oleh: Gita Pamuji
Agitasi.id– Tampaknya prediksi Fandi benar. Kampus yang dikendalikan orang-orang jahat akan berakhir dengan citra buruk. Yang kecewa, tentu bukan hanya Fandi.
Layanan yang buruk akan membuat semua pihak meradang. Sebab sebaik-baiknya budaya pendidikan, jika dikuasai penjahat, akan selalu berakhir diskriminatif, sewenang-wenang, dan nepotis. Artinya, secerdik apa pun birokrasi UIN HAB menutupi kejahatan para elitnya, cepat atau lambat tetap akan tercium juga.
Tak perlu bertahun-tahun untuk memahami bobroknya layanan ini, tak harus pula menghadirkan detektif sehebat Sherlock Holmes dan Conan untuk membuktikan prediksi Fandi ini.
“Cukup jadi mahasiswa baru saja, sudah bisa kecewa. Semua orang langsung melihat kesewenang-wenangan budaya koruptif dan nepotis kampus ini,” tutur seorang gadis yang kutemui di sebuah kafe bernama “Matoa”, terletak di tengah kampus.
Gadis berkulit putih itu bernama “Vidia Citra”. Asalnya Surabaya. Mahasiswa baru Fakultas Hukum, jurusan Hukum Politik. Wajahnya jelas memendam rasa kecewa—kekesalan yang senyata kecantikannya, sama-sama menonjol saat dimaknai.
“Kenapa kamu memilih saya untuk jadi pendengar keluh kesahmu?” tanyaku setelah lama hanya terdiam.
“Disuruh Fandi, Mas. Saya mahasiswa baru yang sedang marah pada UIN HAB ini. Jenengan kan Kaso, Mas Karim Soeharto Zein, putra dari istri kedua Rektor? Yang sering menemani Fandi dalam setiap masalah?”
“Iya. Lalu, di mana Fandi sekarang?” tanyaku, cukup terkejut karena Vidia tahu identitasku.
“Katanya di Malang,” sahutnya sambil merapikan iPad mini, lalu menatapku lekat. Gerakan tubuhnya menunjukkan ia siap berbicara lebih serius.
Aku pun menatap balik matanya yang memerah. Entah karena marah, atau karena malam memang sudah terlalu larut.
“Hampir tengah malam. Kamu tidak istirahat? tidak capek habis kegiatan?” tanyaku sekadar basa-basi.
Dia tak menjawab. Tentu aku sadar, pertanyaanku tidak berarti baginya. Ia membuka kunci iPad mini, lalu menyodorkan beberapa pesan chat dengan orang tuanya. Aku membaca. Ternyata orang tuanya adalah saudara Fandi. Dari isi percakapan itu, jelas ia kesal dan merasa salah pilih kampus.
“Kenapa kecewa dengan kampus ini?” tanyaku, menanggapi isi chat itu.
“Saat acara closing ospek tadi, aku menyampaikan banyak hal pada para pimpinan kampus. Intinya, aku menyesal. Kampus yang di media tampak baik ini, ternyata hanya baik dalam pemberitaan.” Wajahnya semakin memerah.
Menurut Vidia, UIN HAB hanya bagus di media. Soal budaya pendidikan, bobrok. Walau masih mahasiswa baru, ia mulai merasakan kekecewaan serupa dengan Fandi. Masalah yang ditemui memang berbeda, tapi rasa kesalnya sama.
“Ada nepotisme yang terang-terangan. Dari mahasiswa sampai kebijakan kampus. Ada berita viral tentang senior yang melakukan pungli ke mahasiswa baru. Narasumber ospek yang hanya pandai melucu, tak berisi. Lalu diskriminasi pada kami sebagai mahasiswa hukum.” Suaranya parau, seakan amarah dan kekecewaan menggerus pita suaranya.
“Ada mahasiswa senior melakukan pungli? Masak iya?” tanyaku penasaran.
Ia langsung menunjukkan sebuah video tentang oknum senior yang meminta iuran di luar biaya resmi kegiatan orientasi. Terlihat ada bukti pungli dengan alasan pembelian air minum isi ulang, tumbler (botol minuman) dan kaos kegiatan orientasi. Aku tentu sangat terkejut, sebab kejahatan ini benar-benar baru. Kaos, apalagi hanya air minum di era rektor sebelumnya digratiskan untuk peserta.
Kenapa kini berubah? kenapa lebih kejam dari zaman orde baru, dimana air dan tanah didagangkan pada rakyat sendiri. Jika alasannya BLU, kenapa tidak mempertimbangkan halal-haram bisnis. Bukankah Dosen UIN HAB banyak yang pintar ekonomi syari’ah. Apakah pungli dengan dalil bisnis kampus dapat dihalalkan?
“Masak ini budaya mahasiswa aktivis, Mas? Kalau begini, aktivis UIN HAB kurang bermoral. Untuk apa bendera ormawa berwarna-warni bagai pelangi, kuning, biru dan hijau, kalau pengurusnya tak tahu diri dan membiarkan ini terjadi?” pungkasnya seperti sedang berorasi.
Aku hanya bisa terdiam. Vidia benar-benar marah. Sesekali ia menggebrak meja. Satu sisi, aku terkesima—jarang ada perempuan seberani ini menyuarakan kekecewaannya. Namun di sisi lain, aku prihatin. Gadis seistimewa ini harus masuk ke UIN HAB. Semoga keberaniannya tidak ciut setelah satu-dua bulan, seperti aktivis UIN HAB lainnya: awalnya gagah bagai laskar silat, tetapi setelah mendapat “cuan” memilih berpura-pura bodoh.
“Bukan hanya aktivisnya yang nepotis. Kebijakan masa orientasi mahasiswa baru yang juga diskriminatif, Mas! Kenapa mahasiswa hukum ditempatkan di ruang sempit pengap, sementara mahasiswa fakultas pendidikan di ruang ber-AC? Kita sama-sama bayar, Mas! Apa karena ketua ospek dari pimpinan fakultas itu?” suaranya makin meninggi.
Amatannya tajam. Ia membaca kebijakan ospek dengan kacamata kepentingan kuasa. Memang tidak bisa dibenarkan seratus persen, tapi mencurigai ketua kegiatan orientasinya, “Erfan Humaini”, bukan hal aneh. Kabarnya, sebelum jadi ketua, ia sering kecewa karena gedung fakultasnya tak layak. Wajar jika saat menjabat, ia lebih mengutamakan fakultasnya sendiri.
“Sabar, ya. Jangan buru-buru mencurigai Erfan Humaini sebagai Wakil pimpinan fakultas pendidikan, apalagi buru-buru merasa salah pilih kampus. Nanti aku bantu sampaikan keluh kesahmu. Tapi jangan berharap banyak. UIN HAB terlalu banyak kasus, susah diselesaikan semua. Karena sudah jadi budaya,” ucapku mencoba menghibur.
“Udahlah, Mas. Tolong bantu bicara ke orang tua. Sampaikan kalau kampus dan alamamaternya ini, sudah tidak baik-baik saja. Saya ingin pindah.” Nada suaranya melemah, sedih, sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
Vidia tampak putus asa. Ia berdiri, lalu pergi begitu saja, tanpa pamit, meninggalkanku sendiri. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa, hanya seorang alumni yang tak punya kuasa mengubah budaya yang kadung rusak.