Penulis: Gita Pamuji
Agitasi.id- “Monarki absolut,Monarki absolut!!”,teriak seorang pemuda mengagetkanku. Ia meracau sambil mengambil kursi dan duduk bersebelahan meja di sampingku.
Tampak, ia seorang mahasiswa, terlihat dari almamater rapi berwarna biru gelap yang sedang dipakainya. Di dada kirinya, ada nama bertuliskan Kristian. Di sebelah kanan, ada logo kampus, terbaca jelas “Universitas Islam Negeri Habrakatarba Absolut Berjem (UIN HAB)”, beralamatkan di wilayah timur Provinsi Murjawati.
Songkok hitam Soekarno di kepalanya tampak memiring. Dahi mengerut dan matanya yang memerah memunculkan raut yang tak sama sekali mengabarkan kebahagiaan. Padahal saat itu, ia baru saja memesan kopi dengan temannya yang juga karibku. Kalau tidak salah, Fandi Arif namanya.
“Sabar bro, ayo minum kopinya dulu,” ujar Fandi menenangkan. Kristian terlihat menghela nafas dan menundukkan muka. Sedangkan Fandi, memandangnya penuh kekhawatiran.
Suasana cafe yang awal tenang, menjadi agak tegang. Tentu, segumpal pertanyaan riuh di otakku. Apa yang sebenarnya dimaksud oleh pemuda bernama Kristian itu?
Aku tentu tahu, monarki absolut adalah kondisi birokrasi otoriter yang terus menerus terjadi, bisa berkembang dan pastinya tak akan berakhir. Otakku memaknai ucapan Kristian sebagai emosi, kekecewaan pada sistem pemerintahan yang dianggapnya diktator dan otoriter. Bisa pemerintah negara, atau bahkan kampusnya sendiri.
“ini sudah kelewat batas cak. Saya baru Islam, ajari saya organisasi Islam yang baik. Mereka itu senior-senior organisasi Islam kita, yang menjabat juga karena bagian dari organisasi kita. Kenapa perilakunya sama dengan pejabat-pejabat yang selama ini kita protes? Bahkan ini lebih parah cak. Sungguh sangat serakah dan tamak”, ucapnya lirih dengan suara serak dan terdengar menahan tangis.
Ternyata, ceracau sedari tadi adalah soal kampusnya, UIN HAB. Ia kecewa pada Islam sebagai agama yang baru dipeluknya. Orang muslim dipandangnya, walaupun menjadi pendidik serta seniornya, tetap serakah, tamak dan otoriter.
“Oh, ini masalah kebijakan program yang puluhan bahkan ratusan juta itu ya. Tentang proyek riset para dosen-dosen kita itu kan?. Bukankah telah terjadi lama Kris?,” tanya Fandi yang tampak masih bingung sebab musabab Kristian meracau dan begitu marah.
“Karena itulah saya kecewa cak. Saya berharap besar pada rektor baru kita ini. Ia berasal dari organisasi Islam kita, yang menjunjung tinggi nilai baik agama. Kenapa perilakunya sama saja cak. Program riset yang mestinya memajukan pendidikan dan mahasiswa malah dipakainya untuk menambah penghasilan sendiri. Rektor yang dulu sama, namun tidak ikut dengan istri hingga menantunya cak, gak parah seperti sekarang,” ungkap Kristian panjang lebar.
Menguping obrolan mereka, aku jadi memahami bahwa ternyata yang membuat Kristian kecewa adalah perilaku elit pejabat UIN HAB yang merupakan Ummat Muslim dan seniornya sendiri. Persoalannya, tampak memang sangat rumit.
Rasa kecewanya, tak seperti mahasiswa secara umum. Apalagi, ia mengaku seorang mu’alaf yang mestinya dijaga agar tidak dikecewa. Nabi Muhammad saja memberi perhatian lebih pada orang-orang seperti Kristian. Beliau mengajarkan bahwa setiap orang yang baru masuk Islam dapat ditetapkan sebagai penerima zakat.
“Kris, samean harus tahu, rektor kita saat ini, tidak monarki. Itu semua karena kepala lembaga risetnya,LPPM. Pak Rektor sebenarnya tidak mau ikut mengambil jatah proyek penelitian itu. Namun, didipaksa. Ini semua agenda licikya. Coba samean lihat siapa yang tandang tangan dalam pengumuman riset kemarin. Itu orangnya, ia adalah kepala lama yang telah menjabat sejak era orde baru kris,” hardik Fandi yang terdengar kembali menyadarkannya.
Kristian terlihat mengambil smartphone di atas meja. Jari-jarinya mulai menari-nari, seolah memburu sesuatu. Lama berselang, ia berujar, “oh ternyata orang ini. Loh? kok namanya selalu ada setiap tahun dalam pengumuman proyek riset,” katanya terkejut sambil fokus membaca sesuatu di layar HPnya.
“iya, itu Kris. Monarki di kampus itu tidak mudah ditiadakan. Banyak orang, bukan hanya orang Islam, ketika berkuasa musuhnya adalah hasrat sendiri. Uang dapat mengendalikan segalanya. Rektor tak berkutik saat ditawari penghasilan tambahan Kris. Bahkan bukan hanya dia yang dapat, tapi istri dan menantunya juga. Ditambah lagi, ketua LPPMnya memang hebat, ya pasti mau lah. Semua bukan karena Ajaran Islam Kris. Tapi hasrat yang membuatnya tak tahu malu. Padahal ia dikenal “abinya agama”, Abi Al Adzin,” tegasnya memperjelas.
Mendengar penjelasan demikian, Kris mulai tampak berpikir keras dan terlihat menggeleng-gelengkan kepala. Entah, ia tercerahkan atau malah tambah semakin kecewa.
Yang pasti, ia tampak bersepakat bahwa monarki absolut tak ada urusannya dengan nilai agama. Di kampus yang beridentitas Islam saja, perilaku pejabatnya, kadang terlihat begitu tamak dan tak mempertimbangkan kemaslahatan.
“Ayo pulang cak, sudah malam! Saya sepertinya telah memahami bahwa mau berorganisasi dan beragama apapun, jika berkuasa susah menghindar dari hasrat sendiri. Mungkin saja, jika saya berkuasa, juga begitu. Tak terbayang, lezatnya jadi ketua penelitian kampus. Setiap tahun mendapat tambahan jatah penelitian puluhan juta. Satu periode saja, bisa bersayap uang kertas dan naik haji,” katanya sambil berdiri dan berjalan menuju pintu cafe.
Jam di tanganku menunjukkan 00.30 WIB (Waktu Indonesia Berjem). Tak terasa, ternyata obrolan sedari tadi lewat hingga tengah malam. Mungkin dari saking tegang dan riuhnya masalah yang mereka bahas.
Tak bisa membayangkan, seruwet apa Fandi dan Kristian menghadapi hari-harinya. Menjadi mahasiswa di Kampus monarki, memang membutuhkan jiwa dan pikiran yang tajam.
Mereka tidak akan mampu tidur pulas. Jika lengah sedikit, masa depannya, terang akan rusak. Mahalnya biaya kuliah yang dibayarkan pada negara, hanya akan habis jadi bulan-bulanan elit kampusnya sendiri. (*)