Jember Krisis Ekologis; Rentetan Wilayah Konflik Agraria yang Kian Mentereng

Grafis: Aris/Agitasi

AGITASI.ID Mendengar kata ‘Jember’ tentu tidak asing lagi, baik bagi politisi, akademisi, maupun jajaran polisi. Salah satu kabupaten yang masuk dalam peta wilayah Tapal Kuda di Provinsi Jawa Timur.

Keindahan alam Jember yang menawan telah mengundang sorot mata wisatawan dan tidak kalah menariknya juga para investor perusahaan. Namun, di balik cerita keindahan tersebut, terdapat rentetan wilayah konflik agraria yang kian mentereng.

Bacaan Lainnya

Seolah terlupakan dengan romantisnya pantai yang memesona. Padahal, ada perjuangan  masyarakat di berbagai wilayah Jember, yang mempertahankan  hak  atas  tanah  dan  melindungi  lingkungan  hidup. Adapun wilayah yang terkontaminasi konflik agraria sebagaimana berikut:

1. Sengketa Tanah dan Bangunan Rumah Warga Jalan Mawar (Patrang)

Peta wilayah konflik agraria, bisa dimulai dari arah utara Jember yang terjadi karena sengketa tanah dan bangunan rumah warga di Jalan  Mawar, Kecamatan Patrang.

Sebuah perjuangan  warga Jalan Mawar menentang klaim aset dari PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 9 Jember yang memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Sengketa tanah yang diklaim seluas 300 meter persegi dari jumlah keseluruhan luas tanah yaitu 27.550 meter persegi.

Warga Jalan Mawar yang tergabung dalam Kopertama (Kumpulan Perjuangan Tanah Mawar Jember) terus menuntut  hak  atas kepemilikan tanah.

Sebab, konflik ini sebelumnya sudah ada ancaman penggusuran oleh PT. KAI, manakala warga Jalan Mawar tidak mau menandatangani kontrak sewa rumah sejak tahun 2009 (jatimterkini.com, 06/01/25).

Walaupun sengketa tanah dan bangunan rumah warga Jalan Mawar berakhir dengan dimenangkan oleh PT. KAI melewati jalur PTUN. Meski begitu, PT. KAI masih harus membuktikan kebenaran, adanya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) melalui Pengadilan Negeri Jember.

2. Perkebunan Ketajek (Panti)

Tak hanya berhenti di Kecamatan Patrang. Kini konflik tanah yang berkepanjangan berlanjut pada Perkebunan Ketajek, Kecamatan Panti. Salah satu wilayah yang terletak di Kaki Pegunungan Argopuro, arah barat Jember.

Menurut Tri Chandra Aprianto (2009), konflik perebutan hak milik tanah melibatkan masyarakat Desa Pakis dan Desa Suci dengan luasan 477,78 hektare. Lahan ini sejak masa kolonial dimiliki atas dasar hak erfpacht Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) yang dipegang oleh George Birnie untuk ditanami kopi dan kakao.

Lebih lanjut di tahun 1949,  hak  atas  lahan  berpindah  ke  Tan Tiong Bek yang merupakan pengusaha keturunan Tionghoa asal Surabaya. Namun, di tahun 1952 karena mengalami kerugian, jadi dirinya tidak dapat memenuhi kesepakatan upah untuk masyarakat.

Masyarakat Ketajek kemudian mengupayakan statsu hukum kepemilikan tanah, melalui  Persatuan Petani Indonesia cabang Jember di tahun 1957.

Namun di tahun  1972, ternyata Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) lahan tersebut kepada Departemen Dalam Negeri. Tindakan pengajuan hingga memicu penyerangan  terhadap masyarakat Ketajek yang mengakibatkan  korban  jiwa di tahun 1999.

Baca Juga :  BEREDAR; Surat Klarifikasi Panitia PBAK UIN KHAS Jember Tentang Masalah Tangtangan Duel Rektor dan Pristiwa Joget di Masjid

Sebuah peristiwa yang mengungkap betapa kejamnya sistem perampasan tanah terus menindas. Masyarakat Ketajek yang telah berjuang mempertahankan tanah justru mengalami  kekerasan fisik.

3. Tambak Udang Vaname (Gumukmas)

Konflik agraria kali ini bergeser pada keberadaan tambak udang vaname yang terletak di Desa Kepanjen dan Mayangan, Kecamatan Gumukmas. Konflik yang terjadi karena ketidakjelasan persoalan izin usaha tambak.

Tambak udang vaname mulai masuk ke daerah Kepanjen dan Mayangan sekitar tahun 1985. Pihak pemilik tambak kemudian melanjutkan aktivitas produksi di tahun 1987. Saat itulah khususnya tanaman padi di Mayangan dan Kepajen mulai menurun hingga tidak bisa ditanami lagi.

Meskipun Pemerintah Jember sudah berupaya melakukan inventarisasi langsung terhadap tanah pesisir. Tetapi, tampaknya pemilik tambak masih belum bersemangat untuk mengurus izin.

Menurut Kepala Desa (Kades) Kepanjen Sukamid, jumlah keseluruhan tambak ada 26 tambak udang yang beroperasi. Namun hanya dua yang memiliki izin resmi, yaitu tambak milik Anugerah Tanjung Mas (ATG) dan PT. Delta Guna sukses (DGS) (suarajatimpost.com, 17/02/25).

Selain perizinan,  aktivitas  tambak  udang  vaname  juga  menimbulkan  kerusakan  lingkungan  yang  parah. Sebab, limbah dari tambak tersebut dibuang langsung  ke  laut dan sungai, sehingga jelas menghancurkan ekosistem laut dan persawahan.

Jika sudah begitu, siapa lagi yang merasa dirugikan, kalau bukan para nelayan dan petani.

Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Perjuangan Masyarakat Kepanjen (KPMK), masih terus melakukan perlawanan agar ditutup total tambak udang tersebut.

4. Konflik Tanah Perkebunan Karet (Curahnongko, Tempurejo)

Jangan bosen dulu berbicara agraria di Jember, apalagi soal konflik tanah, termasuk yang terjadi di Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo sejak tahun 1966.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam riset Nurul Hidayat (2022), sengketa tanah melibakan dua belah pihak yaitu, masyarakat Desa Curahnongko dan PTPN XII Kalisanen.

Bermula dari perampasan tanah yang dilakukan oleh PTPN XII Kalisanen. Padahal, masyarakat Desa Curahnongko sudah lama menggarap tanah tersebut sejak tahun 1942.

Memang benar tidak sia-sia meneliti konflik agraria. Pengalaman riset Niska Norma Gustavia (2012), tanah sengketa itu seluas 357 hektare yang merupakan tanah masyarakat Desa Curahnongko.

Tetapi, sayangnya hanya 25 hektare saja yang memiliki sertifikat HGU di PTPN XII Kebun Kalisanen. Jadi, terdapat sisa 332 hektare tanah yang belum direalisasikan oleh pemerintah.

Masyarakat Desa Curahnongko menjadi sulit mendapatkan pekerjaan, karena tanah tersebut telah dirampas dan dikelola oleh PTPN XII Kebun Kalisanen.

Rekam jejak digital menyebutkan saat penyelesaian permasalahan sengketa tanah, tepatnya Jember masih dipimpin oleh Bupati Hendy Siswanto (jemberkab.go.id).

Semasa pemerintahan Hendy para petani yang tergabung dalam Wadah Silaturahmi Warga Petani (WARTANI) diajak ke Jakarta, menemui pihak BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Sebab, dengan cara demikian, BUMN sebagai institusi yang berwenang atas seluruh PTPN di Indonesia bisa segera menyelesaikan konflik tanah tersebut.

Baca Juga :  Aktivis Tak Takut Penguasa, Namun Ciut Pada Seniornya

5. Tambang Emas (Silo)

Babak baru konflik agraria di Jember kembali lagi pada tahun 2018. Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1802 yang  terbit  pada  23  April  2018, secara  brutal  menetapkan Kecamatan Silo sebagai  kawasan  pertambangan  emas  dengan luas wilayah 4.023  hektare.

Wilayah  tambang tersebut meliputi; Dusun  Curah  Wungkal,  Desa  Pace,  Kecamatan  Silo, hingga merambah pada Kebun  Kalisanen,  Desa  Sanenrejo,  Kecamatan  Tempurejo. Padahal Desa Sanenrejo ini secara teritorial merupakan  desa  penyangga  Taman  Nasional  Meru  Betiri.

Polemik ini menyulut hingga menuai protes dari masyarakat, sehingga DPRD dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember ikut menolak adanya tambang emas tersebut. Terlacak pada saat itu Jember masih dipimpin oleh Bupati Faida.

Dengan keberadaan tambang emas, maka Bupati dan DPRD Jember sepakat untuk segera menyelesaikan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), sebagai turunan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan menerbitkan Perda Bebas Tambang.

Rentetan  konflik  agraria  di  Jember  menunjukkan  bahwa  krisis  ekologis  yang sungguh hebat dari setiap ceritanya. Tetapi yang jelas konflik tersebut, bukanlah  sekadar  persoalan  lingkungan, melainkan cerminan dari ketidakadilan hukum yang  menindas masyarakat.

Perjuangan masyarakat Jember dalam menentang perampasan tanah dan melindungi  lingkungan  hidup, tetap harus  mendapatkan  dukungan  dan  perhatian  dari  segala  pihak. Paling utamanya pemerintah Jember agar supaya menciptakan  keadilan lingkungan  yang  berkelanjutan.

Melihat konflik agraria di atas, maka setidaknya terdapat beberapa  faktor  yang  memengaruhi, di antaranya:

a) Sistem agraria mematikan; bagaikan  monster  rakus yang menelan  tanah  rakyat  dengan  serakah!

Sistem ini  diciptakan  untuk  melindungi  para  pemegang  modal  dan  kekuasaan. Bagi masyarakat kecil tentu akan terlunta-lunta dan kehilangan harapan kepemilikan tanah serta terancam  kehilangan  warisan  leluhur.

b) Hukum yang lumpuh!

Penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten terhadap pelanggaran hukum agraria, menjadikan masyarakat sulit mendapatkan keadilan dan perlindungan hidup di Jember.

c) Transparansi dan partisipasi publik yang tertutup jadi mimpi buruk masyarakat Jember!

Proses perizinan dan alih fungsi lahan, seringkali  terselubung  kabut  kegelapan kepentingan. Masyarakat tidak diberi  kesempatan  untuk berbicara dan menentukan  nasib  tanahnya sendiri.

Kesempatan ini telah menciptakan  celah  bagi  para  pengusaha  rakus, untuk  memanipulasi  aturan main dan  merampas  tanah masyarakat dengan cara yang licik.

Masyarakat Jember masih terombang-ambing di atas ombak ketidakadilan kepemilikan tanah. Mirisnya, suara masyarakat sering kali kalah nyaring dengan suara pemodal dan penyogok uang tanda terima kasih kelolosan kepentingan usahanya.

Oleh karena itu, Jember perlu perubahan yang  mendalam dengan menghilangkan  sistem  yang  menindas  dan sosok pemimpin (baca: bupati) yang tidak melupakan masyarakatnya.

Dengan demikian, kehidupan di Jember bisa damai  dan  sejahtera. Kepemilikan tanah tidak direcoki, rakyat dihargai, dan tentunya keadilan di setiap jengkal tanah.

Editor: Fadli Raghiel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *