“No Viral, No Justice” : Gerakan Roasting Penegak Hukum !

Ilustrasi : Agitasi/Alfa Reza

AGITASI.ID – Memang Indonesia disebut negara hukum dalam konstitusi. Barangkali mudah untuk mengontrol. Hukum selalu identik dengan peraturan, ketentuan dan masih banyak lagi saudara sinonimnya. Aktivitas apapun yang dijalankan harus berlandaskan peraturan.

Gak percaya ? Bisa diamati, di sektor pendidikan. Penetapan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) perlu dinaungi payung hukum. Tentu tak lain tujuannya memperkuat alibi pimpinan kampus. Wabil khusus Rektor. Semisal ada mahasiswa tidak sengaja tanya perihal tersebut.

Bacaan Lainnya

Disusul dalam ranah ekonomi. Saat melakukan kegiatan ini, wajar bila seandainya sering mendengar kata jual dan beli. Tetapi kurang lengkap, manakala tidak diberi ketentuan yang mengikat antara penjual dan pembeli. Karena rentan sekali, ujung-ujungnya bersinggungan soal duit.

Dilanjut tentang pertanahan. Sebagai warga negara jelas bertempat tinggal di atas tanah dan di bawah langit. Sejak sebelum menempati, pemeritah sudah lebih dulu membuat aturan terkait hal-hal yang bersangkut paut dengan tanah. Tak terkecuali tanah dengan kandungan emas. Cukuplah, kalau dibilang bahwa pemerintah agak cerdas, meski ada juga yang tidak cerdas.

Apalagi pertambangan. Saking menariknya. Peraturan tambang berhasil menarik Organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan andil dalam pusaran konsesi. Sebab tanpa ada regulasi, ormas tidak mungkin berani cawe-cawe masalah demikian.

Menurut semboyan. Indonesia dibilang negara agraris. Mayoritas masyarakatnya bekerja di medan pertanian. Alur di pertanian tetap sama, tidak bisa dilepaskan dengan aturan. Meski sedikit miris, menteri yang diberi amanah soal pertanian divonis hukuman penjara.

Bahkan penjualan rokok eceran kini telah diatur oleh hukum. Boleh jadi selanjutnya, kedai kopi dan barista akan jadi garapan aturan pemerintah.

Baca Juga :  NEGARA HUKUM EMANG HARUS OVER REGULATION YA?

Walaupun hidup di negara hukum, bukan berarti membiarkan mudahnya berbicara : “kalau terjadi pelanggaran, tinggal lapor penegak hukum”. Tak urus mau seberapa kasus yang ditangani, berat atau ringan. Sewajarnya, segara ditanggapi. Betul sekali, jika penegaknya beneran tegak.

Secara linear, beberapa penegak hukum, meliputi : Polisi. Beban tugasnya agak berat dikit. Dalam sektor pemerintahan negara memiliki fungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lebih mantap didengar, bukan penegak yang suka main pukul, apalagi tukang pikul.

Berikutnya, Jaksa. Sebutan lain dari advokat, sebab orang-orang yang menggeluti profesi ini suruhan pemerintah. Itung-itung, juga termasuk spesies abdi negara. Patut disadari, golongan ini sejenis pegawai negeri sipil, dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan dan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang.

Tak hanya itu, masih ada lagi, ialah advokat. Sering tampil di permukaan meja hijau dan dikenal dengan julukan ‘Officium Nobile’. Penegak hukum ini, bebas dan dijamin oleh peraturan perundang-undangan saat menjalankan misi membersamai klien. Di luar itu sebetulnya sama saja.

Berbeda dengan sosok yang satu ini. Penegak hukum ‘The Guardian of Constitution’ memiliki 9 (sembilan) jumlah pemain inti (hakim). Dunia hukum menyebutnya Mahkamah Konstitusi (MK). Mempunyai kapasitas kekuasaan kehakiman yang merdeka, dengan menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Lembaga ini tergolong independen.

Termasuk penegak hukum dengan peran memegang palu di pengadilan. Siapa lagi, kalau bukan hakim. Ada penegak hukum varian lain yang belum disebutkan. Tapi setidaknya, itu semua sudah terwakilkan.

Namun percuma, hukum yang digadang-gadang sebagai produk politik. Alih-alih ngotot memberi keadilan pada masyarakat. Malah penegak hukumnya kurang gercep. Bahkan tak jarang, ada kasus pelanggaran yang masih tertimbun dan tidak segera diusut. Paling parah, kalau sudah tebang pilih dalam eksekusi kasus. Pelik jika dirasakan, dibiarkan pula justru menambah deretan polemik.

Baca Juga :  HUKUM DAN KEDAULATAN RAKYAT

Padahal amanat konstitusi, sungguh berbunyi nyaring : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Masifnya teknologi informasi. Masyarakat kini berselancar bukan lagi di laut, melainkan juga  di media sosial. Netizen alias sebutan akrab dari warganet berhasil menggemparkan jagat maya. Aksi kepedulian terhadap korban atas kelalaian penegak hukum telah membuat geram netizen.

Belum lama ini sedang viral, kejadian putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas anak anggota DPR RI, Gregorius Ronald Tannur. Terdakwa terkait kasus pembunuhan wanita asal Sukabumi, Jawa Barat bernama Dini Sera Afriyanti.

Seorang politisi, Rieke Diah Pitaloka melalui postingan akun Instagramnya @riekediahp langsung menyambut panas. Tertulis jelas slogan tagar “No Viral, No Justice”. Sebuah tagar yang kian kuat menggerakkan atensi publik.

Ada lagi kasus kematian Afif Maulana yang viral. Bocah umur 13 tahun di Padang, Sumatra Barat, yang diduga akibat meloncat ke sungai dan bukan disiksa oleh polisi. Nyatanya, harus viral dulu untuk mendapat keadilan.

Fenomena yang menjadi gerakan baru, dengan tujuan meroasting penegak hukum. Sebab, tanpa viral, penegak hukum belum tentu menindaklanjutinya. Sehingga sadar, bahwa di negara hukum, keadilan begitu penting ditegakkan. Bukan bingung membalasnya dengan cara receh lewat framing media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *