AGITASI.ID – Kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak di bawah umur kembali terjadi, sekarang korbannya merupakan murid di salah satu Madrasah Ibtidaiyah terkenal di Jember.
Sebenarnya, kasus ini sudah terjadi beberapa Minggu lalu, hanya saja baru diangkat penulis karena pertimbangan waktu yang cukup panas. Baik pelaku maupun korban kekerasan seksual ini adalah siswa MI, yang tergolong anak di bawah umur.
Mirisnya, yang menjadi sorotan kali ini bukan hanya peristiwa kekerasan seksual itu sendiri. Melainkan juga langkah advokasi yang diambil oleh Pengurus Cabang Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI PC PMII) Jember, yang menurut penulis kurang mempertimbangkan aspek privasi dan perlindungan anak.
Pasalnya, alih-alih melakukan pengawalan terhadap korban dan pelaku kekerasan seksual, KOPRI PC PMII Jember malah menggembar-gemborkan kasus ini di banyak media mainstream. Akibatnya, privasi anak di bawah umur dalam kasus terekspos, yang bisa mengakibatkan traumatik pada korban.
KOPRI PC PMII Jember Tak Melindungi Privasi Anak, Malah Membeberkannya
Dalam kasus kekerasan seksual ini, perlindungan privasi anak seharusnya menjadi prioritas utama. Indonesia, punya banyak Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan anak. Kalau ingatan penulis tak bermasalah, aturan tersebut bahkan sampai berjumlah tiga UU. Dari UU No. 23 Tahun 2002, UU No. 35 Tahun 2014, hingga UU No. 17 Tahun 2016, – yang masing-masing punya spesifikasinya sendiri.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak misalnya, UU ini tak lain merupakan perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002. Dijelaskan bahwa anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau pelaku tindak pidana memiliki hak untuk dilindungi privasinya.
Hal ini semata untuk menjaga kesejahteraan psikis dan sosial mereka di masa depan. Mengingat karena usia mereka sebagai korban kekerasan seksual yang masih sangat muda dan rentan.
Namun, Kopri PC PMII Jember justru meramaikan kasus ini di media sosial dan beberapa media mainstream. Hal ini menimbulkan masalah baru bagi korban maupun pelaku, yang identitasnya dapat diketahui khalayak luas.
Tentu langkah yang diambil KOPRI PC Jember ini bertentangan dengan prinsip utama perlindungan anak yang diatur dalam undang-undang. Privasi anak yang seharusnya dijaga demi meminimalisir dampak psikologis jangka panjang, justru diabaikan.
Huru-hara media ini berpotensi menambah beban mental bagi korban maupun pelaku serta keluarga mereka, yang kini harus menghadapi stigma sosial. Bayangkan kalau korban dan pelaku beserta keluarganya harus menjadi buah bibir masyarakat, siapa yang berdosa atas semua itu ? Ya, betul. KOPRI PC PMII Jember jawabannya.
Harusnya Aspek Kekeluargaan Menjadi Prioritas Advokasi
Harusnya, dalam mengawal kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak di bawah umur, pendekatan kekeluargaan penting untuk diutamakan. Langkah ini tentu bukan berniat untuk menutup-nutupi kasus kriminal. Sama sekali bukan. Tetapi karena kasus tersebut melibatkan anak di bawah umur, lagi-lagi harus dipertimbangkan banyak kali langkah yang seharusnya diambil. Pendekatan kekeluargaan adalah solusinya.
Anak-anak masih berada dalam masa perkembangan emosi, dan trauma yang mereka alami bisa berdampak panjang. Pendekatan yang kurang bijak atau terlalu mengekspos masalah ini di media sosial hanya akan memperburuk kondisi anak dan keluarga.
Dalam hal ini, peran organisasi yang mengawal kasus anak harusnya lebih menekankan pada pendekatan humanis, untuk mendukung pemulihan emosional korban dan pelaku.
Mengawal kasus kekerasan seksual anak memang penting, tetapi metode advokasi seharusnya memperhatikan sensitivitas yang melibatkan anak di bawah umur. Mestinya KOPRI PC PMII Jember, kalau memang mau meminimalisir kekerasan seksual, harusnya langkah pencegahan adalah pilihan yang tepat. Sosialisasi tentang negatifnya kekerasan seksual harus dilakukan dari hulunya.
Ketimbang berfokus pada publikasi, dan pansos di sosmed dan media saja, upaya pengawalan yang lebih tertutup dan penuh perhatian terhadap kebutuhan emosional anak-anak ini seharusnya menjadi prioritas. Penulis sarankan, KOPRI yang ngaku feminis baca literatur tentang psikologi.
Penulis khusnudzan kalau pengurus KOPRI PC PMII Jember menghayati terhadap gagasan feminisme eksistensialisnya Simone de Beauvoir, bahkan bisa jadi mabuk. Makanya, gerakan advokasi yang diambil dalam mengawal kekerasan seksual pada anak di bawah umur, dengan pansos dan narsistik !
Tapi maksud Simone de Beauvoir tentang feminisme eksistensialis dalam karyanya The Second Sex (1949) yang membuat dirinya terkenal itu, bukan ngawal isu feminism dengan pansos di sosmed atau narsis di media.
Penulis berani bertaruh bukan begitu. Jadi, nasistik eksis yang dilakukan KOPRI PC PMII Jember sama sekali tidak ada hunungannya dengan Beauvoir cewek idaman Jean-Paul Sartre itu.
PC PMII Jember harus Bertanggungjawab atas Trauma Korban
Akibat dari tindakan pengawalan yang menurut penulis hanya narsistik ini, baik korban maupun pelaku yang notabene adalah anak di bawah umur ini -harus menghadapi dampak psikologis yang besar.
Stigma dari masyarakat, eksposur yang berlebihan di media sosial, hingga beban mental yang dipikul oleh keluarga dari kedua belah pihak akan memperparah trauma yang sudah ada.
Oleh sebabnya, PC PMII Jember, wabil khusus KOPRI, sebagai pihak yang membeberkan informasi di media, perlu mengambil tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan dari pengawalan yang asal-asalan ini. Diksi “pengawalan asal-asalan” lebih halus daripada penulis menyebut yang lebih kasar dan memalukan.
Terakhir, advokasi kasus-kasus sensitif, seperti kekerasan seksual anak sebaiknya harus menjadi refleksi bagi semua organisasi yang terlibat di dalamnya. Memprioritaskan penaggulangan, pemulihan korban, dan memberikan perhatian khusus kepada pelaku yang juga masih anak-anak, bukanlah pilihan yang buruk.
Dengan demikian, proses advokasi tidak malah merugikan anak-anak yang terlibat dalam peristiwa ini. Bukan malah menjadi bumerang yang berdampak buruk bagi citra organisasi.