Penulis: Gita Pamuji
AGITASI.ID- “Kaso! Kita ngopi di tempat biasa, sekalian bertemu dengan seseorang yang penting”, kata Fandi mengajakku.
Aku menganggukkan kepala dan segara menghidupkan sepeda motor. Fandi pun demikian, kemudian menarik gas keluar dari parkiran kampus. Ku buntutinya dari belakang.
Di sepanjang jalan, sebenarnya pikiranku tak karuan. Obrolan Fandi tentang dekan fakultas yang menggurita telah merunyam di otak. Bukan hanya karena tentang nasib kampus yang dikelola orang licik seperti dekan fakultas ekonomi itu, namun yang sungguh sangat meresahkan adalah nasib ayahku yang tersandera olehnya.
Walau diri ini hanya seorang anak dari Istri gelap rektor UIN HAB, namun Soeharto Zein tetap ayah yang darahnya ada dalam diriku. Maklum, jika darah ini mendidih ketika menyaksikan dirinya tersandra kuasa orang lain. Sejahat apa pun Soeharto Zein, yang menjadikan ibuku istri kedua, di waktu senggang dan lapang, ia tetap berusaha untuk jadi ayah terbaikku.
Pikiran yang tak karuan ini, tiba-tiba usai setelah melihat lampu belakang motor Fandi mendadak memerah. Tampak, ia mengerem. Kepalanya tolah-toleh dan lampu sebelah kanan motornya mulai bersinar kelap-kelip. Pasti, Fandi akan berhenti di Kedai For.rest, miliki temanku, yang juga terletak di kanan jalan.
Aku terus membuntuti hingga di parkiran. Karena letak kedai kopinya berada di lantai 2, kita masih harus menaiki tangga. Fandi terlihat buru-buru hingga lupa kalau aku masih merapikan posisi parkir. Tentu, membuatku penasaran tentang sosok yang akan ditemuinya. Melihat ketergesa-gesaan itu, menandakan sosok yang sedang menunggu begitu penting, bisa guru atau pejabat jawatan yang sangat dihormati.
Walaupun diselimuti rasa penasaran, ku naiki tangga dengan perlahan, tentu tidak sebagaimana Fandi. Badan gendut dan beratku telah cukup sulit dibawa tergesa-gesa. Rasa malas untuk melakukan olahraga, cukup membuatku selalu hati-hati berjalan, terutama untuk naik tangga yang terlihat cukup tinggi ini.
Badanku telah ringkih seolah lebih tua dari usiaku. Itu sebabnya, sesampai di pintu kedai yang dituju, aku harus kembali mengatur nafas agar terlihat stabil kembali. Ku gerakkan bola mataku kanan-kiri, untuk mencari Fandi yang tentu sudah sejak tadi sampai. Awalnya tak terlihat, sebelum akhirnya aku terlebih dahulu menuju meja bar untuk melakukan pemesanan.
“Mas, seperti biasa. Tubruk robusta!”, ucapku pada seorang barista tampan yang sebenarnya sedaritadi terasa memperhatikanku.
“Gabung sama Cak Fandi kan?”, tanyanya sambil menunjuk meja tempat Fandi duduk.
Aku menganggukkan kepala dan melihat arah jari sang barista. Terlihat di pojok Kedai sebelah barat, Fandi sedang duduk dengan dua perempuan berpakaian sederhana.
Semua perkiraanku tadi, ternyata salah. Tamu Fandi tampak bukan tokoh penting, tak sama sekali berpenampilan seorang guru, apalagi pejabat. Aku pun mendekat dan duduk tepat di samping temanku yang sedang serius mendengarkan.
“ini teman dekatku, Kaso namanya, ia seorang jurnalis dan insyaallah juga bisa bantu”,ucap Fandi memperkenalkanku.
“Kaso! ini Sadia, mahasiswi UIN HAB semester baru dan ini ibunya. Mereka dari Jenggawah, Berjem”
Kedua perempuan itu pun melihatku. Kita saling memandang. Terlihat jelas dari wajahnya, mereka menghadapi masalah dan memiliki harapan besar dapat diselesaikan.
“Monggo dilanjut, sampai mana tadi. Oh iya Sadia, terkait dengan buku moderasi wajib itu. Bagaimana caritanya?”, tutur Fandi menyela fokus saling tatap kita.
