AGITASI.ID– Kasat-kusut Omnibus Law Cipta Kerja yang diganti dengan Perppu Cipta Kerja sebelum resmi disahkan pada 21 Maret 2023 oleh Dewan Pembantai Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), sebetulnya muncul sejak penyampaian pidato pertama 2 periode rezim Presiden Joko Widodo tahun 2019-2024. Pidato disampaikan setelah pelantikan di Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Dalam pidatonya ada beberapa point prioritas, salah satunya di point ketiga yang berbunyi; “segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan 2 undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi,”.
Hal demikian, perjalanan untuk mencapai puncak paripurna ternyata banyak mengalami kontroversi yang memicu demo penolakan RUU Cipta Kerja oleh para pekerja, terutama kalangan buruh tentang ketenagakerjaan. Tentu adanya Undang-Undang Cipta Kerja ini, pasti tak luput dari latar belakang yang mendasari keuntungan besar bagi investor di Indonesia.
Menurut Pengamat Ekonomi, Piter Abdullah menyatakan adanya kebijakan ini sudah mempelajari kejadian sebelum-sebelumnya. Melihat di saat peristiwa awal reformasi birokrasi yang dilakukan oleh rezim Presiden Joko Widodo, ketika awal pemerintahannya bersama wakilnya Jusuf Kalla perihal investasi masih relatif rendah.
Hadirnya isu panas dan kontroversi Perppu Cipta Kerja diiklim Negara Macan Asia, membuat geram para aktivis kampus dan elemen masyarakat untuk kompak menolak, karena pengesahannya dianggap melanggar konstitusi.
Sebelum lebih jauh membahas wajah bejat produk hukum Dewan Pembantai Rakyat, penulis akan uraikan bagaimana alur kontroversi Perppu Cipta Kerja sebagai berikut.
Kronologi Trayek Perppu Cipta Kerja
20 Oktober 2019 : Gagasan terkait Omnibus Law Cipta Kerja pertama kali disampaikan oleh Presiden Jokowi pada saat pelantikannya di periode kedua.
12 Februari 2020 : Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dinyatakan selesai oleh pemerintah.
2 April 2020 : Mulai dibahas oleh Dewan Pembantai Rakyat.
24 April 2020 : Presiden Jokowi mengumumkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja khususnya pada bagian ketenagakerjaan dikarenakan banyak penolakan oleh masyarakat sipil terutama kalangan buruh.
25 September 2020 : Dewan Pembantai Rakyat bersama Rezim 2 periode memulai membahas lagi Rancangan Undang-Undang tersebut termasuk pada bagian ketenagakerjaan.
5 Oktober 2020 : Pembahasan RUU ini terus dikejar tayang oleh Dewan Pembantai Rakyat, untuk bagaimana agar segera coming soon lulus sensor RUU menjadi Undang-Undang, walaupun banyak penolakan oleh masyarakat DPR tetap melaksanakan Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja.
25 November 2021 : Uji materi aturan tersebut berlangsung panjang dan dinyatakan inskonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan cacat formil dalam proses pembahasannya tidak menghadirkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
30 Desember 2022 : Setahun kemudian, pemerintah malah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inskonstitusional bersyarat.
21 Maret 2023 : Meskipun banyak penolakan, pengesahan Perppu Cipta Kerja tetap dilaksanakan oleh Dewan Pembantai Rakyat melalui sidang Paripurna ke-19.
Praktik Pengkhianatan Konstitusi
Kisah pilu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, ternyata UU Cipta Kerja masih punya hutang berupa cacat formil pada Mahkamah Konstitusi. Sehingga dinyatakan sebagai Undang-Undang inskonstitusional bersyarat.
Melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman dalam salah satu amar putusannya berbunyi : “Memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melaksanakan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tengggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inskonstitusional secara permanen”.
Namun walaupun sudah diperingatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga legislator yakni DPR dengan akal tanduk iblisnya, tetap ngeyel memaksakan agar segera coming soon disahkan menjadi Undang-Undang dengan berlindung pada selakangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi.
Cukup jelas, bahwa akar permasalahan yang awalnya cacat formil, karena disebabkan tidak membuka partisipasi masyarakat (Meaningful Participation) pada proses penyusunan UU Cipta Kerja. Pemerintah malah menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang semakin jelas memperlihatkan kelicikannya untuk mengakali cacatnya UU Cipta Kerja.
Padahal dasar hukum pembuatan Perppu sendiri diatur pada pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Sebagaimana yang disebutkan dari pasal tersebut. Suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dapat dikeluarkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Penjelasan mengenai “dalam hal kegentingan yang memaksa” telah dimuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU/VII/2009. Putusan tersebut menjelaskan tolak ukur dari hal-hal yang dapat dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa. Tolak ukur tersebut antara lain;
1. Adanya “ keadaan yaitu kebutuhan mendesak ” untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Entah ini kegentingan atau malah kepentingan, apalagi yang dipikirkan Dewan Pembantai Rakyat yang bersekongkol dengan Pemerintah Konoha Kepala Banteng 2 periode tersebut. Semisal memang alasan wacana resesi ekonomi beneran terjadi, seharusnya tidak juga main srobot seenaknya sendiri tiba-tiba mengganti Undang-Undang.
Alih-alih liciknya malah dibawa disidang paripurna, mbok ya dipikir nasibe masyarakatnya Pak Dhe Jokowi dan Bu PUAN. Bisa dilihat bagaimana wajah bejat produk hukum Dewan Pembantai Rakyat yang merangkap asma laqab sebagai lembaga stempel pengesahan Undang-Undang tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi dan mengabaikan aspirasi rakyat.
Sekelas Mahkamah Konstitusi saja sudah berani dilanggar. Apakah dengan ini kita masih bisa percaya lagi dan menerimanya begitu saja atas apa yang telah dilakukan oleh Dewan Pembantai Rakyat ? Ya, tentunya hanya ada satu kata : LAWAN!!!
Produk Hukum Mencekik, DPR-Jokowi Licik!
Dewan Pembantai Rakyat yang seharusnya menjadi tempat aspirasi rakyat, ternyata sudah pindah fungsi menjadi tempat aspirasi oligarki dan para birokrat. Selain berani mengkhianati konstitusi, pengkhianatan tersebut juga dibuntuti dengan beberapa pasal yang mencekik keberlangsungan kerja para rakyat.
Dalam hal ini, bisa diambil contoh pada pasal 88 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan tentang Pengupahan, kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi : a) upah minimum; b) upah kerja lembur; c) upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d) upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e) upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f) bentuk dan cara pembayaran upah; g) denda dan potongan upah; h) hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i) struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j) upah untuk pembayaran pesangon; dan k) upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Sementara, dalam Perppu Cipta Kerja ada 4 unsur yang dihapus pada aspek kebijakan pengupahan antara lain; a) upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; b) upah untuk pembayaran pesangon; c) upah untuk pajak perhitungan pajak penghasilan; d) serta denda dan potongan upah. Jadi dalam Perppu Cipta Kerja hanya menyetujui 7 kebijakan pengupahan, yaitu a) upah minimum; b) struktur dan skala upah; c) upah kerja lembur; d) upah tidak masuk kerja dan / atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; e) bentuk dan cara pengupahan upah; f) hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan g) upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Lebih lanjut, dalam Perppu Cipta Kerja, diantara Pasal 88 dan 89 disisipkan 6 pasal, yakni Pasal 88A, 88B, 88C, 88D, 88E, 88F. Liciknya melalui perumusan tersebut mengenai aturan upah minimum bisa diubah dalam keadaan tertentu.
Demikian, dari salah satu banyaknya pasal produk hukum Dewan Pembantai Rakyat terkait Perppu Cipta Kerja, yang mana aslinya masih banyak lagi yang perlu direvisi.
Bukan tidak mungkin, kalau kebijakan yang telah dikeluarkan Jokowi terkait Perppu Cipta Kerja sangat tidak memenuhi syarat, sehingga bisa dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa.
Jika memang pemerintah dan Dewan Pembantai Rakyat masih sadar dan waras otaknya. Penulis titip, kepada seluruh elemen masyarakat untuk tetap mengawal proses revisi UU Cipta Kerja yang dinyatakan inskonstitusional bersyarat. Teruntuk pemerintah mohon untuk melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.(*)
Penulis: Fadli Raghiel