AGITASI.ID – Perempuan selalu menjadi perbincangan hangat dalam setiap masa, dimanapun tempatnya bahkan di seluruh dunia. Ia adalah sosok yang selalu diperjuangkan, begitupun sosok yang diremehkan. Entah dilahirkan sejak kapan, hidup perempuan dari zaman dulu selalu terpasung dalam stereotipe-stereotipe yang ada.
Beberapa dekade terakhir, perbincangan tentang perempuan dan ruang aman mulai populer, hal ini menandakan eksistensi perempuan kerap kali terganggu. Ruang aman sendiri dapat berarti spasial ruang yang merujuk pada letak geografis berupa tempat yang dihuni, maupun merujuk pada proses laku hidup serta cara pandang orang lain terhadap perempuan.
Bagi sebagian orang, perempuan dan ruang aman terlihat sepele karena kehidupannya yang jauh terjamin. Tapi, ternyata dunia tidak hanya dihidupi pada tanah yang kita pijak saja. Lalu bagaimana dengan perempuan diluar sana, yang hidupnya jauh lebih tidak aman ketimbang kita.
Apakah kita hanya akan diam saja menikmati hidup kita ini?. Padahal, separuh dari kekuatan yang dikaruniai tuhan untuk kita tanpa kalian sadari, adalah bentuk pertolongan tuhan terhadap mereka melalui kita.
Perempuan itu lebih dari sekedar stereotipe yang ada, standar sosial yang ada seakan hanya pada perempuan sasaran tepatnya. Pengalaman stereotipe seakan menjadi pengalaman yang tak terpisahkan pada seorang perempuan dengan berbagai peran domestik, yang membuat perempuan sangat terbatas karena dianggap sudah kodratnya.
Mitos keterbatasan menjadi titik lemah perempuan untuk mengambil keputusan-keputusan. Perempuan selalu saja dibekap dengan banyaknya pilihan, seolah mereka tak mampu hanya karena mereka seorang perempuan.
Bagi perempuan pilihan sering kali menjadi tantangan, seperti pilihan menjadi perempuan karir atau menjadi ibu rumah tangga, perempuan kerap kali dihujat dengan dilema penghakiman yang tak dirasakan laki-laki.
Jika perempuan berkarir seolah melawan kodrat, sedangkan laki-laki tidak pernah diberi pilihan-pilihan. Tak sedikit kasus yang memojokan wanita untuk melakukan hal yang mengahambat pendidikan mereka. Lalu seenaknya saja mereka bilang perempuan itu tak mampu dalam pendidikan, tak pantas berkarir, tak pantas jadi pemimpin, padahal kehidupan perempuan selalu dikekang.
Perempuan selalu dituntut untuk menjadi cantik. Definisi cantik itu sebenarnya yang bagaimana sih? Apakah yang tinggi dan langsing? Apakah yang putih? Atau yang mempunyai rambut lurus?. Banyak sekali definisi-definisi yang entah dibuat siapa, tapi seolah itu yang menstandarkan bahwasanya cantik itu yang demikian.
Sehingga, banyak sekali perempuan-perempuan yang terjebak pada insecurity dan membuat mereka merasa dirinya selalu kurang, merasa dirinya nggak cantik karena tidak sesuai dengan definisi cantik menurut standar sosial tersebut. Padahal, tak ada yang harus seragam pada penampilan kita, kita dilahirkan dengan bekal yang ternyata lebih cantik dari sekedar yang kita duga.
Aku, kamu, kalian , kita semua pasti ingin tampil cantik. Tak ada yang salah dengan itu, yang terpenting jangan mengukur standar kecantikan orang lain, buat definisi cantikmu sendiri.
Definisi cantikmu tidak hanya menjadi kata benda tapi kata kerja, karena cantik bukanlah pertunjukan yang dipertontonkan. Ternyata banyak sekali hal-hal yang mampu membuat definisi cantik. Mengutip perkataan mbak Najwa Shihab “seseorang menjadi cantik bukan karena tindakannya, melainkan karena kepintarannya,”.
Begitu pula di tahun politik ini, saat politik sudah seperti makanan sehari-hari di Indonesia. Dorongan keterlibatan perempuan dalam panggung kontestasi politik, semakin didukung dengan disahkannya Undang-Undang tentang Partai Politik yang mengharuskan setiap partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan.
Saya sendiri, tentunya bangga atas nama perempuan karena perempuan sudah mulai dianggap ada dan mampu. Tapi, ternyata dengan berbagai sistem yang ditata sedemikian rupa dalam balutan struktural-teknokratik, apakah itu benar-benar maksimal? Jelas tidak.
Partisipasi perempuan belum bisa maksimal. Selain faktor keterlibatan perempuan sendiri, faktor pemilih juga merupakan hal yang penting. Terdapat banyak tempat perempuan masih dianggap lemah dan tak mampu. Selalu dianggap kurang pintar, tak setegas laki-laki, perempuan gampang emosi, terlalu mengutamakan ego. Apa iya sih?.
Coba tunjukkan dimana perempuan yang seperti itu?. Mereka tak selemah itu, faktor melemahkannya adalah stereotipe-stereotipe yang dilekatkan pada perempuan.
Stereotipe itu seperti menyempitkan kehidupan perempuan, serta mengecilkan arti perempuan sesungguhnya. Perempuan itu berdaya sama halnya seperti laki-laki, karena setiap manusia entah laki-laki atau perempuan harus punya kendali atas dirinya sendiri.
Banyak sekali kasus-kasus ketidakadilan perempuan yang ternyata dianggap remeh oleh masyarakat. Ketika perempuan dipaksa menikah dini, tapi tanggapan masyarakat “ah memang sudah biasa, gapapa lah,”. Pertanyaanya mau sampai kapan? Mau sampai kapan perempuan harus diatur dengan standar sosial yang tidak memanusiakan perempuan.
Coba kita pikir kembali, laki-laki ketika sudah berumur mereka dianggap matang untuk menikah, tapi perempuan dianggap kadaluarsa, bukankah seharusnya sama aja. Karena untuk melahirkan generasi pintar itu dari perempuan pintar.
Karena menurut keterangan ilmiah, jika seseorang berfikir logis maka kamu peroleh dari ibumu yang berfikir logis. Jadi, jika ayahmu pintar itu bukan dari kakekmu, tapi dari nenekmu. Laki-laki sebenarnya tidak ada fungsi tentang kecerdasan, laki-laki tidak menyumbang gen kecerdasan.
Mengutip perkataan kak Sherly Annavita “jika pengen ngeliat masa depan suatu negara, cek perempuanya, pengen ngehancurin suatu negara, hancurkan karakter perempuannya, karena menghancurkan perempuan sama dengan mengahancurkan generasi selanjutnya,”.
Karena kehidupan bukan hanya tentang dirinya, beberapa bagiannya tidak bisa digantikan oleh laki-laki begitupun sebaliknya. Dan bagian istimewanya, perempuan ini setengah dari peradaban. Oleh karna itu, pendidikan penting sekali sebenarnya bagi perempuan.
Memang tak semua laki-laki itu hewan, tapi sebagaian hewan ternyata berwujud laki-laki. Kita sebagai perempuan, harus sadar 100% dengan fisik perempuan yang dirancang sedemikian, tidak akan mampu melawan laki-laki dengan kekuatannya yang sedemikian juga. Perempuan memang kalah dalam segi fisik, tapi apakah laki-laki patut untuk memanfaatkan kondisi tersebut?.
Hanya karena emosinya, laki-laki memanfaatkan kegagahannya dengan menyakiti sesama manusia. Memang, tak semua laki-laki berbuat seperti hewan tersebut, tapi dari banyaknya kejadian, itu semua terukir dalam benak perempuan kalau sebagian laki-laki memang sejahat itu.
Banyak sekali kasus-kasus kekerasan serta pelecehan terhadap perempuan, tapi setelah itu banyak sekali pertanyaan bahkan ngejudge ”kenapa gak menghindar,?”, “kenapa gak melawan,?”, “kenapa gak teriak?”. Oh atau nggak “ceweknya emang pendek pakaiannya,” bahkan “ceweknya memang nakal sebelumnya,”.
Selalu saja jatuh terhadap perempuan kembali, satu hal yang kita pahami kekerasan dan pelecehan bisa terjadi pada siapapun dan oleh siapapun. Tidak terpaku pada usia dan jenis kelamin. Terutama kaum perempuan yang mayoritas korban tindak kekerasan dan pelecehan. Tidak sedikit dari mereka yang hingga saat ini masih menanggung luka yang sama, hingga saat ini harus berjuang dan tidak mendapatkan keadilan.
Banyak orang yang percaya, faktor pelecehan seksual adalah pakaian korban. Sayangnya, banyak yang mempercayai faktor tersebut. Seakan-akan jika semua orang didunia ini berpakain tertutup, maka tidak akan ada lagi pelecehan. Padahal faktor utamanya bukanlah atribut tapi rusaknya moral pelaku.
Kita harus membangun budaya yang tidak melihat perempuan melulu dari penampilannya, dan dimulai dari diri kita sendiri. Entah perempuan ataupun laki-laki tercipta dengan desain tuhan yang dirancang untuk tidak menyakiti satu sama lain. Perempuan dan laki-laki itu adalah makhluk setara yang tuhan ciptakan dengan penuh kebaikan, supaya kita punya gairah yang sama untuk menunjukkan siapa kita, dan punya perasaan berharga karena kita perempuan.
Semua orang berhak mendapat kebebasan, perempuan pun juga sangat berhak mendapatkanya. Mungkin kita mendapatkan tapi ternyata dunia tidak berputar hanya disekeliling kita saja. Banyak disana perempuan-perempuan yang masih terjerat dan tak mampu menunjukkan sikap.
Tugas perempuan yang mendapatkan kebebasan adalah menguatkan perempuan lain untuk maju lebih berani, dan menujukkan kami sebagai perempuan yang percaya diri mampu menunjukkan kemampuan dimanapun, bahkan di lingkungan patriarki.
“each time a woman stand up for herself, without knowing it possibly, without claiming it, she stand up for all women,” Maya Angelou.
“setiap kali perempuan membela dirinya, tanpa disadari ,tanpa mengeklaimnya, ia sedang membela hak semua perempuan,”. (*)