AGITASI.ID – Di era ini sudah banyak orang yang tau bahkan belajar persoalan kesetaraan gender. Bukan hanya belajar, sudah banyak yang menerapkan pola kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari dikalangan masyarakat kita.
Perempuan sudah banyak berkiprah dalam bidang ekonomi, sosial, politik, di berbagai negara muslim. Hal tersebut tidak lepas dari adanya peran tokoh-tokoh pemikir feminisme yang telah memberikan pemikiran untuk menyuarakan kesetaraan gender.
Salah satunya ialah Fatima Mernissi, tokoh feminisme Islam yang cukup terkenal. Dia adalah salah satu pelopor feminisme Islam yang sering mengkritisi hadis-hadis misoginis (hadis yang konotasinya agak mengucilkan perempuan). Dari sikap kritisnya banyak melahirkan karya-karya tentang kesetaraan.
Pemikiran Fatimah Mernissi
Pemikiran Fatimah Mernissi berawal dari kegelisahannya tentang kesetaarn gender dan mempertanyakan “Apakah mungkin Islam mengajarkan perlakuan yang tidak adil kepada kaum wanita? Apakah mungkin Nabi Muhammad SAW, sebagai rasul bersabda merendahkan harkat dan martabat wanita? Apakah benar adat-istiadat yang mengarahkan kepada perlakuan yang tidak adil terhadap wanita berasal dari ajaran Islam?”
Itulah beberapa pertanyaan Fatimah yang mendorong dirinya untuk mencari tau kebenaran dan melakukan penelitian serta pengkajian terhadap tafsir-tafsir yang berkaitan dengan gender ataupun hadis-hadis misoginis. Dari hasil penelitiannya, Fatima Mernissi menemukan bahwa Islam sangat menghargai perempuan, namun ada orang-orang yang kurang tepat dalam memahami teks-teks Islam.
Banyak orang yang kurang tepat dalam memberikan tafsir suatu ayat maupun hadis. Hal itu akhirnya muncul tafsir dalil yang terkesan misoginis atau meminggirkan kaum perempuan.
Fatima Mernissi menjelaskan bahwa hal itu bisa muncul karena adanya bias politik dalam sejarah. Bias politik dalam sejarah sering menyingkirkan peran aktif perempuan dalam ruang publik. Kekuatan-kekuatan tertentu yang menghilangkan peran aktif perempuan dalam sejarah telah mendiskriminasikan perempuan melalui pembentukan citra-citra negatif dan pasif tentang perempuan. Contohnya adalah Siti Aisyah (Istri Nabi Muhammad).
Menurut sebagian orang atau kelompok fundamentalis, keterlibatan Aisyah dalam persoalan politis kekuasaan dengan Ali bin Abi Thalib dianggap mewakili citra buruk feminis yang tidak puas pada status ibu atau istri yang baik.
Selain bias politik, penyebab lainnya adalah adanya masalah dalam Tadwin (mengumpulkan naskah). Dalam bukunya, Women in Islam, Fatimah Mernissi mendukung pendapat Al-Jabiri yang menyatakan penuangan teks-teks religius ke dalam bentuk tertulis (‘asr at-tadwin) merupakan awal pelembagaan sistem pencekalan.
Pada tahun 134 H (abad ke-8) para sarjana Muslim terkemuka mengkompilasi hadist, fiqih, dan tafsir sebagai bentuk kepatuhan atas perintah kekhalifahan Abbassiyah dan juga di bawah penguasaan Khalifah.
Dalam proses ini terjadi banyak manipulasi teks-teks agama, baik manipulasi tersebut dalam bentuk hadist-hadist palsu atau juga menyusupkan hal-hal yang bertendensi politik. Dari hal ini Fatima Mernissi membagi Islam menjadi dua:
1. Islam Politik: Islam sebagai praktek kekuasaan pada tindakan-tindakan manusia yang digerakkan oleh nafsu dan mendapat dorongan kepentingan-kepentingan pribadi.
2. Islam Risalah (Islam Spiritual): Pesan Ilahi yakni cita-cita yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Dalam menyikapi hadis-hadis Misoginis, Fatimah melakukan analisis historis, analisis gender, dan juga melakukan kritik hadis (matan, sanad, perawi). Kalau yang berkaitan dengan ayat Al-Qur’an, maka dia menyarankan untuk membacanya secara holistik dan jangan membacanya secara per ayat-ayat (parsial).
Selain itu juga melakukan penelusuran secara komprehensif dalam Al-Qur’an dan hadis yang berbicara tentang kesetaraan gender untuk dicari relevansi dan kebenarannya. Hal ini dilakukan dengan menganalisis asbabun nuzul, asbabul wurud, dan sosiohistorisnya. Sosiohistorisnya meliputi pribadi penafsir, perawi, dan motif-motif yang mempengaruhi maupun perkembangan per-periode.
Dari penelitian itu maka akan terbuka wawasan baru terhadap agama dan akan tersingkap antara yang benar dan tidak, antara yang sekedar tradisi dan ajaran murni. Tafsir Al-Qur’an dan hadis mesoginis harus direinterpretasi ulang dan hasilnya harus ramah untuk perempuan dan laki-laki. Paling tidak jelas mana otentik ayat dan tafsirannya.
Pemikiran Fatimah Mernissi Sebagai Role Model Perempuan Masa Kini
Pemikiran Fatimah yang luar biasa tersebut perlu dijadikan acuan agar dalam kontruksi sosial kita imbang dan tidak melulu menjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Khususnya dalam agama umat muslim, islam selalu mempermudah apapun niat ibadah dan kebaikan kita.
Niat-niat baik dalam memuliakan perempuan menjadi tugas awal kita dalam menegakkan kesetaraan. Semangat untuk mencari kebenaran tentang kesetaraan yang dilakukan Fatimah menjadi role model kita terutama perempuan dalam mempelajari, mengimplementasikan dan mempertahankan prinsip-prinsip kesetaraan yang ideal.
Jika semua perempuan rasa ingin taunya seperti Fatimah Mernissi, maka tidak akan ada lagi perempuan yang tertinggal secara akademis dan pendidikan. Nyatanya, pada realitas sosial kita masih banyak perempuan yang tidak berpendidikan.
Akibat dari adanya perempuan yang tidak berpendidikan inilah yang akan menjadi penyebab masalah kesenjangan sosial. Contohnya seperti kurangnya penguatan karakter menjadi seorang ibu, kurangnya pemahaman jika terjadi KDRT apa yang harus ia lakukan, kurangnya berkontribusi untuk keberlangsungan hidupnya (masalah ekonomi), kurangnya kontribusi untuk peradaban negeri yang lebih baik.