Kegagalan Negara menjadi Pelindung terhadap Korban Femisida

Grafis: ARIS/AGITASI

AGITASI.ID – Femisida bukan sekadar kasus kekerasan perempuan yang familiar di telinga masyarakat. Perbuatan bejat ini adalah tanda bahwa sistem perlindungan negara terhadap perempuan telah gagal.

Ketika perempuan terus dibunuh hanya karena gendernya dan dibiarkan begitu saja, maka benar jika kebijakan dan penegakan hukum di negara Indonesia memang lemah.

Bacaan Lainnya

Merebaknya kasus femisida membuat hidup perempuan semakin dalam ancaman yang tidak kasatmata. Lebih tragisnya, ancaman itu sering kali datang dari orang terdekat, baik dari keluarga bahkan teman sejawat.

Femisida yang disebabkan sentimen gender cermin dari adanya budaya patriarki yang menormalisasi kuasa atas tubuh dan hidup perempuan.

Beberapa kasus yang diungkap oleh Komnas Perempuan menunjukkan betapa brutalnya kekerasan terhadap perempuan, di antaranya: seorang wanita ditemukan tewas dalam koper di Cikarang, kasus mutilasi perempuan di Ciamis, hingga perempuan yang dibunuh hanya karena mengigau saat tidur di Minahasa Selatan. Kejadian ini bukan hanya tragedi personal perempuan, tetapi malah menambah daftar panjang kasus femisida.  

Sebagaimana yang dikemukakan Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Eni Widiyanti, bahwa pembunuhan terhadap perempuan atau femisida penting untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan (Antaranews, 31/01/2025). Sayangnya, fakta yang perlu disadari hingga kini hukum Indonesia belum mengenal istilah femisida.

Kekosongan Hukum (legal vacuum) Secara Spesifik tentang Femisida

Menyoroti kelemahan mendasar hukum di Indonesia, bisa diterlihat pada pasal-pasal dalam UU HAM yang hanya membahas hak asasi manusia secara umum. Adanya regulasi tersebut cuma sebagai bentuk ratifikasi Declaration of Human Rights, tanpa menyentuh realitas kekerasan berbasis gender secara spesifik.

Baca Juga :  Ramai Pertalite Dioplos jadi Pertamax, Berikut Rekomendasi Bahan Bakar Selain dari Pertamina

Lebih parah lagi, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang seharusnya menjadi benteng hukum bagi perempuan, tidak memuat satu pun pasal secara eksplisit tentang femisida (Salamor, 2024 : 99).

Ketidakhadiran pengakuan hukum terhadap femisida potret dari ketidakseriusan negara dalam melindungi perempuan. Minimnya pemahaman terhadap istilah ‘femisida’ membuat banyak kasus tidak tercatat secara resmi.

Itulah kenapa, Komnas Perempuan menekankan pentingnya penggunaan istilah femisida, untuk memahami akar masalah dan mencegah kekerasan lebih lanjut.

Setiap tahun, laporan demi laporan mencatat kematian perempuan dibunuh oleh pasangannya, mantan kekasih, ayah kandung, yang seharusnya bisa menjadi pelindung, justru harapan itu berbanding terbalik.

Namun, apakah dari banyaknya kasus femisida telah mendapat perhatian dari aparat hukum? Hampir tak ada. Femisida terus terjadi hingga menjadi hal biasa dalam lanskap berita harian media massa dan sosial. Negara masih gagap mengakui femisida sebagai kejahatan berbasis gender.

Apalagi, pihak pemangku kebijakan yang menjabat di pemerintah negara, malah memilih untuk membungkam, bukan melindungi. Membiarkan, bukan mencegah. Menyederhanakan tragedi sebagai konflik pribadi perempuan.

Maka jangan heran jika hidup di negara yang lebih cepat mengadili perempuan karena pakaian, ketimbang melindunginya dari pembunuhan. Negara lebih tertarik mengatur rahim perempuan, dibanding menjaga jantungnya tetap berdetak.

Oleh karena itu, negara perlu segera mengakui femisida sebagai kejahatan berbasis gender dalam hukum nasional. Selain itu, diperlukan pendataan yang terpilah berdasarkan jenis kelamin dan motif kekerasan, serta penguatan mekanisme pencegahan dan perlindungan bagi perempuan.

Pemerintah juga harus memastikan, bahwa UU TPKS diterapkan secara efektif dalam kasus-kasus femisida dan memberikan dukungan yang memadai bagi korban dan keluarganya.

Kematian perempuan bukan sekadar kehilangan nyawa, melainkan kegagalan sistem. Jika terus dibiarkan sama halnya negara telah mengkhianati konstitusi yang seharusnya melindungi setiap warganya tanpa kecuali.

Baca Juga :  PEREMPUAN MEMBELA PEREMPUAN, (Kopri Annisa Rayon Syariah Bersuara & Mengutuk Keras Terhadap Pelecehan Seksual, yang dilakukan dosen Universitas Jember)

Sekarang kita perlu bertanya kepada negara: Harus berapa lagi perempuan yang mati agar dianggap penting? Dengan demikian, selama negara terus memilih diam, ia bukan sekadar penonton, melainkan kaki tangan dari pembunuhan itu sendiri.

Penulis: Dinna Sazli Kharisma (Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *