Oleh: Mashur Imam*
Agitasi.id-Kemarin, saya bertemu dengan teman yang saat ini jadi aktivis mahasiswa bersemester lapuk di sebuah perguruan tinggi Negeri di Jember. Ia adalah karib seperguruan ngaji di langgar desaku.
Namanya, tentu para pembaca tidak perlu tahu, sebab tak menarik dan kurang keren. Hal menarik dari teman sedesaku ini, adalah perubahan nalar dan tindakannya semenjak masuk kuliah.
Santri Langgar Sebelum Jadi Aktivis
Semua hal yang luhur-luhur dari perangai temanku dulu, sebenarnya adalah bukti kepiawaian didikan Kiai kami. Sebagai Kiai Langgar, guru kami layaknya kiai pesantren, mendidik tak hanya lewat perkataan dan materi agama saja. Tindakannya pun kami anggap sebagai sumber ilmu luhur yang pantas diguguh dan ditiru. Guru Langgar kami mengajari ilmu agama dan keikhlasan melalui tindak-tunduknya. Mungkin demikian yang oleh beberapa pakar disebut sebagai proses pendidikan karakter.
Jika dipikir kembali secara mendalam, guru kami tidak hanya mengajari hal ihwal teoretis dari kitab dan Qur’an. Lebih dari itu, ia telah mengajari ilmu praksis bermasyarakat secara luhur. Kebetulan, Kiai langgar kami bukan sosok tokoh agama yang oleh DN. Aidit dimasukkan sebagai bagian dari kelompok “setan-setan desa” dalam bukunya.
Guru kami tidak menghisap hasil panen para petani. Bahkan sering menjadi penolong orang-orang lemah seperti para janda dan yatim piatu. Bukti konkret yang tak bisa dibantah, kami belajar secara gratis tanpa tagihan SPP. Artinya, Kiai langgar telah mencerdaskan pemuda-pemuda desa tanpa gaji dari pemerintah dan tanpa menyerap hasil panen orang tua kami.
Tak mengherankan, jika salah satu muridnya cukup memiliki keluhuran yang memesona. Saya ingat betul, dulu otak temanku itu, paling menawan. Ilmu fiqh, tajwid hingga tauhid, diserap betul oleh otaknya. Ia selalu lulus soal merapal hafalan yang diwajibkan oleh Kiai di langgar.
Tak hanya itu, ia terkenal di desa kami sebagai santri yang ta’dzim pada kiai dan berakhlak mulia pada sesama. Tidak sombong, selalu ikhlas membantu teman dan menolong orang yang membutuhkan. Ia sering terlibat dalam pekerjaan orang tua dan keluarganya, menggarap ladang. Pokoknya, dia memang pemuda sempurna, sehingga dipuji oleh keluarga-keluarga elit desa kami.
Boleh dikatakan, temanku ini adalah sosok primadona desa yang dianggap calon pewaris seluruh ilmu dam keluhuran Kiai Langgar desa kami. Buktinya, dulu pernah ada isu, ia akan dijodohkan dengan putri kiai, yang tentu berparas cantik dan dikagumi oleh kami semua. Sayangnya, hal tersebut gagal, sebab temanku bersikap tawaddu’, merasa tak pantas menikahinya. Sungguh, ia benar-benar berakhlak mulia.
Rusaknya Kiai Langgar Di Masyarakat Kampus
Saat memasuki dunia kampus, tampaknya temanku kini telah berubah. Bukan hanya cara berpakaiannya yang terlihat lebih necis, pikiran hingga gaya bicaranya pun telah berbeda. Sama sekali, tak terlihat seperti santri desa, yang umumnya macak tawaddu’ walau memiliki kedalaman ilmu. Topik yang dibicarakan telah menasional, tak lagi tentang fiqh, tauhid atau humor-humor agama lokal seperti dulu.
Baginya, kondisi sosial dewasa ini tak lagi sama dengan kehidupan di desa dulu. Sudah saatnya, santri-santri langgar membekali diri dengan ilmu rasional dan merespons hal besar yang saat ini terjadi. Tentu, ilmu agama dan seperangkat keluhuran yang diajarkan kiai, tak dapat lagi jadi kunci untuk mengambil peran penting di masyarakat.
