Pseudo Gelar Profesor

Ilustrasi : Alfa Reza/Agitasi

AGITASI.ID – Puncak tertinggi karir seorang akademisi konon disebut profesor atau guru besar. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 23 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2014 Pasal 10 Ayat (1) tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen.

Secara tegas dijelaskan bahwa seorang calon profesor harus menjadi dosen tetap paling singkat selama 10 tahun, dan paling singkat 3 tahun setelah mendapatkan ijazah doktor (S3), serta sudah menjadi Lektor Kepala paling singkat selama 2 tahun. Dengan begitu, sebetulnya gelar profesor memiliki reputasi yang sakral.

Bacaan Lainnya

Namun, berahi gelar ini begitu marak, seolah gelar ini diidam-idamkan oleh banyak orang. Mungkin jika ia dipanggil “prof”, bisa membayangkan betapa banyak orang bersujud kepadanya. Padahal kalau merujuk pada penuturan mantan profesor, Dadan Wildan. Seorang Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara Bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan Kementerian Sekretariat Negara, menjelaskan bahwa gelar profesor adalah gelar fungsional. Percuma dipanggil “prof”, jika tidak bisa menulis karya ilmiah bereputasi Internasional!.

Tren gelar profesor ini diyakini juga dipengaruhi oleh pemerintah yang agak sungsang. Dimana sekitar enam tahun lalu, pemerintah berambisi untuk meningkatkan jumlah profesor, dengan targetnya adalah 20 persen dari total dosen yang ada.

Tapi oh tapi, hal ini menjadi ladang bisnis para dosen, predator akademik, kapitalis pejabat tinggi, hingga pesohor tanah air.

Baca Juga :  BINCANG-BINCANG FENOMENA CHILDFREE

Bukan hal mudah menyandang gelar guru besar ini, mereka dituntut untuk menempa di dunia pendidikan. Dengan tugas intinya adalah meneliti, menulis, dan mengajar serta mengabdikan diri. Begitu miris jika sudah memperoleh gelar profesor tidak sesuai dengan fungsinya. Bahkan tidak sedikit dari profesor yang tak menggubris pernyataan ini.

Banyak sekali orang dungu yang kebelet menjadi profesor atau guru besar. Mereka biasa menggunakan jurnal predator sebagai pemenuhan syarat dari gelar tersebut. Jurnal predator merupakan jurnal yang menerbitkan tulisan tanpa tinjauan pakarnya.

Lalu mereka main mata dengan asesor yang biasanya menelaah pemenuhan syarat gelar guru besar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Harapannya supaya pengajuannya dapat diterima.

Bukan hanya dosen-dosen ingusan saja yang mendambakan gelar ini. Pesohor dan pejabat publik pun juga. Mulai dari jenderal, artis, sampai politisi dan ketua partai nafsu untuk join trend ini.

Padahal orang-orang tersebut tidak ada kaitannya dengan pendidikan. Bisa jadi mereka tidak menulis dengan reputasi ilmiah Internasional atau minimal pernah menjadi promotor mahasiswa doktoral.

Entitas gelar profesor saja mereka belum tentu paham. Jangan-jangan pura-pura tak melirik kesucian gelar ini. Yang intinya, hanya melihat bahwa panggilan “prof” seolah-olah pengganti sebutan “rasul” pada zaman dulu.

Seyogianya seorang profesor itu harus menunjukkan hasil pemikirannya melalu penelitian yang ia buat, lalu dituangkan dalam jurnal ilmiah.

Fakta akan tren gelar ini, menunjukkan bahwa mayoritas akademis Indonesia masih menggunakan pemikiran feodalisme. Makanya banyak yang memburu gelar profesor dengan cara yang tidak etis dan memperkosa martabat pendidikan bangsa.

Oleh karena itu, sekarang yang bisa kita lakukan sebagai orang awam, hanyalah tidak memanggil “prof” kepada siapapun!.

Baca Juga :  Merasa Terhambat Daftar CPNS, Calon Wisudawan UIN KHAS Protes

Meskipun sudah profesor beneran, alangkah sopannya kita cukup memanggil ; bapak, ibu, cak, mas, dan kang. Karena jika memanggil “prof” kepada profesor, apalagi profesor imitasi. Maka panggilan “prof” ini berpotensi mudarat.

Satu-satunya harapan, semoga Kemendikbud bisa lebih mengevaluasi kekacauan ini. Pemerintah harus mempunyai tekad politik yang kompeten dan fundamental dengan membuat regulasi yang transparan dan sejalan dengan tri dharma perguruan tinggi.

Setiap perguruan tinggi harus belajar berani menolak badai politik yang menimpa dan mendesak saat ada tawaran intruksi untuk melanggar peraturan.

Jika semuanya masih abai terhadap hal demikian, maka gelar profesor yang seharusnya sakral akan menjadi aib dan bahan lelucon bangsa lain.

Penulis : Sofyan Hadi
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Agitasi.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *