Agitasi.id- Aktivis memang tak pernah takut pada penguasa. Mereka berani bersuara pada tiran dan bahkan melawan aparat. Mental dan niat perjuangan senior-senior aktivis terus menerus tertularkan pada mahasiswa kampus lintas generasi. Demikianlah, klaim seorang mahasiswa semester lapuk yang lagi mendikte peserta Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) di depan kantor rektoratnya semalam.
Retorikanya cukup mempesona, seperti Che Guevara kala menyerukan kemerdekaan Kuba. Sebagai mantan aktivis, penulis tentu sangat bangga mendengar tuturnya yang mantab. Rasanya tak ada yang berubah dari dunia mahasiswa saat ini. Masih banyak yang diskusi tentang perjuangan, demonstrasi, hingga perlawanan pada pemerintah yang otoriter. Tidak mengherankan, Joko Widodo yang sudah dua periode memerintah, masih merasa ketar-katir jika mahasiswa telah turun ke jalan.
Masih Hebatkah Aktivis Kampus?
Mahasiswa memang masih menjadi kunci perubahan sosial politik di Indonesia. Mereka disebut kalangan menengah, yang kapan saja dapat mengkonsolidasi sipil proletar untuk mengontrol bahkan melawan borjuis yang sewenang-wenang. Sisi ini, sama sekali tidak ada yang diragukan. Peran mereka pada sipil lebih besar dari pemerintah yang pasti memiliki jarak untuk komunikasi dengan rakyat.
Hal yang dikhawatirkan dan dipertanyakan hanya satu, “Dalam dinamika kekuasaan yang terus berubah, benarkan mereka tetap berani melawan kekuasaan yang tidak adil?”. Pertanyaan ini tentu cukup sulit dijawab, sebab di era demokrasi, kepemimpinan otoriter telah tumbang. Tak ada pemimpin yang abadi di era modernisasi, dan rasionalitas berkembang pesat. Bisa saja, aktivis yang dulunya berdemonstrasi, saat ini telah jadi pejabat dan berusaha agar tidak didemo.
Banyak aktivis yang telah jadi “pejabat” bahkan mungkin sudah menjadi “penjahat”. Ada yang telah jadi DPR, menteri bahkan juga rektor perguruan tinggi. Saat ini mahasiswa aktivis harus berhadapan dengan mereka yang dulunya juga aktivis. Artinya, jika ada kesewenang-wenangan, besar kemungkinan pelakunya adalah senior aktivis yang telah jadi alumni dan purna dalam mengabdikan diri pada masyarakat sipil. Pada situasi demikian, benarkah mereka masih berani melawan penguasa yang notabene adalah senior mereka sendiri?
Aktivis Ciut Melawan Seniornya
Ada banyak fenomena yang dapat menjadi bahan untuk menjawab pertanyaan mendasar di atas. Pertama, aktivis dibentuk melalui kaderisasi diskriminatif. Seorang aktivis dapat dipastikan bergabung di sebuah kelompok ideologis mahasiswa. Besar kemungkinan mereka berafiliasi dengan organisasi-organisasi semacam PMII, HMI, GMNI dan lain sebagainya. Organisasi tersebut memiliki ADART bahkan desain kaderisasi yang bertujuan mewariskan nilai hingga mentalitas perjuangan.
Proses pembentukan nilai dan mentalitas aktivis semacam ini, serta merta mewariskan budaya patriarki senior-kader. Aktivis baru selalu menganggap seniornya guru yang bukan hanya dihormati, namun juga ditakuti. Senior memiliki tempat istimewa. Sosoknya dianggap teladan, seperti perwira tinggi di militer, kiai di pesantren, bahkan bisa saja layaknya nabi dalam sebuah agama.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan hal ini. Hanya saja, jika dikontekskan pada situasi sosio politik saat ini, tentu cukup bermasalah. Pasalnya, para senior yang didewakan telah banyak yang menjadi pejabat, bahkan, sebagian dari mereka, juga banyak yang jadi penjahat. Banyak yang korup, sewenang-wenang, diskriminatif dan bahkan cabul. Aktivis era ini tak akan berani pada mereka, sebab yang sedang berkuasa, adalah sosok yang dianggap perwira, kiai atau nabinya sendiri.
Kedua, jejaring eks aktivis yang meresahkan. Fakta selanjutnya berkaitan dengan jejaring politik di Indonesia yang ternyata berhubungan fundamentalistis organisasi ideologis para aktivis. Banyak aktivis senior yang telah jadi pejabat dan tak lagi peduli pada sipil. Pada umumnya, anak buah mereka adalah kader sendiri, karena dipandang memiliki ketaatan ideologis yang tinggi.
Banyak aktivis muda pun berbahagia saat jadi anak buah seniornya yang keren. Urusan nasib dirasa lebih terjamin dari pada berjuang sendiri tanpa bekingan kekuasaan senior. Pada era “serba orang dalam” saat ini, hal demikian sangat seksi sebab mempermudah kesempatan kerja. Akibatnya, para aktivis tidak usah lagi meningkatkan kompetensinya. Dengan skill dan otak jongkok pun, melalui bantuan senior masa depannya diyakini akan terus cerah.
Kedua hal di atas adalah sebagian fenomena paling jelas dari banyaknya realitas yang mengkhawatir dunia aktivis kampus. Garis besarnya, aktivis tak lagi melawan borjuis murni sebagaimana diceritakan oleh Marx, Gramscy dan tokoh lain yang telah umum dikenal di kalangan mereka. Dewasa ini, penguasa dan borjuis seringkali adalah senior mereka sendiri.
Pada situasi yang tak lagi baik tersebut, para mahasiswa baru semestinya tidak lagi percaya pada narasi congkak dan sok suci aktivis kampus saat ini. Mereka tak lagi berani menghadapi kekuasaan karena ciut pada senior sendiri. Besar kemungkinan, tak memiliki kompetensi dan sedang menggantungkan hidup pada jejaring tetuanya yang sedang berkuasa. Walau terlihat keren saat berbicara perjuangan, tak usahlah percaya! Sebab senior mereka dulu, juga demikian. Berkeringat-keringat saat mengajari demonstrasi dan perlawanan, namun ciut dan menggantungkan hidup pada kuasa serta nama seniornya.
Untuk mendeteksi aktivis dengan model ini, mudah sekali. Caranya, Jika ada mahasiswa yang sok organisatoris, dan berteriak-teriak, “Hidup Mahasiswa!, Merdeka!”segeralah dekati telinganya! Lalu, pelan-pelanlah bertanya, “siapa seniormu yang terkenal?”. Jika yang disebutkan dengan bangga adalah nama pejabat terkenal atau pimpinan kampusmu, segera menjauh! Anda telah bertemu dengan aktivis lemah, buruk mental dan pikiran, sebagaimana dijelaskan sedari tadi.