AGITASI.ID – Perempuan yang berparas cantik, berdagu lancip, bergigi gingsul, dan memiliki otak cerdas nan waras tentu akan mengundang sorot mata laki-laki. Tetapi menjadi perempuan tidak semudah itu. Karena bagi sesama perempuan akan marah, jika melihat tubuhnya dilecehkan bahkan alat kelaminnya dimutilasi.
Apalagi hidup di wilayah yang kental akan budaya patriarki. Perempuan hanya dijadikan korban penindasan dan sasaran pemuas kelamin laki-laki. Seakan-akan semenjak baru lahir, hidupnya sudah terancam jadi regenerasi eksploitasi. Sehingga timbul sikap perlawanan dari perempuan, salah satunya dengan sastra. Perempuan tersebut bernama Nawal El Saadawi.
Sosok perempuan yang dilahirkan di Desa Kafr Tahlah di tepi sungai Nil, negara Mesir pada tahun 1931. Semasa kecil ketika usia 6 tahun, Nawal sudah dihadapkan dengan kebudayaan yang tidak bisa dihindari lagi bagi perempuan di Mesir. Adalah praktik pemotongan alat kelamin atau biasa disebut Female Genital Mutilation (FGM). Lebih tepatnya, budaya pemotongan klitoris yang terletak pada vagina anak perempuan.
Padahal klitoris merupakan organ ereksi pengundang nafsu berahi. Kalau organ tersebut sudah terpotong, secara tidak langsung perempuan akan kurang memiliki syahwat bersetubuh. Itulah betapa melekatnya budaya patriarki di Mesir. Gairah seksual perempuan ikut dikontrol.
Kejadian demikian telah memberinya kesan untuk membela perempuan. Sebab, sebelum fokus menjadi psikiater, Nawal sebagai dokter. Tak jarang menemui pasien yang mengeluhkan bahwa ada indikasi tidak nikmatnya berhubungan intim.
Kiprahnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan tidak pernah surut. Kalkulasi ancaman mau dibunuh tak terhitung. Pada akhirnya di tahun 1981, Nawal masuk penjara saat masa pemerintahan Mesir dipimpin oleh Anwar Sadad.
Melawan dengan Sastra
Nawal terkenal di Mesir sebagai penulis dan novelis. Corak karya yang ditulisnya cenderung radikal dalam menarasikan kalimat. Namun upaya ini yang Nawal geluti semasa hidup, demi membela kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.
Berkat karyanya, dia dijuluki “Simone de Beauvoir versi Arab”. Termasuk karya Nawal yang kontroversial ialah ‘Woman and Sex’ (1972) dan ‘Woman at Point Zero’ atau biasa dikenal dengan judul ‘Perempuan di Titik Nol’ (1975).
Dari kedua karya fiksinya, di judul ‘Woman and Sex’, Nawal berhasil mengungkapkan kejadian sunat pada kelamin perempuan yang dianggap tabu oleh masyarakat Mesir. Meski setelah itu, bukunya dilarang terbit selama 20 tahun. Novel ini mengisahkan betapa tragis pemotongan klitoris yang dilakukan secara tradisional dan dinormalisasi begitu saja. Akibatnya, dari kejadian itu vagina perempuan Mesir rawan terkena infeksi.
Karya-karya yang ditulis Nawal memang berbentuk fiksi (novel). Namun kejadian yang diambilnya berdasarkan pengalaman kisah nyata seorang perempuan atas penderitaan dan penyiksaan.
Adapun untuk karya berjudul ‘Perempuan di Titik Nol’. Dalam proses menuliskan karya ini, Nawal rela menemui perempuan yang sedang masuk jeruji besi penjara. Perempuan tersebut bernama Firdaus.
Usaha yang cukup melelahkan bagi Nawal. Firdaus sempat tidak mau bertemu dan mengungkapkan kisah hidupnya tentang bagaimana perempuan dijadikan mitra seksual. Namun karena konsistensi Nawal yang ingin mengulik pengalaman Fidaus, akhirnya berhasil.
Fragmen dari novel tersebut, menceritakan perjuangan Firdaus bertemu varian predator kelamin, hingga memilih untuk kembali menjadi pelacur independen yang sukses. Profesi ini digelutinya karena ingin bebas dibanding dengan perempuan lain.
Memang Firdaus sadar, jika profesi ini bukan pilihannya. Tapi menurut Firdaus menjadi pelacur lebih terhormat, daripada karyawan yang melayani bos dengan membeberkan tubuhnya demi sebongkah jabatan.
Wangsit Nawal El Saadawi kepada Generasi TikTok
Keberanian Nawal menyuarakan hak-hak perempuan perlu diwarisi oleh generasi perempuan masa kini. Sehingga perempuan tak hanya pandai bertata rias, berkandang di kasur, berfoto di kaca depan sumur, berisik di ruang dapur bahkan berjoget lepas landas di layar TikTok.
Adanya media sosial bukan berarti menghendaki penggunanya untuk bertindak tanpa malu. Namun ternyata tidak sedikit pula, pengguna media sosial yang perilakunya berubah karena konten di media sosial.
Apalagi kalau sudah mendengar kata ‘TikTok’. Seakan-akan hidupnya terancam, jika sehari saja tanpa joget dulu. Fenomena demikian telah menjadi peringatan darurat bagi generasi semacam ini. Akankah patriarki dilawan dengan berjoget di TikTok ? Pastinya tidak.
Oleh karena itu, masih banyak perempuan yang haknya perlu diperjuangkan, baik karena nasibnya ditindas suami, pelecehan seksual otoritas pesantren dan korban perdagangan pekerja.
Dari Nawal, seorang perempuan bisa belajar betapa susahnya mendapatkan perlakuan yang adil. Sebab memberantas budaya patriarki, tantangannya bukan saja merenggut reputasi, bisa jadi taruhannya nyawa.