PEREMPUAN, HARUS MELEK HUKUM!

Pernahkah mendengar atau membaca berita tentang ramainya perceraian, pencurian, pemerkosaan anak, hingga korupsi yang disebabkan oleh rendahnya keberdayaan ekonomi, maupun alasan lain yang bersangkutan dengan perempuan?. Lebih banyak mana nenek dan anak yang ditangkap akibat kurangnya keberdayaan hukum di lingkungan, rendahnya Pendidikan di daerah atau dorongan ekonomi?. Sejatinya tidak semua kejahatan dilatar belakangi oleh ketidaktahuan akan aturan atau larangan, namun kejahatan cenderung dilakukan oleh faktor keinginan dan ketidakmampuan financial. Maka benar bahwa perempuan mesti melek ekonomi. Namun bagaimana dengan berbagai macam regulasi yang belum masuk di daerah padam listrik maupun signal?, hal ini bukan saja pekerjaan masyarakat Pendidikan, namun sampai pada gerakan sosialisasi hukum hingga pengetahuan gender. Gender dan Hukum pada dasarnya merupakan bentuk mentah dari penyejahteraan masyarakat yang berbentuk konsep, untuk selebihnya hukum dan gender mesti masuk pada ruang-ruang praktik. Masyarakat pada umumnya tidak akan mau tau konsep pengetahuan yang sulit untuk dicerna dan dipahami ini, mereka akan lebih memilih implementasi di kehidupan sehari-hari.
Hal ini pada dasarnya merupakan kesempatan baik untuk menggeser posisi legal culture yang berabad-abad mengalahkan posisi local wisdom yang berlaku di Indonesia. Pada masa penjajahan, perjuangan rakyat Indonesia kurang tersorot dengan baik. Minim sekali orang-orang yang memiliki kemampuan legal drafting dalam rangka menyorot hukum yang berkembang di antara masyarakat yang merupakan produk hukum asli Indonesia. Maka tidak salah apabila terjadi ketimpangan dalam pelaksanaannya dengan nilai-nilai dan kaidah masyarakat. Alasannya karena setiap kebijakan hukum ini selalu dimaksudkan untuk menguntungkan ekonomi Kolonial. Maka dari itu perempuan sebagai salah satu kekuatan adidaya berperan penuh dalam proses pergeseran ini.
Perempuan melek hukum pada dasarnya bukan saja tentang pengetahuan pasal per-pasal, hal tersebut akan sukar sekali, namun pengetah uan hukum cukup berdasar pada norma-norma yang berlaku pada masyarat. Apabila pencurian tidak diperbolehkan oleh hukum adat atau agama, maka ini juga berlaku pada norma hukum negara pada umumnya. Indikasi bahwa perempuan melek hukum tidak berbatas pada pengetahuan deskriptif namun penerapan dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan pengejawantahan hukum. Hukum merupakan suatu alat untuk menyampaikan dan mencapai keadilan. Maka dari itu perlu adanya penyampaian dan pembaharuan pengetahuan hukum dan gender yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas masyarakat.
Terdapat tiga macam ciri perempuan memahami hukum, yakni perempuan yang memahami hukum secara tekstual, perempuan yang memahami hukum dalam praktik dan perempuan yang memahami hukum sebagai teks yang dipraktikkan. Ketiganya berada taraf dimana perempuan dapat berdaya dengan memahami hukum, yang bersifat sederhana hingga advokasi.
Tidak semua masyarakat harus menjadi praktisi hukum untuk memberi daya dan transformasi pengetahuan hukum, namun sudah selayaknya sebagai warga negara yang baik mereka juga turut serta membangun iklim pengetahuan hukum yang dimulai dari norma adat dan agama yang mudah untuk dimengerti khususnya bagi anak-anak yang diasuh. Sama halnya dengan kajian gender yang perlu dipahami masyarakat pada umumnya, hukumpun sama. Pengetahuan hukum tidak melulu berbicara hal kaku apalagi pasal per-pasal, korelasi praktik hidup sehari-hari dan hukum inilah yang menjadi bentuk hukum sesungguhnya. Suatu bentuk nyata sumpremasi hukum yang tercantum dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945. Maka menurut Drs. Beni Ahmad Saebani hal ini tidak hanya berhenti pada taraf deskriptif, namun sampai pada taraf inferensial.
Untuk memberi daya pada perempuan tidak hanya melalui sikap independent, berjalan mandiri atau berada di kursi pemerintahan secara mutlak. Hal-hal sedemikian menjadi warna pada setiap perjuangan memberdayakan perempuan, bukan menjadi hal monoton tentang siapa yang sering muncul di hadapan publik. Ini tentang perjuangan mempelajari pokok bernegara dan pertahanan hidup. Penolakan-penolakan hingga proses yang tidak adil ialah suatu hambatan yang bisa datang kapan saja. Kita tidak dapat menyalahkan pihak manapun, berbeda halnya dengan evaluasi. Oleh karena proses menjadi baik belum sempurna, tidak lantas melegitimasi kita untuk tidak memiliki respect terhadap hal tersebut, justru kita ditantang untuk terus memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Hal ini juga berlaku pada proses hukum. Hukum memiliki dapur tersendiri untuk menengahi sengketa atau bahkan kejahatan di tengah masyarakat.
Tudingan masyarakat tentang sentimen seks dipersidangan sangat meresahkan, pasalnya untuk menjamin hak para pihak terdapat pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum dengan dikeluarkannya PERMA No. 3 Tahun 2017. Dengan dasar ini perlahan-lahan gagasan gender juga masuk pada ruang yudikatif untuk memberi rasa adil pada masyarakat. Hakim yang mengadili perkara hingga jenis pertanyaanpun tidak seenaknya, terdapat kode etik yang perlu dipahami oleh pembaca.
Indonesia sebagai negara hukum dan perempuan sebagai salah satu elemen besarnya diharapkan dapat menjadi corong hukum sederhana untuk generasi selanjutnya. Minimal dapat mengajarkan norma adat dan agama. Apabila tidak, maka siapa lagi yang akan menegakkan aturan?. Para ibu juga harus melek hukum!.

Baca Juga :  Reformulasi dan Reorientasi Arah Gerakan kader PMII

Penulis : Dinda Khoirunnisa’

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *