AGITASI.ID – Desa merupakan jantung kehidupan sebuah negara. Salah satu faktor yang berpengaruh besar bagi negara dalam memastikan keberlanjutannya ialah tingkat kesejahteraan masyarakat desa.
Desa memberikan arti penting dalam kehidupan bernegara di semua belahan dunia, khususnya di Indonesia. Menurut data BPS tahun 2023 tentang Indikator Kesejahteraan Rakyat, selama 5 tahun terakhir jumlah dan persentase penduduk miskin di pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan.
Selain itu, laju penurunan persentase kemiskinan di perkotaan tiga kali lipat dibandingkan di pedesaan. Hal ini dipengaruhi oleh akses terhadap lapangan pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas umum yang cenderung terbatas. Sehingga mengindikasikan, bahwa disparitas antara kehidupan di desa dan di kota masih terjadi kesenjangan.
Menjadi seorang pemuda yang hidup dan mencari penghidupan di desa, sudah sewajarnya untuk turut andil memberikan sumbangsih terhadap problematika yang saat ini dihadapi oleh masyarakat pedesaan. Per hari ini, peran pemuda dalam membangun desanya kian dipertanyakan.
Alih-alih berinisiasi untuk membentuk gerakan yang berdampak, justru mereka sering kali menghindar dan memilih untuk pindah ke kota demi kehidupan yang lebih layak. Pilihan ini tidak serta merta dapat disalahkan.
Secara realitas, kehidupan di kota jauh lebih memadai, dari segi fasilitas kesehatan, pendidikan, sampai dengan aksesibilitas publik.
Kondisi kehidupan pedesaan di Indonesia memang masih mengkhawatirkan. Padahal, selain menjadi tulang punggung perekonomian, desa juga berperan utama dalam ketahanan pangan suatu negara. Masalah pangan misalnya, sering kali menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mulai dari segi produktivitas, aksesibilitas, dan stabilitas terhadap sumber bahan pangan yang kian memprihatinkan.
Bukan hanya itu, harga produk pertanian yang menurun, rantai pasok di kota yang terganggu, sampai dengan harga yang tidak layak diterima oleh petani menjadi kompleksitas masalah yang mencemaskan.
Dinamika permasalahan yang sedemikian rumitnya disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari monopoli pasar oleh para tengkulak/distributor pertanian yang berimbas pada rusaknya harga pasar, minimnya inovasi yang berkembang di masyarakat, hingga gagalnya pemerintah dalam menaungi dan mengakomodir sistem pemerintahan yang inklusif dan progresif, konsisten memperparah sirkulasi tata niaga di Indonesia.
Berkaca dari semua permasalahan yang ada, perlu adanya kesadaran masyarakat secara menyeluruh. Kolaborasi sinergis antar warga, instansi swasta, serta elemen pemangku kebijakan, efektif dibutuhkan guna mereduksi permasalahan yang bergejolak di tengah kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini, peran pemuda sangat dibutuhkan, selain menjadi pelopor gerakan, pemuda juga berlaku menjadi inisiator taktis yang dapat merealisasikan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Hampir di setiap negara, pemuda menjadi titik tumpu di berbagai aspek pertumbuhan, mulai dari aspek sosial, ekonomi, sampai dengan pembangunan.
Kelompok Tani Pekarangan (KTP) Bumi Asih misalnya, gerakan pemuda yang berangkat dari keprihatinan atas minimnya sumber makanan yang kurang sehat dan keluhan petani, terhadap harga pupuk yang semakin mahal menjadikan para pemuda di Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan berinisiasi untuk menciptakan makanan dan pupuknya sendiri.
Berbekal dari berbagai pelatihan pertanian alami dan jejaring dengan para pakar pertanian, mereka berinovasi untuk memenuhi asupan dapur dengan treatment bertani secara alami, yakni dengan memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada di sekitar, tanpa bergantung pada produk hasil fabrikasi. Meskipun masih dalam lingkup kecil, gerakan seperti ini setidaknya mampu menjadi solusi alternatif terhadap kebuntuan masalah pangan yang ada di desa.
Tidak hanya itu, Gerakan Dasawisma Gropyok Sampah atau yang biasa disebut “GERDAWIS GROPAH”, merupakan gerakan kultural yang diinisiasi oleh pemuda di Kelurahan Sendangsari Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulon Progo. Gerakan ini merupakan gerakan kepedulian terhadap lingkungan yang telah terorganisir dari tingkat dasawisma.
Sampah organik berupa dedaunan kering yang berserakan di sekitar rumah atau pekarangan yang dulunya hanya dibakar, kini secara perlahan mulai dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan pupuk organik. Untuk mewujudkan gerakan demikian, perlu adanya komitmen serta sinergitas kolaboratif antar elemen, mulai dari masyarakat desa hingga pada tataran Pemerintah Kabupaten.
Bersandar pada contoh-contoh tersebut, sekali lagi menegaskan peran pemuda begitu krusial dalam membawa gebrakan perubahan, terutama di lingkup desa. Dalam mewujudkan desa yang mandiri pangan, tentu membutuhkan ide inovatif yang berdasar pada keberlanjutan dan progresivitas.
Mengacu dari permasalahan di awal, memerlukan solusi yang komprehensif baik secara sistem, komitmen, maupun sinergitas antar elemen.
Koperasi pemuda mungkin dapat menjadi jawaban terhadap persoalan yang ada. Selain menjadi alternatif solusi, gagasan ini mampu menarik minat pemuda agar tetap menghidupi desanya.
Koperasi pemuda yang ada di Kabupaten Banyumas misalnya, selain menjadi role model, mereka juga menjadi kebanggaan daerah karena dapat merepresentasikan “Tempe Mendoan” sebagai makanan lokal yang patut untuk dikenalkan kepada khalayak umum.
Tidak hanya itu, pada tahun 2021 mereka berhasil mengantarkan kuliner “Tempe Mendoan”, sehingga dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Riset dan Teknologi setelah mengalami perjalanan panjang.
Berdasar pada pengalaman di atas, kehadiran koperasi pemuda terbukti dapat menjadi sarana peningkatan kualitas perekonomian di desa. Selain itu, pengembangan kreativitas dan inovasi masyarakat lebih mudah untuk diakomodir dan diaspirasikan kepada pemangku kebijakan.
Program seperti digitalisasi pemasaran, inkubasi bisnis, pembuatan lapak penjualan, sampai dengan pelatihan pengembangan keterampilan masyarakat juga dapat berpotensi mengurangi persoalan yang terjadi akibat monopoli pasar yang disebabkan oleh tengkulak. Dengan begitu, minimnya inovasi yang berkembang di masyarakat, sampai pada perbaikan harga yang diterima oleh petani sedikit demi sedikit akan segera teratasi.
Gerakan semacam ini, efektif dapat membantu kinerja pemerintah dalam mengawasi dan memfasilitasi masyarakat secara masif. Namun agar tetap terjalin kolaborasi yang ideal dibutuhkan koordinasi yang intensif antar semua pihak yang berkepentingan.(*)
Penulis : Naufal Maulana Nibras
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Agitasi.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.