AGITASI.ID – Jika menelaah kembali buku “How Democracies Die” karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Relevansi muatan isi buku kiranya mengalami perluasana makna terhadap konteks berjalannya demokrasi.
Sebab, negara yang menganut sistem pemerintahan tersebut. Menjadikan demokrasi bukan lagi menjadi sistem, melainkan hanya pemanis berbungkus pengakuan legalitas negara. Keberadaan demokrasi yang selama ini hidup ditengah warga negara, nyaris mati lantaran tingkah otoriter pemimpinnya.
Sesuai yang dibahas oleh Steven dan Daniel, bahwa indikator pemimpin yang memiliki potensi otoriter, yakni ; menolak aturan ideal demokrasi, baik secara perkataan maupun perbuatan, menyangkal legitimasi lawan, menoleransi atau menyerukan kekerasan, dan membatasi kebebasan sipil serta media.
Meskipun fenomena tersebut terjadi di Amerika saat pencalonan Trump. Ternyata di Indonesia lebih ganas lagi.
Tentu masyarakat yang waras dan rasional belum lupa dengan pesta demokrasi 2024. Sebuah perayaan setiap lima tahun sekali. Namun, gagal jadi tontonan publik yang membawa dampak positif.
Bisa dibilang demikian, karena persyaratan sebelum memasuki acara inti (pemilihan) sudah lebih dulu dikompromikan. Sehingga, pencalonan kepala negara meskipun prematur dari sisi kepemimpinan tetap dipaksa masuk kontestasi.
Jelas tidak heran, jika yang mempersilahkan masuk terindikasi hubungan genealogi dengan kepala negara. Siapa lagi kalau bukan Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.
Akibatnya, sekuat lembaga penjaga konstitusi negara seketika roboh, gara-gara meloloskan permohonan licik untuk kontestan. Tampaknya tanpa ada motif lain, kecuali demi kekuasaan !.
Apalagi untuk melanggengkan kekuasaan pasti ada dalangnya. Terlebih peran tersebut terdapat pada seorang Presiden Jokowi. Ketika mencalonkan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka.
Hasrat otoriter muncul tanpa malu. Dengan sisa-sisa akhir masa jabatan. Presiden Jokowi menggunakan jabatannya sebagai instrumen pemenangan Pemilihan Umum (Pemilu).
Melalui presiden, segenap kepala daerah di tingkatan provinsi diperintah agar memihak pencalonan anaknya. Bukan hanya berhenti di situ, di tataran bawah seperti kepala desa pun disuruh mengikuti perkataannya. Siapapun yang tidak terima, akan siap berhadapan dengan intimidasi pasukan abdi negara.
Fenomena matinya demokrasi di Indonesia kian menguat seraya memunculkan protes dari para guru besar kampus. Bahwa sikap otoriter Jokowi sudah kelewat batas. Selain memperpanjang kontrak kepentingan, juga sekaligus telah membangun politik dinasti.
Padahal, kejadian yang seperti itu belum pernah ada di sepanjang sejarah Pemilu pasca reformasi. Alih-alih citra baiknya selalu ditutupi melalui penyaluran bantuan sosial (bansos). Sehingga kompleksitas persoalan demokrasi semakin tidak menemukan jalan keluar.
Sudah kesekian kali, mulut masyarakat seakan-akan dibungkam dengan undang-undang. Otaknya dibekukan dengan amplop uang politik. Sampai menghalalkan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. Wujud pembiaran ini masih saja terus tanpa henti. Maka benar apa yang kemudian disebut oleh Steven dan Daniel tentang indikator pemimpin otoriter.
Indonesia di era Jokowi telah menghadirkan varian baru otoriter. Karena demokrasi yang secara kedaulatan tertinggi dipegang rakyat malah dirampas habis-habisan oleh presiden.
Tulisan ini memang untuk mengingat, keberhasilan sikap otoriter memicu semangat menumbangkan posisi (partai) lawan yang sedang oposisi. Dimana sebelumnya, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang selalu menang dalam kontestasi di Pemilu. Pada akhirnya tumbang, meskipun harus melalui otoriter presiden.
Tetapi, sialnya tidak menjamin demokrasi lebih hidup. Justru tambah mematikan. Atas terjadinya fenomena demikian.
Jika memang tidak boleh diulang (otoriternya). Maka ikhtiar untuk tetap mengingatkan masyarakat, ialah dengan segera menyadarkannya. Agar tidak ada benih-benih otoriter yang tumbuh hingga beranak pinak. Hal itu perlu dilakukan demi kualitas demokrasi di Indonesia.