Jember, AGITASI.ID – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakulas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jember menggelar webinar nasional bertajuk “Kronik Penulisan Ulang Sejarah Resmi Indonesia”, pada Selasa (24/06/2025) malam hari.
Agenda penulisan ulang sejarah Indonesia sering dikampanyekan oleh Kementerian Kebudayaan, meskipun usulan ini memiliki kecenderungan politis.
Ketua Senat Universitas Jember, Andang Subaharianto, mengatakan bahwa kebiasaan yang terjadi dalam penulisan sejarah itu untuk tujuan propaganda politik, sehingga harus dihentikan.
“Saya kira kebiasaan pengaburan atau pembelokan sejarah untuk propaganda politik, menurut saya harus dihentikan, bangsa ini harus berani sedemikian rupa melawan dan menghentikan upaya-upaya yang dilakukan oleh penguasa terhadap cawe-cawe histori,” kata Andang yang sekaligus menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.
Menurut Andang, penulisan ulang sejarah nasional di Indonesia telah mengalami kontroversi di berbagai kalangan. Pasalnya, Kementerian Kebudayaan sebagai pelaksana tidak hanya sekadar menjadi fasilitator, tetapi ada agenda yang tersembunyi dibalik penulisan tersebut.
“Di samping jadwal penulisan yang begitu dipaksakan dan harus diselesaikan pada bulan Agustus tahun 2025. Padahal cakupannya begitu luas yang akan ditulis, cakupannya yang harus menjadi tugas penulis sejarah,” kata Andang.
Anggota DPR RI komisi X, Bonnie Triyana, menyampaikan terkait polemik penulisan ulang sejarah berawal ketika ada usulan menulis kembali sejarah di Indonesia. Menurutnya dalam khazanah ilmu sejarah terdapat berbagai macam jenis penulisan.
“Yang menjadi pertanyaan saat ini, Kementerian Kebudayaan telah mengingkari penulisan ulang sejarah. Namun, menjadi persoalan ketika ada label sejarah dan kemudia ada istilah sejarah dipolitikkan. Selanjutnya, ada sebuah pernyataan atau pendapat dari Menteri Kebudayaan bahwa penulisan sejarah untuk memberikan penghormatan kepada para pemimpin dan menghargai masalalu,” ucap Bonnie sebagai Narasumber Pertama dalam acara webinar.
Bonnie menyampaikan kalau Komisi X DPR RI, sebelumnya telah memanggil Menteri Kebudayaan pada 26 Mei 2025. Adanya pemanggilan itu setelah kedatangan kelompok aliansi keterbukaan budaya, yang menuntut agar pemerintah tidak meneruskan proyek penulisan sejarah.
Selain itu, Akademisi Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, sebagai narasumber kedua menjelaskan bahwa berbicara tentang sejarah dalam konteks politik, mempunyai efek hegemoni yang kuat dari pemerintah.
Sebagaimana yang Airlangga kutip dari pemikiran intelektual Italia yaitu Antonio Gramsi. Bahwa perangkat dari kekuasaan bukan hanya dominasi, melainkan hegemoni, yaitu bagaimana sebuah kekuasaan berusaha menundukkan kalangan-kalangan yang terpinggirkan, agar tunduk untuk menyepakatinya.
“Pertarungan antara kekuasaan dengan sejarah, memang tidak bisa dilepaskan, di situ kita bisa lihat mekanisme-mekanisme kekuasaan yang diproduksi oleh negara sebagai bentuk pembebasan. Namun dalam hal ini bukan makna pembebasan, justru dalam makna yang sifatnya reaktif,” ucap Airlangga yang sekaligus penulis buku “Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia”.
Menurut Airlangga, ada beberapa poin penting yang menjadi pembahasan, dan problematik dalam penulisan sejarah yaitu; adanya narasi sejarah awal, yang mulanya prasejarah diganti sejarah awal, perdebatan dalam BPUPKI tidak ditampilkan, Konferensi Asia dan Afrika yang hanya dibaca sekilas, pemaknaan era Soekarno selama 20 tahun, serta banyak memunculkan hal yang dianggap istimewa pada era Soeharto.
“Menurut Sejarawan Inggris, Eric Hobsbawm, ia melihat bahwa sejarah adalah bagaimana kita memaknai suatu perubahan sosial dalam masyarakat. Yang poin utamanya tentang bagaimana keberpihakan kita, dalam dimensi pemaknaan terhadap sejarah diinterpretasikan sebagai proyek pembebasan,” tutur Airlangga.
Penulis: Asri Lailatus S
Editor: Fadli Raghiel