AGITASI.ID – “Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”. Sok Hoe Gie (Aktivis era 1960-an).
Satu dari banyaknya kutipan Sok Hoe Gie di atas merupakan tujuan untuk apa tulisan ini dibuat. Berbeda dengan demonstran pada umunya, teriak dengan suara lantang membutuhkan banyak stamina, tenaga, tekad dan mental baja.
Karena saya fakir terhadap hal-hal tersebut, maka saya sampaikan melalui instrumen sederhana dengan ala kadarnya. Tentu meskipun melalui tulisan ini, semoga dapat menyentil gendang telinga dan menyadarkan pembaca.
Sok Hoe Gie adalah aktivis, sudah barang tentu yang akan saya bahas di sini adalah macam-macam label aktivis sesuai dengan realita sekarang. Namun, penulis tidak hidup di zaman Sok Hoe Gie , dan belio juga hidup jauh di era 1960-an.
Maka mari pelan-pelan meresapi label ‘Aktivis Pecundang’ yang muncul entah di tahun ke berapa. Label tersebut tidak bim salabim muncul tanpa dasar dan penguat yang mendukung. Jika dilihat dari banyaknya organisasi, yang isinya tidak semua aktivis ideal, wabil khusus organisasi non profit dan Non-Government Organization (NGO).
Di sana banyak sekali ditemukan manusia tidak bertanggung jawab, bukan hanya terhadap dirinya sendiri, tapi juga merugikan orang lain. Alih-alih berpendapat “lawong saya tidak dibayar”, “kan pengurus/anggotanya banyak, tetap jalan kok tanpa saya”.
Menjadi alasan nir moral idealnya aktivis, yang seharusnya mampu mengorganisir dirinya sendiri sebelum mengorganisir orang lain, menjunjung tinggi kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, justru menghapus nilai-nilai tersebut.
Positif ! Ajaran Mulyono yang tidak mulyo sama sekali telah mandarah daging di tubuh mereka.
Baru-baru ini, di kampus tempat saya pura-pura hectic, padahal numpang ngadem, banyak sekali pemandangan porno yang mengganggu mata. Mungkin, porno menurut pembaca berbeda dengan porno yang penulis maksud.
Ibarat video porno yang isinya begitu-begitu saja, diulang berkali-kali, dan dampaknya merusak organ pembeda manusia dengan hewan yaitu otak. Bahkan menarik banyak penikmat. Begitupun dengan ‘Aktivis Pecundang’, kesalahan yang dilakukan itu-itu saja dan berkali-kali, serta banyak diprakarsai oleh mahasiswa kemaruk.
Semua organisasi ia sabet, perlahan mengklaim bahwa dirinya ‘si paling aktivis’, gembor-gembor di media sosial, namun tidak setetes pun keringatnya keluar sebagai bukti berperan aktif.
Kalau video porno mampu merusak otak (diri sendiri), ‘Aktivis Pecundang’ lebih fatal dari itu, tidak hanya diri sendiri, namun merugikan orang lain, merusak struktur organisasi, mengganggu stabilitas kinerja, dan paling parah merusak kapabilitas organisasi tersebut.
Lantas, sudah berapa organ dalam organisasi yang mereka ciderai, jika hal ini dianggap normal !?.
Label ‘Aktivis Pecundang/Jago Kandang’ mungkin merujuk pada individu yang mengaku memperjuangkan suatu isu, tetapi gagal menunjukkan komitmen dan tanggung jawab sosial terhadap tujuan yang mereka dukung.
Tapi tidak sesimpel itu. Berikut adalah macam-macam perilaku yang bisa dianggap lalai terhadap tanggung jawab dan pantas disebut sebagai ‘Aktivis Pecundang’ :
Pertama, mereka yang terlibat dalam gerakan hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi (profit oriented) dan pengakuan, tanpa benar-benar peduli pada tujuan utama gerakan tersebut.
Nah, aktivis ini biasanya golongan manusia super sibuk, bahkan kesibukannya mengalahkna Rafi Ahmad. Bedanya, Rafi Ahmad sibuk mengurus bisnis guritanya, sedangkan mereka sibuk dibuai oleh keserakahan, dibutakan oleh kekuasaan, diselimuti oleh rasa intoleran, dan diperintah oleh nafsu egois.
Saking sibuknya, tanpa sadar menyebabkan kerusakan, meyulutkan perpecahan, dan menimbulkan kesengsaraan bagi organisasi itu sendiri.
Yang paling menyeramkan, hal tersebut acap kali dilakukan oleh oknum yang kerap tidak mendapatkan kursi (baca : jabatan) sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Kedua, aktivis yang hanya vokal di media sosial, tetapi tidak mengambil tindakan nyata di lapangan. Mereka mungkin lebih peduli tentang penampilan di dunia maya daripada memberikan kontribusi substansial.
Entah apa memang lagi musimnya aktivis dengan modal narasi memperjuangkan HAM, ekologi, pendidikan dan keadilan bagi kaum-kaum tertindas (mustadh’afiin) di media sosial. Namun sayang sekali, tidak semua yang disebut influencer benar-benar berpengaruh positif.
Buktinya, saat penulis bertemu dengan teman sesama aktivis yang hobi main JJ (Jedag-Jedug), tapi dalam struktur organisasi dia cukup numpang nama. Jangankan hadir guna mendukung program kerja, nyumbang satu ide saja tak ada. Astaghfirullah tidak tahu malu !
Ketiga, mereka yang hanya aktif ketika ada peluang untuk mendapatkan keuntungan materi atau pengaruh, tetapi tidak konsisten dalam memperjuangkan isu-isu yang mereka dukung. Manusia model begini mudah ditemukan pada organisasi mahasiswa yang basisnya pengkaderan.
Sebab, organisasi tersebut tidak jarang menggunakan cara iming-iming kursi jabatan lebih tinggi guna meningkatkan kuantitas anggota. Tapi, cara tersebut bukanlah satu-satunya, dan model ketiga ini banyak sekali templatenya.
Lagi-lagi, penulis kembali bertemu dengan spesies buruk semacam ini, masuk ke dalam organisasi tersebut, guna menduduki jabatan lebih tinggi di organisasi lain.
Tak lama, jabatan pun ia peroleh. Bagaimana selanjutnya ? Menghilang dari lane dan sengaja lupa tanggung jawab, sekalinya muncul merasa jadi ‘si paling lord‘.
Posisinya memang tidak terlalu penting, namun berbicara moral dan tanggung jawab, ia tak pantas disebut sebagai umat nabi Muhammad. Sebab empat sifat wajib Rasulullah yaitu ; shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah, satu pun tak nampak pada dirinya.
Dari 3 macam perilaku penyebab munculnya label ‘Aktivis Pecundang’ di atas, perilaku manakah yang sempat pembaca temui ? Atau justru ada pada diri sendiri ? Naudzubillahi min dzalik.
Ingat dan sadar ! Seorang aktivis membutuhkan komitmen, ketekunan, dan tanggung jawab terhadap tujuan yang diperjuangkan.