkungan.
Namun ada ormas yang menolak atas izin ini diantaranya : Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Sejumlah ormas ini sangat kompak menyatakan dengan tegas menolak iming-iming izin tambang meski masuk daftar penerima.
Kontribusi ormas keagaamaan sangatlah signifikan untuk bangsa Indonesia dan sejarah pun sudah mengakui itu. Tetapi izin tambang bukan tentang kontribusi ormas, melainkan tuntunan profesionalitas dalam pengelolaan tambang.
Memberikan izin tambang kepada ormas tidak segampang membalik telapak tangan. Ada proses panjang dan dampak yang terjadi di dalamnya.
Contah seperti tambang nikel di Sulawesi Tenggara. Lingkungan di sekitar tambang mulai terkena dampaknya yaitu ; limbah nikel yang dibuang langsung ke laut tanpa proses sama sekali. Yang terjadi, air pun menjadi tercemar.
Dari beberapa ormas yang memutuskan untuk menerima izin tambang dari pemerintah, ada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Tapi jika dari NU menyetujui hal tersebut. Sama halnya telah melanggar hasil Muktamar NU ke-29 di Cipasung pada tahun 1994.
Hasil Muktamar NU ke-29 di Cipasung itu telah menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan, baik itu udara, air, maupun tanah. Apabila menimbulkan dlarar (kerusakan), maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Kalau berkaca ke belakang, apa yang ada dalam Muktamar NU ke-29 tersebut. Di sana telah disebut NU dengan lantang berjihad untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan begitu, apa yang dilakukan PBNU sekarang, sudah tidak lagi mencerminkan semangat melawan eksploitasi untuk generasi muda NU agar berjihad menjaga kelestarian lingkungan.
Sebab berjihad tidak selalu tentang membunuh orang kafir di medan perang. Tapi jihad di sini dikonotasikan dengan makna melawan apa yang merusak.
Sehingga menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah prinsip utama darinya.(*)
Penulis : Ramzhy Fauzhal
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Agitasi.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.