Agitasi.id–Indonesia saat ini mengalami pergolakan besar dalam dunia politiknya. Pada 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan yang dianggap sebagai angin segar bagi demokrasi daerah, dengan membatalkan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah (cakada) sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu.
Putusan ini disambut dengan harapan baru oleh banyak pihak, yang melihatnya sebagai kesempatan untuk menghidupkan kembali semangat demokrasi, membuka jalan bagi calon independen dan partai kecil yang sebelumnya terhalang oleh aturan politik yang ketat.
Harapan ini hanya bertahan sehari. DPR dengan cepat merevisi UU Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) dan mengembalikan aturan ambang batas tersebut, memicu kemarahan publik yang merasa aspirasi demokrasi mereka dihalangi oleh kepentingan politik elite. Media sosial segera dipenuhi protes, dan ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menentang keputusan DPR, yang berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan.
Keterlibatan Akademisi
Kali ini, protes tidak hanya datang dari masyarakat kampus. Para akademisi, termasuk dosen dan guru besar dari berbagai universitas, juga turut bersuara. Mereka merasa keputusan DPR mengkhianati prinsip demokrasi yang selama ini mereka ajarkan dan junjung tinggi. Stefanus Pramono, redaktur dari Tempo, dalam sebuah podcast Tempo.co, menyebutkan bagaimana beberapa dosen dan profesor menghubunginya, meminta agar media menyoroti sikap mereka. Bagi para akademisi ini, perjuangan bukan sekadar soal politik, tetapi juga soal moral dan tanggung jawab terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
Keterlibatan akademisi menunjukkan bahwa kampus tidak lagi menjadi tempat netral dalam menghadapi ketidakadilan. Sejak masa Orde Baru, kampus-kampus di Indonesia telah menjadi pusat perlawanan terhadap rezim otoriter, dan semangat ini tampaknya tetap hidup hingga saat ini. Keberpihakan mereka terhadap demokrasi yang lebih inklusif menegaskan bahwa tanggung jawab akademisi tidak hanya terbatas pada ruang kelas, tetapi juga pada menjaga demokrasi di negara ini.
Hanya saja, pertanyaannya adalah, apakah suara mereka akan didengar? Di tengah protes dan bentrokan, apakah aspirasi para akademisi ini akan dianggap serius oleh para pembuat kebijakan? Ataukah suara kritis ini akan tenggelam di tengah riuhnya kepentingan politik praktis?
Perlawanannya Tak Mudah
Selain itu, protes ini menyoroti ketegangan antara lembaga legislatif dan yudikatif. Ketika MK memutuskan untuk menghapus ambang batas pencalonan, banyak yang melihatnya sebagai upaya untuk memperbaiki sistem politik. Namun, langkah cepat DPR dalam merevisi UU Pilkada menimbulkan pertanyaan, di mana letak kekuasaan yang sebenarnya? Apakah pada suara rakyat yang diwakili oleh legislatif, atau pada hukum yang ditegakkan oleh yudikatif?
Dalam konteks ini, peran akademisi sangat krusial. Sebagai penjaga moral dan intelektual bangsa, mereka berada di posisi strategis untuk mengawasi dan mengkritisi tindakan yang merusak demokrasi. Jika suara mereka didukung oleh gerakan masyarakat yang lebih luas, perjuangan untuk demokrasi yang lebih baik di Indonesia masih memiliki peluang untuk berhasil.
Jalan ini tentu tidak mudah. DPR telah menunjukkan ketegasan mereka dalam melawan putusan MK dan mengambil tindakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat. Bahkan kali ini, sejumlah akademisi tidak hanya menghadapi mereka. Tegasnya DPR juga didukung oleh kekuatan eksekutif dan bahkan yudikatif.
Tidak mudah, kekuatan yang dihadapi akademisi sangat besar. Demokrasi Indonesia saat ini benar-benar sedang diuji. Suara kritis dari kalangan akademisi mungkin menjadi salah satu kunci, namun bisa saja lumpuh di depan moncong senjata dan program brilian. (*)