Kemenangan Jokowi’s Coattail Effect Melawan Kuasa Hegemoni Soekarno

AGITASI.IDCoattail effect merupakan sebutan gaul politik yang artinya,”efek ekor jas”. Merupakan istilah politik, yang semula dipakai oleh seseorang untuk berselimut nama tokoh tersohor dalam memenangkan pertarungan politik. Umumnya, nama yang dipakai adalah orang yang dianggap hebat, mulia ataupun semacamnya.

Efek ekor jas belakangan, dijadikan sebagai alat untuk memuluskan langkah politik paslon tertentu dalam kontestasi kekuasaan. Pelaku di publik tampak memainkan pola politik jasa dan nama baik.

Bacaan Lainnya

Secara historis, pertama kali istilah coattail effect ini disematkan kepada Presiden Amerika yaitu Abraham Lincoln 1848. Ia memakai herostika militer Jenderal Jackson, panglima perang yang sangat berpengaruh dan menjadi panutan para tentara, guna menguatkan popularitas demi menggaet vote masyarakat. Agendanya berjalan mulus, estafet pemerintahan pun jatuh dalam pelukannya.

Senada dengan hal itu, sebenarnya di negara Indonesia banyak sosok politisi yang memakai coattail effect, misalnya, Megawati. Sebagai politisi, ia masyhur karena merupakan anak Soekarno. Atas popularitas ayahnya, sebagai proklamator bangsa, ia berhasil meraup simpati masyarakat.

Meskipun beberapa golongan masih pro/kontra terhadap hal tersebut, namun yang jelas suksesi PDIP pada Pemilu 2019 tidak lepas dari popularitas sang ayah. Hal ini dibuktikan dengan bertebarannya spanduk di jalanan menggunakan foto sang proklamator itu, bahkan hingga saat ini.

Menariknya, Pemilu 2024 Ganjar gagal. Ia dihabisi oleh hasil quick count di hampir semua lembaga survei oleh Prabowo-Gibran. Apakah coattail effect lenyap dengan kekalahan Megawati atau PDIP ini? Tentu tidak, keunggulan Paslon yang mengalahkannya, ternyata juga tidak terlepas dari agenda coattail effect. Kemenangan Prabowo-Gibran ditengarai tak lepas dari nama besar Joko Widodo, sang Presiden.

Baca Juga :  Isu Panas Hak Angket, Refly Harun Ajak Massa untuk Pemilu Diulang Lagi

Banyak masyarakat menyimpulkan kemenangannya Paslon nomor urut 02 ini, dilakukan dengan penggunaan nama kekuasaan Presiden sebagai alat kampanye. Bahkan tak sedikit yang menuduh hal tersebut diselimuti kecurangan, yakni memakai jurus aji mumpung berkuasa.

Terlihat sangat jelas, perhelatan Pemilu 2024 sebenarnya merupakan agenda pertarungan coattail effect. Effect hegemoni nama Soekarno dan Presiden Jokowi. Kemenangan Prabowo-Gibran menandakan bahwa pemenangnya adalah Jokowi’s coattail effect.

Untuk membuktikannya, tentu sangat sederhana. Ketika di pertengahan tahun 2023, paslon Prabowo Subianto melakukan bongkar pasang cawapres dengan Erick Thohir, Ridwan Kamil, bahkan Khofifah Indar Parawansa. Popularitasnya sangat lemah, yakni tidak sampai pada titik 65% dan elektabilitasnya kurang dari 50%. Kondisi ini berubah drastis, sejak Golkar dengan lantang menyuarakan Gibran, Putra Jokowi sebagai cawapresnya. Setelah Gibran diresmikan, popularitas dan elektabilitas kubu politik ini kian hari kian bertambah.

Puncaknya adalah keunggulan paslon di semua lembaga survei. Hal demikian menandakan, Jokowi’s coattail effect telah mengalahkan kekuatan hegemoni nama Soekarno. Walaupun masih ada yang beranggapan bahwa Presiden Jokowi berangkat dari kaum darah merah (pedagang/buruh). Ternyata, hegemoninya mengalahkan sang proklamator. Pastinya, banyak pihak yang dikecewakan.

Saat sudah masuk dalam Istana Negara, ternyata darah Jokowi dianggap telah membiru. Bahkan dapat dianggap telah muli sebagaimana kelas borjuis elit dewasa ini. Hal demikian, persis sebagaimana digambarkan oleh mantan Ketua MK Prof. Jimly Assidiqie, dalam kegiatan podcast dengan Prof. Renald Kasali.

Penulis : Gita Pamuji
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Agitasi.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *