AGITASI.ID – Kejahatan memang begitu mesra, bahkan tidak disangka harus menyeret karakter feminitas perempuan demi melancarkan aksi sindikat narkoba.
Sebagaimana jumlah yang ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), ada 285 tersangka penyelundupan narkotika sepanjang bulan April hingga Juni 2025. Mirisnya, dari jumlah tersebut 29 tersangka adalah perempuan yang notabenenya seorang ibu rumah tangga (tempo.co, 23/06/2025).
Modus baru dalam sindikat narkoba ini, membuktikan tidak hanya berfokus pada permasalahan tindak pidana. Namun, cermin buram dari dampak kebijakan pemerintahan yang lebih dalam seperti, kemiskinan, terbatasnya akses terhadap pekerjaan layak, serta rendahnya literasi hukum dan sosial.
Apalagi, di balik tindakan kriminal, seringkali tersembunyi keterpaksaan, tekanan ekonomi, dan jebakan sindikat yang mengeksploitasi ketidaktahuan serta kebutuhan hidup.
Kondisi keterdesakan ekonomi dan janji uang cepat telah menjebak banyak perempuan yang tidak memiliki pilihan hidup lain. Seketika itu pula, menjadi kurir narkoba terlihat sebagai “peluang” bukan pelanggaran.
Sayangnya, respons negara terhadap persoalan ini lebih banyak bersifat represif. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang menegaskan ancaman pidana berat hingga hukuman mati.
Padahal, hukum yang menitikberatkan pada penindakan justru seringkali mengabaikan sisi preventif dan rehabilitatif. Kehadiran negara hanya ketika kejahatan telah terjadi, bukan untuk mencegah akar persoalan yang memungkinkan kejahatan itu tumbuh.
Keikutsertaan ibu rumah tangga menjadi tersangka menuntut perubahan paradigma dalam kebijakan penanggulangan narkotika. Pertama, negara harus memperkuat program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan, khususnya ibu rumah tangga di wilayah-wilayah rawan.
Kedua, literasi hukum dan penguatan kapasitas sosial masyarakat harus ditingkatkan, agar perempuan tidak mudah dimanfaatkan oleh sindikat kriminal.
Ketiga, sistem peradilan pidana harus lebih sensitif terhadap konteks sosial dan relasi kuasa yang menyebabkan perempuan terlibat dalam jaringan narkotika.
Selain itu, lembaga pemerintahan seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Sosial, serta aparat penegak hukum perlu bersinergi membangun sistem pelindungan yang proaktif dan berkelanjutan. Pendekatan berbasis komunitas ini, dapat menjadi salah satu alternatif dalam memetakan risiko dan mencegah keterlibatan perempuan dalam jaringan kejahatan yang terorganisir.
Oleh karena itu, adanya ibu rumah tangga menjadi pengedar narkoba, maka harus dibaca sebagai alarm sosial. Sebab, perempuan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, kini malah terseret dalam lingkaran kejahatan.
Dengan demikian, negara tidak hanya menghukum saja, tetapi harus memulihkan. Karena keadilan bukan hanya menghukum yang bersalah, melainkan juga mencegah agar kelompok yang rentan tidak ikut terlibat ke dalam kesalahan.
Penulis: Mailin Agustin (Mahasiswi Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember)
Editor: Fadli Raghiel