Orang luhur seperti kiai Langgar, mungkin mulia di masyarakat desa yang awam dan tak rasional. Di mata orang kampus, seperti temanku ini, Kiai Langgar telah dianggap guru yang tak berkembang. Menurutnya, masyarakat semakin rasional, orang-orang ikhlas dan bermoral hanya akan diganyang oleh keserakahan zaman. Semua ilmu dan moralitasnya sudah tak berlaku di Perguruan tinggi. Apalagi di luar kampus, Kiai Langgar terus jadi bulan-bulanan kepentingan elit politik yang ingin menang dan kekal berkuasa.
Temanku mengaku telah mengubah orientasi masa depannya. Cita-citanya menjadi sosok suci dan luhur seperti Kiai Langgar dulu, dianggapnya tak masuk akal. Bahkan ia memandang, hanya orang bodoh yang masih bercita-cita jadi guru ngaji di desa-desa.
Entah siapa yang mengajari? yang pasti, teman “se-Langgarku” ini benar-benar telah mengubur dalam-dalam ilmu yang diajari guru kami dulu. Prediksiku, tentu tidak mungkin karena ilmunya yang semakin dalam, sebab orang berilmu selalu diibaratkan tanaman padi, semakin luas semakin merunduk. Mereka pasti bijaksana dan tak mungkin merendahkan gurunya sendiri.
Pasti juga bukan karena ia sekarang bagian dari kelompok aktivis. Yang saya pahami, seorang aktivis mengusai ilmu sosial untuk menolong orang lemah dan anti pada orang-orang elit yang mendiskriminasi. Saat ini, malah teman antre untuk jadi kaum elit yang mereka awalnya protes.
Lantas apa kemungkinan jadi penyebab hilangnya pengaruh kiai langgar di diri temanku ini. Pasti berhubungan dengan sosok yang paling berpengaruh dalam proses belajarnya. Siapapun itu, ya pasti telah mengubur ajaran luhur Kiai Langgar di Kampusnya.
Dosa Dosen Dan Aktivis
Salah satu pihak yang paling berdosa dalam melenyapkan mutu lulusan langgar tentu adalah mereka yang menjadi pengajar dan aktivis di perguruan tinggi. Survei historis, sebenarnya telah membuktikan bahwa adanya santri langgar menjadi mahasiswa dan dosen yang cukup memiliki peran baik di Indonesia. Para dosen lulusan langgar utamanya di masa orba rata-rata memiliki tindakan luhur dalam mengajarkan ilmunya.
Sebagaimana kiai langgar, mereka kerap menunjukkan teladan-teladan baik dan belajar tanpa sekat dengan para mahasiswa. Begitupun mahasiswa yang lulusan santri langgar, mereka hidup sederhana, dan tanpa henti belajar pikiran-pikiran yang revolusioner. Padahal mereka ilmu kiri dan barat. Namun mereka tetap memegang teguh teladan luhur dari kiai langgarnya. Hidup sederhana dan penuh semangat mengabdi. Tidak mengheran, jika beberapa elit dan tokoh nasional yang berasal dari keduanya saat ini cukup memiliki peran di Indonesia.
Kondisi demikian, akhirnya berubah sejak memasuki era reformasi. Mereka yang alumni santri, akhirnya tak lagi berdaya melawan arus pragmatisme pendidikan. Buktinya yang jadi aktivis, seperti temanku ini, tampak tidak lagi butuh ilmu sosial apalagi yang marxis-marxis. Era ini telah berubah, pejuang sosial tak lagi penting.
Begitupun dosen-dosennya, mereka yang banyak mengaku mantan aktivis, telah sering mengajari bahwa orang-orang hebat, bukan lagi mereka yang mengabdi pada masyarakat. Mereka yang telah jadi kaum elit kontemporer, bukan yang berhasil menyejahterakan rakyat, namun yang mengoptimalkan jaringan “orang-orang dalam” atau elit politik.
Tak mengherankan, gairah-gairah keluhuran kiai langgar pun lenyap. Dosen-dosen kampus telah mengajari Mahasiswanya ilmu bertahan hidup dengan memperluas jaringan. Bagi mereka, nalar mengabdi tanpa pamrih cukup dimiliki guru-guru langgar saja, tidak cocok untuk masyarakat kampus. Yang tak mendengar nasehat ini, tentu telah dianggap sesat pikir. Pasalnya, konsepsi luhur di perguruan silatnya hanya ada pada mereka, para politisi yang berkedok jadi dosen.
*Mashur Imam adalah Anggota Kajian Dar Al Falasifah, Penyuluh Agama Islam, dan Dosen STAICI Situbondo