JEMBER, AGITASI.ID – “Oligarki bukan hanya sawit dan batubara, media juga iya,” demikian ujar Dandhy Dwi Laksono yang kebetulan mampir di Jember (28/06) untuk menghadiri diskusi dan berbincang bersama para jurnalis Jember.
Dibalik derasnya arus informasi dari berbagai media hari ini, jarang sekali ada yang mempertanyakan situasi dan kondisi media itu sendiri. ADAB Fondation yang berkolaborasi dengan Aksara Media, baru saja selesai menyelenggarakan diskusi bertajuk “Bicara Media hari ini” dengan mengahadirkan narasumber para wartawan senior; Farid Gaban dan Dandhy Dwi Laksono. Diskusi ini berlangsung di salah satu cafe di Jember hingga larut malam.
Sekian banyak lemparan ide dan gagasan menghangatkan suasana malam yang disapu angin-angin sayup bulan Juni, dua narasumber pula banyak bercerita tentang pengalamannya masing-masing yang bertahun-tahun juga sempat menjadi kutu loncat pada media-media informasi lokal sampai nasional. Yang menarik salah satunya yaitu sentilan Dandhy, Ia mengatakan bahwa media hari ini tak hanya terkesan mainstream, tapi banyak juga yang oligar.
Di awal, Dandhy memaparkan gagasan sekaligus prediksi seorang filsuf yang berasal dari Israel; Yuval Noah Hariri, yang sempat menggemparkan dunia Barat. Ia memprediksi bahwa dengan munculnya artifical Intelligent (AI) atau kecerdasan buatan akan melahirkan kelas baru. Jika revolusi indusrti dulu berhasil menciptakan kelas pekerja, maka revolusi AI akan memunculkan useless class alias kelas tak berguna.
Dahulu memang mesin berhasil menggantikan posisi manusia dalam beberapa sektor, tetapi ia juga berhasil membuka ruang-ruang kerja baru yang tak mampu digarap oleh mesin. Hari ini AI jauh lebih jago, ia mampu berpikir sendiri, merancang sistem, menguraikan ide dengan kompleks, menyelesaikan masalah, dan hal lain di luar nalar mesin.
Tak hanya itu, Carl Benedikt Frey dan Michael A.Osborne peneliti asal Universitas Oxford juga memprediksi beberapa pekerjaan yang akan digantikan oleh AI di 2030 nanti, dan Jurnalis adalah salah satunya. Kemandirian media perlahan berjalan sesuai dengan kebutuhan pasar dan kemauan publik. Namun apakah media hari ini benar-benar membutuhkan ide dan gagasan para jurnalis? Atau hanya tenaganya saja sebagai pekrerja pengumpul berita yang sesuai dengan kepentingan media itu sendiri.
Dandhy juga sempat bercerita salah satu pengalaman yang baginya menjengkelkan saat menggeltui dunia jurnalis bersama konglomerat media massa. Lebih tepatnya saat Ia bekerja di MNC Group. Kala itu, Ia dan rekan-rekan reporter lainnya sedang berusaha mengusut beberapa penyebab jatuhnya pesawat Adam Air KI 574 Surabaya-Manado di selat Makassar (2007). Ia mencoba mengukap faktor-faktor kenapa Adam Air mengalami kecelakan dengan se kritis mungkin, banyak kelalaian pemeriksaan dari internal perusahaan menjelang penerbangan. Beberapa hari pasca kejadian, pemberitaannya hampir menyeluruh pada jaringan berita di Indonesia. Saat itu pula, citra Adam Air sebagai maskapai penerbangan spontan merosot, dengan dibarengi sahamnya juga ikut turun.
Alhasil karena sahamnya turun, Hary Tanoesoedibjo (Direktur Utama MNC Group) langsung tancap gas untuk membelinya. Hal ini disusul dengan kebijakannya untuk segera merapatkan para pekerja medianya, dan mengintruksikan bahwa pemberitaan tentang Adam Air harus disudahi, lebih-lebih diberhentikan total dengan alasan sahamnya sudah Ia kantongi.
Insiden ini, membuat kepala Dandhy melejit pening, dan tak banyak pikir Ia langsung gercep nyinyir kepada atasannya. Ia merasa seperti serdadu yang ditugaskan untuk memukuli perusahan, saat perusahaan tersebut bonyok, barulah sang dirut membelinya. Itu salah satu pengalaman yang kerap kali Dandhy ceritakan ketika berbincang ihwal media dan jurnalistik. Dan hal ini pula yang semakin memperkuat statemennya bahwa beberapa konglomerat media massa adalah oligar. Mereka lebih banyak menyediakan sekaligus mengatur arus informasi yang tidak luput dari kepentingannya, bukan malah untuk kepentingan publik.
Di lain sisi, Dandhy juga memaklumi hal ini, Ia mencoba menalar peralihan norma dari medium di tiap jamannya. Dulu mungkin media acap kali berafiliasi dengan kepentingan-kepentingan politik, namun pasca kebijakan depolitisasi orde baru bahkan sampai pasca reformasi, media berubah menjadi lahan bisnis yang jelas benar-benar profit oriented. Hari ini pula, struktur kepemilikan media tidak banyak berubah dan tetap bersangkutan dengan kepentingan ekonomi-politik.
Di akhir diskusi, Dandhy juga sempat memaparkan usaha yang Ia geluti hari ini sebagai penggagas Watchdoc, sebuah rumah produksi audio visual dan studio film dokumeter.
Hal ini Ia lakukan bukan lain agar tidak terusan terjebak pada romantisasi perjuangan akar rumput, meskipun struktur dominasi susah dilawan, dengan optimismenya memandang bahwa penetrasi media digital sudah mulai kuat, Ia serukan waktunya menyaingi raksasa (media mainstream). (*)