Penulis: Fadli Raghiel*
Agitasi.id- Senja mulai menutup wajah dan sinarnya yang masih lembut membelai halaman rumah, menyentuh dedaunan pohon yang mulai kering di depan teras. Sucipto, duduk bersandar di kursi kayu yang sudah kusam sembari memikirkan masa depan yang masih abu-abu. Sementara sang bapak, Banyak orang memanggilnya Haji Faizin, duduk di sebelahnya, menatap jauh ke arah sawah yang membentang luas. Angin sepoi-sepoi membelai wajah Sucipto, membawa aroma tanah khas perdesaan.
“Nak, aku akan bahagia kalau kelak kamu jadi orang yang sukses,” kata Bapaknya tiba-tiba.
Sucipto pun menoleh, menatap wajah sang bapak yang mulai keriput. Bapaknya memang selalu bilang begitu, tapi kali ini nada suara itu, lebih serius.
“Sukses itu nggak cuma soal uang, Nak,” lanjutnya. “Yang lebih penting Nak, adalah kamu bisa bermanfaat bagi masyarakat secara luas.”
Demikian suara sayup itu terdengar, membuat Sucipto gagal menikmati sajian secangkir kopi robusta yang sebenarnya telah mendekat ke bibirnya.
Sucipto selalu berkata sok bijak dan pintar ketika di kampus. Pernah ia bilang begini, “Untuk bermanfaat tak harus lulus kuliah, cukup banyak jaringan nanti pasti nyalib mereka yang lulus cepat”.
Ternyata, saat ini terlihat berbeda. Di Depan sang bapak, Sucipto yang selalu keren itu, tak lagi terlihat pintar sebagaimana ketika berada di kampusnya. Terbukti dari tadi, ia hanya menyimak petuah-petuah bapaknya itu.
“Apalagi kamu bisa dihormati banyak orang karena jasamu. Semua orang akan terseyum gembira saat melihat bahkan mendengar namamu”, suara nasehat itu kembali terdengar dan semakin meggema.
Sucipto hanya mengangguk, ucapan sang bapak seakan menampar pikirannya yang sedari tadi melamun.
“Sukses?” gumam Sucipto, ia belum bisa membayangkan seperti apa kesuksesan yang Bapaknya maksud. Di desa ini, hidupnya sederhana, menjadi petani atau bekerja di kota sudah dianggap cukup. Tapi Haji Faizin, punya cita-cita yang lebih tinggi dari benak anaknya itu.
“Kamu harus pandai berkomunikasi,” ucap Haji Faizin lagi meneruskan peruahnya.
“Zaman sekarang, komunikasi itu penting. Orang nggak akan percaya sama kamu kalau cuma dilihat penampilanmu Nak. Kamu harus pandai bersilat lidah, bisa meyakinkan orang.”
Sucipto tersenyum kecil. Bapaknya memang suka menggunakan kata-kata unik seperti “bersilat lidah”. Tapi kali ini Sucipto penasaran, “Maksud Bapak komunikasi itu seperti apa?”
H. Faizin menoleh dengan tatapan bijak pada Sucipto.
“Sekarang ini ada yang namanya humas. Istilahnya singkatan dari hubungan masyarakat, bagian dari instansi yang bertugas untuk bersilat lidah dengan publik. Di kantor-kantor pemerintahan, humas ini tugasnya menjaga hubungan masyarakat dengan pemerintah, menjembatani kepentingan instansi dengan kepentingan masyarakat, bahkan kerjaan humas ini bisa memoles citra positif intansi tersebut.”
“Humas?” Sucipto mengerutkan kening, tak begitu paham. “Makhluk apa lagi itu, Pak?”
“Humas itu semacam corongan, To. Tapi mereka keluaran sekolahan, pintar bicara, dan tentu profesional. Kerjaan mereka, ya, menjaga komunikasi antara instansi dan masyarakat,” jelas Bapak sambil tersenyum. “Gimana, kamu mau jadi humas?”
Sucipto tersecum kecil. “Kayaknya nggak buruk sih, Pak, jadi humas. Tapi kalau ada yang lebih enak, ya aku lebih milih itu.”
Sementara sang Bapak tersenyum lebar. “Nggak apa-apa. Yang penting kamu harus bermanfaat buat orang banyak. Lebih penting lagi, orang akan hormat saat mendengar namamu disebut.”
“Tapi, Pak, beneran ya jadi humas bisa dihormati orang?” tanya Sucipto ragu-ragu pada sang bapak. “Di kampusku, ada humas juga, tapi kayaknya mahasiswa nggak terlalu hormat sama pejabatnya.”
Bapaknya tertawa lagi.
“Itu tergantung orangnya, To. Kalau humasnya benar-benar bekerja dengan baik, pasti dihormati. Tapi kalau cuma main-main, ya lain cerita. Humas itu penting, dia ibarat kayak calo yang menghubungkan penumpang sama kondektur di terminal. Kalau nggak ada humas, instansi itu bisa berantakan. Dan posisi ini bisa ambil untung dari segala pihak.”
Sucipto tampak kembali mengangguk, meskipun dirinya belum terlalu paham.
“Jadi sepenting itu ya pak posisi Humas. Tapi Pak, kata Surip, temanku yang aktivis itu, kampusku nggak punya struktur humas. Tentu aku tidak percaya saat Surip menyampaikan itu padaku. Untuk menyainkanku, dia sampai nunjukin peraturan kampus, statuta, semuanya. Dan ternyata benar, nggak ada yang namanya humas”, tanggapnya penuh tanya.
Haji Faizin pun menggeleng-gelengkan kepala mendengar celoteh ngawur anak si mata wayangnya itu.
“Loh, berarti kampusmu UIN HAB itu ketinggalan jaman, Nak. Dunia modern seperti sekarang ini, semua instansi baik negeri maupun swasta pasti punya humas. Kalau nggak ada, kampusmu yang Universitas Islam Negeri itu bisa kehilangan eksistensi. Humas itu penting, supaya orang tahu kampusmu ada.”
Benar saja, UIN HAB, tempat Sucipto menuntut ilmu, belum memiliki nomenklatur bidang Humas. Sucipto ingat betul pada apa yang dijelaskan teman karibanya dulu. Namanya, Surip, ia merupakan aktivis yang sering diajak nimbrung rektornya.
Surip pernah menunjukkan nomenklatur humas dan ditunjukkan padanya. Baik di Peraturan Kementerian Agama (Permenag) Nomor 37 tahun 2021 tentang Statuta kampusnya maupun di aturan lain ihwal struktural ini.
“Kalau benar kampusmu tidak ada humas, terus siapa yang bertugas membranding citra kampusmu ke masyarakat Nak?”, tanya sang bapak mengagetkannya yang sedang mengingat-ingat kembali penjelasan Surip.
“Semua instansi itu pasti ada humasnya Nak. Wajib. Apalagi di kampus negeri. Contoh di kampus negeri yang dekat dengan kampusmu, kampus negeri yang tidak ada Islamnya itu, struktur humas itu ada. Perihal posisi strukturalnya, biasanya makhluk bernama humas ini berada di bawah naungan Sekretariatan Rektor atau bahkan di bawah Wakil Rektor.” lonjut sang bapak menjelaskan.
Meski tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, entah dari mana pengetahuan bapaknya yang begitu luas itu. Sampai tau perihal perhumasan.
Kata-kata Bapaknya membuat Sucipto berpikir. Selama ini, ia memang sering mendengar istilah humas di kampusnya, tapi nggak pernah benar-benar memperhatikan. Sucipto pun mengambil ponsel dan membuka media sosial resmi kampusnya. Ia lihat banyak pamflet di postingan instagram UIN HAB. Ternyata, ia terkejut, ada banyak postingan yang menyertakan kata “humas”. Lalu ia menunjukkan itu pada sang Bapak.
“Lihat nih, Pak. Katanya kampusku nggak punya humas, tapi di Instagram ada yang mengaku humas. Ini dosen namanya Pak Cahya Efendi. Dia sering hadir di acara perhimpunan humas kampus se-Indonesia.”
Bapaknya pun melihat layar ponsel Sucipto dan mengangguk.
“Tuh, kan. Jadi kampusmu sebenarnya ada humas, walaupun nggak ada di struktur resminya. Setiap kampus biasanya ada jabatan fungsional pranata humas, dan pasti ada saat rekrutmen PNS, Nak”
Sucipto kembali mengingat perkataan Surip yang disampaikan padanya beberapa waktu lalu. Ia pun ingat betul bahwa kepala Humas UIN HAB itu bernama Cahya Efendi.
“Tapi kata Surip, teman saya pak. Kepalanya tidak ada. Pak Cahya Efendi yang dianggap menjabat humas, sebenarnya menjabat sebagai Kepala Pusat Informasi, Data, dan Survei,” kata Sucipto ragu-ragu .
Haji Faizin pun tertawa pelan-pelan dan terlihat sedikit nyinyir. “Itu sih namanya salah tempat, To. Ada Humasnya, tapi jelmaan dari Kepala Pusat Informasi yang tugasnya nyiapin data, bukan komunikasi. Harusnya memang yang jadi humas itu dua orang yang kamu sebut tadi, yang punya keahlian. Kalau nggak, yang rugi ya kampusmu sendiri, to. Masak humasnya sebangsa siluman”.
Sucipto pun terdiam, memikirkan celoteh nyinyir sang bapak. Ternyata pengetahuan Bapak yang cuma lulusan sekolah menengah lebih luas dari yang Sucipto kira.
Dia tahu banyak tentang struktur organisasi, begitupun fungsi humas yang ia umpamakan dengan calo terminal, yang bahkan pejabat kampusnya mungkin nggak sadar. Buktinya selama ini kampusnya tidak punya struktur humas, tapi ada orang yang mengaku humas. Parahnya, hal ini dibiarkan sampai sekarang oleh Rektor yang baru.
“Hem UIN HAB”, gumam sang Sucipto pada dirinya sendiri.
“Terus, apa cita-citamu, To?” tanya Bapak lagi. “Humas bukan pilihan yang buruk, loh. Kamu bisa dihormati masyarakat kalau jadi humas, asal fokus kerja dan serius. Jangan jadi siluman Humas, sepeti di kampus UIN HABmu itu,” hardik bapaknya kembali.
Sucipto tersenyum kecil, tapi rasa bimbangnya masih tetap ada.
“Entahlah, Pak. Aku masih bingung.”
“plekk…”, H. Faizin menepuk pundak sang anak dan memberi nasehat kembali.
“Nggak apa-apa bingung sekarang, yang penting kamu terus belajar. Suatu saat nanti kamu pasti tahu apa yang terbaik buat dirimu.” Sucipto mengangguk pelan, menikmati sayup senja di desa yang tenang sambil berpikir tentang masa depan.
*Mahasiswa UIN KHAS Jember dan Kontributor Resmi Agitasi.id