AGITASI.ID- Mahasiswa merupakan agen perubahan sosial masyarakat. Mahasiswa dilatih untuk tidak hanya cekatan dalam soal keilmuan program studinya. Namun juga diharapkan dapat menjadi agen selurah masalah, termasuknya di dalamnya, masalah politik masyarakat. Hal demikian yang menjadi alasan dalam proses kuliah, mahasiswa didorong untuk juga belajar politik. Salah satu pembelajaran politik yang umum ada adalah keorganisasian mahasiswa. Dalam keorganisasian tersebut, seluruh hal, dari menjadi tim sukses, negosiator ulung, kepemimpinan, hingga menjadi kelompok oposisi yang bekerja sebagai kontrol program kerja pihak yang terpilih. Bahkan dalam keorganisasian mahasiswa, juga kadang terdapat proses kontestasi sehat dan tidak sehat, sama halnya dengan kondisi politik di Indonesia secara umum. Ada proses pemilihan, kampanye, debat kandidat, penyusunan program hingga kontestasi wacana dan dukung-mendukungnya para elit senior organisasi dan pimpinan kampus. Pokoknya, seluruh situasi hampir mirip dengan apa yang terjadi dalam sekala politik makro nasional.
Kondisi ini pun yang nampak terjadi di Universitas Kiai Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember. Baru-baru ini, telah terjadi transformasi kepemimpinan. Prosesnya tentu sama dengan apa dilakukan dalam transformasi politik skala nasional. Mereka juga mengadakan pemilihan umum yang diistilahkan sebagai Pemilihan Raya (Pemira). Ada KPUnya, ada proses rekom-merekom bahkan ada pihak yang mendukung calon yang nyinyir. Pokoknya, situasinya sama dengan skala nasional. Beberapa di antaranya, misalnya pasca pemira, ada beberapa pihak yang melempar wacana dengan menuduh calon terpilih secara tidak demokratis. Pihak tersebut nyinyir pada panitia pelaksana dan calon yang telah terpilih. Katanya, pemira telah diagitasi oleh beberapa “cacak senior”, jadi sangat tidak demokratis. Calon telah dipersiapkan secara monarki. Mereka merasa tak ada gunanya, Pemira dilaksanakan, hanya menghabiskan anggaran.
Situasi politik demikian terus berlangsung bahkan hingga pada proses pelantikan beberapa calon yang telah terpilih. Walaupun tidak berhubungan dengan proses saling kritik sebelumnya. Namun, namanya, kontestasi dan pertikaaian wacana tetap ada. Pada pelantikan organisasi mahasiswa intra Fakultas Syari’ah misalnya, ada beberapa sambutan para pimpinan kampus dan calon terpilih masih mengundang nyinyir para mahasiswa di fakultas tersebut. Pelantikan yang diadakan pada Jum’at, 01 Juli 2022 mengusung tema agung “Akselerasi Republik Mahasiswa: Wujudkan ormawa transformatif untuk mahasiswa hukum yang progresif”. Dari tema yang diangkat, mahasiswa Syari’ah UIN KHAS nampaknya didorong untuk lebih progresif dalam hal menyiapkan genasi yang mampu menyelesaikan seluruh masalah yang terjadi masyarakat. Tema yang diangkat mengisyarat adanya arah pembentukan organsasi yang progresif dalam merespon masalah mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya. Persis sebagaimana yang disampaikan oleh dekan Fakultas Syari’ah, Prof. Dr. M. Harissuddin, M.Fil.I, yang hadir pada acara tersebut. “ketua terpilih harus belajar menjadi pemimpin dan pemikir, fakultas syariah adalah fakultasnya seorang pemimpin yang harus dibekali dengan keilmuan yang luas sehingga mampu menjadi pemimpin dan ilmuan yang organik dan mampu bersaing di masyarakat”, tegasnya. sambutanya ini yang dinyinyiri oleh sejumlah mahasiswa di fakultas tersebut.
