AGITASI.ID – Tulisan ini merupakan catatan penulis yang terlibat langsung sebagai saksi tragedi yang terjadi dua tahun lalu. Tepatnya pada Pengenalan Budaya Akademik Kampus Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (PBAK UIN KHAS) Jember tahun 2022. Tragedi arogan yang dilakukan oleh mantan Rektor UIN KHAS Jember sulit dilupakan oleh penulis.
Ada dua alasan mengapa tulisan ini disusun. Pertama, sebagai bagian dari sejarah kelam kampus PTKIN mengampanyekan Islam Nusantara, civitas akademik harus belajar dari kejadian ini. Kedua, agar menjadi pembelajaran bagi aktivis mahasiswa bahwa segala bentuk kemungkaran dan kedzaliman harus tetap dilawan, kendati perlawanan adalah barang langka yang sangat berat dan membutuhkan keberanian.
Pada senin tanggal 22 Agustus, PBAK UIN KHAS Jember dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sampai saat sambutan Rektor, Prof. Babun Suharto, S.E., M.M., terjadi tragedi yang tak terduga. Yakni ketika prosesi pengkibaran bendera merah putih, tepatnya saat Rektor menyampaikan amanat Pembina upacara. Tiba-tiba mahasiswa menurunkan baliho/banner bertulisan tuntutan aksi. Kejadian ini membuat seisi lapangan terkejut. Bersamaan dengan itu, secara spontan mahasiswa baru pun berdiri seraya bertepuk tangan.
Tulisan baliho aksi tersebut bermacam-macam, salah satunya ada yang menyerang pribadi Rektor. Tulisan baliho itu misalnya “TURUNKAN BABUN SUHARTO”, “KAMPUS INI LUMBUNG OLIGARKI, BUKAN TEMTAT TOLABUL ILMI”, “ALERTA, KAWASAN KAMPUS MAHAL”, dll. Sesuai dengan ingatan penulis yang isyaallah tidak tidak mengidap penyakit pikun, baliho tersebut berawal dari tuntutan aksi Aliansi Mahasiswa Menggugat (AMM) yang belum diamini oleh Rektor.
Oleh karena aksi yang dilakukan AMM tidak pernah digubris Rektor, mahasiswa pun berkreasi dengan beraksi di momentum PBAK. Bener saja, mahasiswa berhasil membuat pak Rektor murka. Wajahnya yang merah dan hidungnya yang seolah mengepul asap. Karena Rektor merasa marwahnya dijatuhkan dihadapan ribuan mahasiswa baru.
Jelas saja, Rektor yang mengaku punya titisan darah Madura tak terima dengan aksi nyentrik yang dilakukan mahasiswa. Kenapa dengan Madura? Begini, seorang yang berdarah Madura lebih rela mati daripada menanggung malu, apalagi malu seumur hidup yang akan terus diingat. “Ango’an Pote Tolang, Katembeng Pote Mata” adalah pribahasa yang diamalkan pak Rektor kala itu.
“Apakah ada diantara mahasiswa baru yang keberatan? silahkan maju!!! Jangan ragu-ragu, ragu-ragu kembali saja kamu! Kita nggak butuh orang yang banci” begitulah kutipan sambutan yang ucapkan oleh Babun Soeharto, Rektor UIN KHAS Jember. Sampai Akhir Pidatonya, jelas terlihat bahwa ia sedang emosi. Usai sambutan, pak Rektor langsung turun dari podiumnya dengan kawalan para dosen dan petugas kampus lainnya dan menghampiri panitia. Mata melotot dan gelagak garang mewakili auranya saat itu.
Tak berhenti sampai disitu, amarah Rektor tersisa bahkan saat ia kembali ke podium yang ada di tribun. Sesaat sebelumnya, ia juga sempat mendorong Nurul Hidayat, Presiden Mahasiswa UIN KHAS Jember, yang asli orang pamekasan Madura. Ketika Rektor mendorong Presiden Mahasiswa dengan sekuat tenaga, sang Rektor menambahi kata dengan pongah “SAYA JUGA MADURA, AYO KALO DUEL!”, ucapnya menantang duel presiden mahasiswa.
Di akhir dari cemarut itu, Rektor mengancam dengan perintah bahwa PBAK akan dibubarkan, budaya akademik kampus yang harusnya dikenalkan kepada maba tidak akan dihentikan.
Begitulah tragedi arogansi Rektor yang harus terus diingat oleh manusia yang menghuni kampus Islam Nusantara ini. Sebenarnya satu hari pasca kejadian ini, publik UIN KHAS Jember bahkan seluruh Indonesia digembarkan dengan kejadian yang tak kalah hebohnya.
Adalah viralnya video mahasiswa saat berjoger di Masjid dengan persetujuan Rektor. Karena sebelumnya sang Rektor sempat berduet dan berkaraoke bersama mahasiswanya. Astaghfirullah. Akan tetapi soal kedua ini tidak akan menjadi pembahasan penulis.
Belajar dari Tragedi Kelam Era Lama
Sebenarnya menyoal ihwal sejarah kurang afdhol kalau tidak mengutip G.W. Friedrich Hegel. Kendati pikiran Hegel terlalu rumit (diakui oleh Betrand Russell gagasan Hegel memang sulit dipahami) untuk penulis hadirkan sebagai alat menganalisis sejarah tingkah mantan Rektor. Jadi penulis akan mengulas tragedi arogansi mantan Rektor yang bersejarah itu dengan ringan saja.
Ujar-ujar Winston Churchill yang melegenda, history is written by the victors. Bahwa katanya “sejarah ditulis oleh pemenang”, tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebenarnya, sejarah itu ditulis oleh mereka yang menulis. Atau oleh mereka pemenang yang kemudian menulisnya.
Jadi menang-kalah bukanlah kunci dari abadinya sejarah. Kalau saja tragedi Arogansi Mantan Rektor tidak terdokumentasi, niscaya manusia UIN KHAS Jember akan melupakannya. Oleh karenanya tragedi arogansi Rektor harus ditulis.
Sekurang-kurangnya ada dua alasan belajar dari sejarah kelam yang terjadi pada momentum PBAK 2022. Seperti yang penulis sebutkan di atas, bahwa terdapat dua manfaat yang dapat dipelajari.
Pertama, manfaat bagi civitas akademik tidak mengulang sejarah. Arogansi mantan rektor yang dipertotonkan di hadapan mahasiswa baru sungguh bukanlan tindakan yang bijaksana. Menggunakan identitas kesukuan untuk berbuat arogan dan mengajak duel mahasiswa bukan saja merupakan hal yang konyol, tapi juga tak masuk akal.
Sejarah selalu berdialektika antar satu dengan yang lain. Tragedi bersejarah yang dilakukan mantan Rektor tentu berpengaruh pada kejadian lain. Fenomena tersebut bisa mempengaruhi kepemimpinan selanjutnya.
Di satu sisi, kejadian ini bisa diikuti dan bisa terulang. Artinya jatuh pada sejarah yang sama, melakukan kedzaliman. Untung kalau penerusnya bisa belajar kemudian mempimpin UIN KHAS Jember dengan populis dan transformatif, kalau tidak? Tentu yang terakhir ini juga penulis harapkan dari Rektor yang baru.
Kedua, tragedi ini harus diikat dalam ingatan mahasiswa terutama ia yang mengaku aktivis. Setiap kebijakan Rektorat harus dalam pantauan dan analisisnya. Sebab kalau tidak sejarah akan terulang. Kebijakan yang tidak berbihak atau bahkan merugikan mahasiswa bisa saja terjadi. Sebagaima kebijakan mantan Rektor, yang kemudian kemuakan mahasiswa berimbas pada tragedi PBAK 2022.
Bersamaan dengan itu, mahasiswa harus mengingat syahadat pembebasan yang dipopulerkan Hassan Hanafi. Penguasa yang mencoba menjadi Tuhan, menindas mahasiswa, sudah sewajarnya berhala demikian harus dilawan. Kendati perjuangan selalu berat dan kadang bertentangan dengan kemewahan. Karena selemah-lemahnya iman, adalah seorang yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika meihat kedzaliman dan kemungkaran, selain berdoa.