Sadia tampak tidak menjawabnya. Malah kulitnya yang putih berubah, memerah. Aku melihat air matanya yang tiba-tiba mengalir, namun buru-buru diusap. Dia tampak terpukul mendengar pertanyaan Fandi. Akhirnya, sang Ibu menenangkan dengan memeluk kepalanya.
“Gini mas. Ada dosen yang mewajibkan anakku untuk beli buku. Sedangkan kami dari desa dan dari keluarga kurang mampu. Bapak Sadia, suami baru saja wafat. Dan Saya kerja serabutan. Untuk pembayaran kostnya saja, terus terang, sudah nunggak 3 bulanan ini”, tutur ibu Sadia dengan intonasi bergetar dan mata yang juga hampir menangis.
Mendengarnya, batin sungguh tersiksa. Pikiranku tambah berkecamuk. Ternyata, masalah UIN HAB tidak hanya konflik dosen dan pimpinannya yang saling berebut dominasi. Gurita keserakahan dalam pengelolaan kampus telah benar-benar menyiksa semua kalangan. Bukan hanya ayahku yang tersandera sebagai rektor. Lebih dari itu, dampak negatifnya hampir merenggut hak berpendidikan gadis lemah ekonomi desa.
“Siapa dosen itu bu? Tidak ada buku yang diwajibkan di UIN HAB. Apalagi ada dosen yang menjual bukunya sendiri. Jika benar terjadi, dosen tersebut bisa dipidana. Kami akan tuntut agar dipenjara”, ujar Fandi dengan sedikit amarah.
Penjelasan ini tentu dapat dibenarkan. Seorang dosen dilarang menjadi agen buku pribadi dan mewajibkan mahasiswa membeli agar menambah keuntungan bagi dirinya. Jika terbukti, pelaku akan dianggap melanggar UU Dosen dan Guru bahkan bisa saja masuk perbuatan tindak pidana sesuai dengan Pasal 368 dan 274 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Demikianlah, informasi yang pernah aku pahami dari para pakar-pakar hukum.
Aku hanya menggelang-gelengkan kepala dan tak menduga, UIN HAB juga dihuni dosen-dosen yang tak tahu aturan serta jahat. Tak terbayang, sesusah apa Ayahku memimpin kampus yang konon berlandaskan nilai-nilai agama ini. Pasti sulitnya, minta ampun. Ia bertugas seperti pemimpin kartel narkoba. Harus senantiasa bertabayyun dengan kepentingan pejabat pemerintah dan mafia lain yang tak mengenal belas kasian serta jahat.
“Pak Dhoni Rahman Ar-Rozy namanya mas. Dia dosen mata kuliah moderasi agama. Ia mewajibkan anak kami membeli buku yang ditulisnya sendiri. Bukunya tentang moderasi beragama juga. Memang harganya, hanya 80 ribu, murah bagi keluarga yang berkecukupan. Tapi untuk kami, dapat 50 ribu saja, susah”, Jawab Sadia bangkit dari pundak ibunya.
Sungguh, aku terkejut melihat Sadia tiba-tiba menimpali. Ia seperti sudah tidak mampu menahan tekanan dukanya. Saat ini, ku melihat dirinya seperti perempuan dengan keberanian Kartini dan sisi lain layaknya Wollstonecraft kala merespons revolusi Perancis. Ia begitu jengkel pada dosen borjuis yang beretorika “Sok moderasi”, namun fundamental dan ekstremiş dalam mencari keuntungan.
“Jadi dosen itu sudah digaji, sudah dicukupi oleh negara. Kenapa masih menyerap riski kaum lemah? Kenapa masih berbisnis dengan mahasiswa? Apalagi seorang dosen mata kuliah moderasi, mestinya tidak hanya ngajar teori saja. Buktikan dengan teladan yang baik. Nilai Ta’addul dalam moderasi harus diajarkan dengan keteladanan, bukan dengan keserakahan”, omel Sadia dengan intonasi yang begitu menjiwai.
Aku dan Fandi hanya bisa tertegun. Ia tentu malu sebagai mahasiswa senior UIN HAB. Aku pun demikian, bahkan lebih parah. Sebab, Ayahku rektor yang saat ini memimpin dosen-dosen moderasi yang tak tahu malu itu.