Sejumlah mahasiswa agak tidak pada sambutan yang berapi-api sejumlah pimpinan fakultas mereka. Bagaikan mengkritik sambutan Anis Baswadan dan Jokowi, Salah satu mahasiswa, Ilham Hidayatullah, kebetulan juga dilantik dalam acara itu, nampak nyinyir pada sambutan dekannya. Ia berpidato saat sambutan dengan penuh kecakapan retoris, “untuk membentuk mahasiswa progresif, perlu melaksanakan fungsi pendidikan tinggi yang baik. Untuk menyediakan mahasiswa organik dan mampu bersaing tidak bisa hanya sekedar bicara dan pidato saja. Bagaimana mau baik, jika fasilitas perkuliahan tidak terpenuhi. Gedung-gedung banyak mandek pembangunannya, sekretariat bersama organisisasi mahasiswa gentengnya bocor, dan banyak lagi yang lainya. Kalau memang serius, seluruh pihak harus kompak, ayok sama kerja dan saling mendukung. Efektifkan program dan efiesiensikan anggaran pengembangan pendidikan kampus ini”.
Selain itu, harapan dalam sambutan Prof Haris nampaknya diperkuat oleh Wakil Dekan tiganya juga. Dr. Martoyo menjelaskan dalam pidatonya, “mahasiswa harus bisa menjadi mahasiswa yang berbasis Nasional yang menjadikan Fakultas Syari’ah yang reputasinya tinggi dan berkemajuan di tahun 2035. Makanya kita semua harus bersinergi”. Perkataannya ini juga dianggap terlalu beruwah-uwah. Pasalnya, pelantikan kepengurusan yang dihadirinya bermasa khidmat satu tahun, bahkan ada yang mengatakan setengah tahun atau separuh priode. Kalau cita-citanya untuk menyiapkan generasi di tahun 2035, kebablasan. Beberapa mahasiswa mengganggapnya harapan magis, yakni harapan yang tidak dibasiskan pada kesadaran yang reletad.
Salah satu mahasiswa, Firdaus, Prodi Hukum Tatanan Negara, mengatakan, “bagi saya itu terlalu berlebihan. Untuk menggapai fakultas yang berkemajuan tahun 2035, ya programnya harus jelas. Bukan hanya sebagai wacana saja, program konkritnya apa? Bagaimana rincian perencanaannya?. Mau mengandalkan program Intra untuk itu, jelas tidak mungkin, masa kepengurusan organisasi tidak nyampek tahun 2035. Apalagi saat sudah fix, kepengurusan organisasi intra saat ini, hanya setengah tahun. Walaupun diukur dengan masa jabatan dekan dan wakil dekan pun tidak mungkin. Paling mereka akan diganti satu hingga dua tahun ke depan. Jokowi saja, sebagai presiden tidak punya program sejauh itu. Masak sekelas dekan Fakultas Syari’ah bisa, tidak mungkinlah! Bagi kami, wacana wakil dekan dalam sambutan itu, hanya narasi agar kita bersinergi. Bisa saja, hanya dipidatokan agar organisasi mahasiswa tidak lagi kritis menyikapi kebijakan program kampus yang dianggap otoriter. Kan kemarin dijelaskan, harus satu pemikiran. Selain alasan demikian, ya untuk dipidatokan itu?”.
Kompleksitas pembelajaran berpolitik ala fonomena di atas, merupakan satu contoh yang umum terjadi di budaya politik kampus. Kondisi ini tentu merupakan bagian dari cara pendidikan tinggi menyiapkan generasi yang siap menjadi agen perubahan sosial masyarakat. Jika seluruh mahasiswa peduli pada kondisi ini dan berperan penuh pada ritme politik mikro kampus yang terjadi, tidak menutup kemungkinan akan lahir generasi berbakat dalam menjadi agen politik skala makro atau nasional.