Amina Wadud: The Lady Imam yang Mengguncang Dunia

Ilustrasi : Agitasi/Alfa Reza

Agitasi.id – Sekira sebulan lalu, seorang pria pimpinan pesantren besar yang dinilai sesat oleh kebanyakan masyarakat Indonesia telah bebas tanpa syarat setelah setahun mendekam di jeruji besi.

Ya, dia Panji Gumilang. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. Setahun lalu, ia menyampaikan pernyataan-pernyataan kontroversial sehingga akhirnya ia divonis satu tahun penjara atas tuduhan penistaaan agama.

Bacaan Lainnya

Salah satu pernyataan yang paling disorot dari alumni Pondok Pesantren Modern Gontor pemilik nama lengkap Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang itu, ialah seorang wanita boleh menjadi khatib Jumat dan Imam Shalat.

Namun, jauh sebelum Panji Gumilang, yang dinilai tidak memiliki dasar yang kuat, di tengah gemuruh dunia yang penuh dengan suara-suara maskulin, muncul seorang wanita dengan keberanian yang tak tertandingi, Amina Wadud.

Seperti kilat di tengah malam, ia menerobos batas-batas tradisional dan menyalakan percikan revolusi dalam dunia Islam. Siapa sangka, seorang wanita bisa berdiri di depan, memimpin shalat Jumat, dan menjadi imam bagi jamaah yang terdiri dari pria dan wanita? Amina Wadud melakukannya, dan dunia pun terperangah.

Amina Wadud bukanlah nama yang asing bagi mereka yang mengikuti perkembangan diskursus gender dalam Islam. Lahir di Amerika Serikat pada 25 September 1952.

Ia tumbuh dengan semangat pembelajaran yang membara. Dengan gelar doktoralnya dalam Studi Islam, Wadud tidak hanya memahami teks-teks suci, tetapi juga menantang interpretasi-interpretasi yang telah lama mengakar.

Pada tahun 2005, di sebuah gereja di New York, Wadud mencatat sejarah. Dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, ia memimpin shalat Jumat. Sebuah tindakan yang bagi banyak orang dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma tradisional. Sehingga dunia menjulukinya dengan “The Lady Imam” atau Sang Imam Shalat Wanita.

Baca Juga :  KRITIK RTRW: Fakta Tradisi Advokasi Tahunan PC PMII Jember

Namun, bagi Wadud, ini adalah langkah menuju kesetaraan gender dalam praktik keagamaan. Ia menegaskan bahwa Islam, pada intinya, adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan.

Tentu saja, langkah beraninya ini menuai kontroversi. Banyak yang memujinya sebagai pelopor dan pembaharu, sementara yang lain mengkritiknya habis-habisan.

Namun, seperti layaknya seorang pionir sejati, Wadud tidak gentar. Ia terus berbicara, menulis, dan menginspirasi banyak wanita Muslim di seluruh dunia untuk mempertanyakan dan menantang batasan-batasan yang ada.

Melalui buku monumentalnya, “Qur’an and Woman : Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective” (1992), Amina Wadud menawarkan pembacaan ulang Al-Qur’an dari perspektif perempuan. Ia menantang interpretasi tradisional yang sering kali dianggap bias gender dan berusaha menunjukkan bahwa Al-Qur’an, pada dasarnya, mendukung kesetaraan gender. Bahkan, dengan tegas ia nyatakan bahwa interpretasi yang membatasi peran perempuan dalam masyarakat bertentangan dengan pesan universal Al-Qur’an.

Oleh karena itu, melalui buku yang sampai kini selalu dirujuk oleh pemikir atau dalam kajian-kajian feminisme. Amina Wadud mengajak untuk membaca Al-Qur’an tanpa bias historis androcentrik untuk menemukan kesamaan hak dan tanggung jawab antara pria dan wanita pada level etis-religius.

Historis androcentrik merujuk pada pandangan atau pendekatan dalam penulisan sejarah yang menempatkan laki-laki sebagai pusat atau fokus utama.

Dalam konteks ini, pengalaman, perspektif, dan kontribusi perempuan sering kali diabaikan atau dianggap kurang penting dibandingkan dengan laki-laki. Beberapa karakteristik dari historis androcentrik meliputi:
1. Dominasi Narasi Laki-laki: Sejarah sering kali ditulis dari sudut pandang laki-laki, dengan menyoroti peran dan prestasi mereka dalam berbagai bidang seperti politik, militer, dan ekonomi;
2. Pengabaian Peran Perempuan: Kontribusi perempuan dalam sejarah sering kali diabaikan atau diminimalkan. Misalnya, peran perempuan dalam rumah tangga, komunitas, dan sebagai agen perubahan sosial sering kali tidak mendapatkan perhatian yang layak.
3. Bias dalam Sumber Sejarah: Banyak sumber sejarah yang digunakan untuk menulis sejarah tradisional berasal dari perspektif laki-laki, seperti catatan resmi, dokumen pemerintah, dan karya sastra yang ditulis oleh laki-laki.
4. Pengaruh pada Persepsi Sosial: Historis androcentrik dapat mempengaruhi cara masyarakat memandang peran gender, sering kali memperkuat stereotip bahwa laki-laki adalah aktor utama dalam sejarah dan perempuan memainkan peran sekunder.

Baca Juga :  DISKRIMINASI WACANA SANG GURU BESAR: Sebuah Analisa Kritis pada Story Whatsapp

Sehingga, Wadud mengusulkan model penafsiran Al-Quran yang kooperatif dan egaliter. Di mana kontribusi gender sepenuhnya dihargai dalam masyarakat, dan cara paling efektif menurutnya adalah merombak batasan-batasan epistemologi dalam menafsiri Al-Qur’an.

Dalam ruang sederhana dalam cara yang dinilai efektif itu, Wadud mendesak agar prinsip shura (musyawarah) diterapkan dalam hubungan suami-istri untuk mencapai tatanan sosial yang adil dan moral. Baru kemudian, pentingnya adaptasi wawasan Qur’ani terhadap masalah dan konteks sosial modern.

Tidak berhenti di wilayah epistemik, Amina Wadud melanjutkan eksplorasinya tentang isu-isu gender dalam bentuk gerakan perjuangan.

Pada tahun 2006, ia menulis buku “Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam”, Ia membahas perjuangan perempuan Muslim untuk mendapatkan hak-hak mereka dalam konteks agama dan sosial.

Wadud menggunakan istilah “Jihad Gender” untuk menggambarkan perjuangan itu, menekankan bahwa jihad bukan hanya tentang perang fisik, tetapi juga tentang perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan.

Amina Wadud adalah simbol dari keberanian dan perubahan. Ia mengingatkan kita bahwa agama bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sebuah perjalanan yang terus berkembang. Dengan setiap langkah yang diambilnya, Wadud membuka jalan bagi generasi mendatang untuk melangkah dengan lebih berani dan percaya diri.

Akhirnya, ketika kita berbicara tentang Amina Wadud, kita tidak hanya berbicara tentang seorang wanita yang menjadi imam. Kita berbicara tentang sebuah gerakan, sebuah revolusi, dan sebuah harapan akan masa depan yang lebih inklusif dan adil.

Amina Wadud adalah bukti hidup, bahwa perubahan adalah mungkin, dan suara seorang wanita bisa mengguncang dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *