CERACAU MAHASISWA UIN HAB VI: Mati Kutu! Lawan Diskriminasi, Aktivis Melemah Demi Cuan

Ceracau UIN Mati Kutu_Agitasi.id
Gambar CERACAU MAHASISWA UIN HAB VI: Mati Kutu! Lawan Diskriminasi, Aktivis Melemah Demi Cuan (Grafis/Agitasi.id)

Oleh: Gita Pamuji

Agitasi.id-Kemana aktivis kampusnya?,” ceracau Agus Zay, jurnalis seniorku, asal Probolinggo setelah mengirimkan data, berupa foto dosen UIN HAB yang sedang mencium mahasiswinya. Tentu, aku tak segera menanggapi. Mataku terpusat pada gambar yang dikirimkannya lewat Whatsapp itu.

Bacaan Lainnya

ini diskriminasi,” gumamku di hati. Dalam gambar, terlihat mahasiswi berwajah polos, putih, cukup mulus, manis, dan memakai almamater berlogo UIN HAB. Ia sedang tak berdaya dicium seorang pemuda yang memakai topi layaknya Maher Zein. Atau, mirip tokoh fiksi Sherlock Holmes dalam novel Sir Arthur Conan Doyle.   

Ku amati dengan mendalam, tampak latar tempat foto itu tak asing. Sepertinya, di gedung laboratorium. Meja dan lemarinya, mirip dengan penampakan pada bangunan yang terkenal paling sepi di UIN HAB.

Agus Zay duduk di depanku. Ku lihat, ia mengernyitkan dahi.

Sudah ku sangka, ente ngopi di sini,” gumamnya menundaku menjawab pertanyaan tentang foto bukti diskriminasi yang dikirimkannya.

tempat ngopimu tidak berubah. Cafe ini memang dipenuhi memori perjuangan. Semoga semangatmu juga demikian. Aku sengaja datang, untuk bertanya lebih jauh tentang foto yang sudah tersebar di banyak wartawan itu, ” ungkapnya.

Pasca beberapa hari, setelah menemani Fandi bertemu dengan kepala Poliklinik UIN HAB, DR. Djono (baca Cerpen Ke V), aku memutuskan untuk menenangkan pikiran di Cafe 19. Tempat mengenang seluruh jerih keringat dan penderitaan saat dulu masih jadi aktivis mahasiswa.

Teringat jelas, Aku, Agus Zay, dan beberapa guru besar UIN HAB dulu berdiskusi tentang kemanusian di tempat ini.

Agus Zay adalah teman seperjuangan bahkan sepersusahanku. Saat mahasiswa dulu, kita sama berproses di salah satu organisasi ekstra terbesar di kota ini. Kita biasa berdarah-darah memperjuangkan hak sipil yang dirugikan oleh pemerintah. Turun ke jalan dan berteriak-teriak di depan DPRD dan kantor bupati adalah sejarah yang tak bisa kita lupakan.

Aku sengaja terdiam sejenak, membiarkan Agus Zay meluapkan keresahannya. Ia memang tak berubah. Selalu lugas, selalu gelisah jika melihat kemungkaran.

Kang!,” aku mulai, mencoba menjelaskan, “masalah yang terjadi bukan hanya tentang foto itu. Ini soal sistem. Kampus kita sekarang bukan lagi medan perjuangan. Sudah lama jadi sarang diskriminasi,”.

Aku menceritakan semuanya pada Agus Zay tentang kasus yang beberapa hari ini terjadi. Utamanya tentang kondisi dokter perempuan yang jadi korban preman parang berkedok doktor, Abi Al Dzin.

Bagiku, foto yang dikirimkan oleh Agus Zay adalah sepersekian kecil kasus kejahatan pada perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2024 ini di UIN HAB.

Mendengar ceritaku, Agus Zay mukanya tampak memerah. Pandangannya memberikan kesan kekecewaan pada kondisi almamater pendidikannya saat ini.  

Apa Fandi itu aktivis? Terus apa yang dilakukan?”, ia menggerutu mempertanyakan peran aktivis kampus dalam mengontrol dan menganalisis masalah yang terjadi.

Iya aktivis dan paling senior saat ini. Tetapi, aku yakin Fandi tidak bisa apa-apa. Musuhnya, senior sendiri. Bahkan setahuku, mereka para pelaku adalah mantan aktivis di organisasi yang sama sepertimu”.

Aku menceritakan semuanya. Tentang Fandi, seorang ketua komisariat organisasi kita dulu, yang kini terjebak dalam dilema. Dia tahu siapa musuhnya — para senior yang dulu satu barisan dengannya, kini menjadi petinggi kampus yang semena-mena. Bahkan, para pelaku diskriminasi itu mendapat perlindungan dari pimpinan kampusnya.

Ia harus tahu, melawan penguasa yang semena-mena dan jahat, tak semuda era dulu. Beberapa tahun pasca reformasi di Indonesia, musuh mahasiswa bukan TNI  dan bukan mafia politik lagi. Namun, senior-seniornya sendiri yang “tak tahan godaan untuk tidak serakah” saat menjadi penerus kekuasaan orde baru.

Abi Al Dzin misalnya, ia adalah mantan aktivis yang saat ini menjabat sebagai LP4M. Setelah pensiun dari perjuangan, ia berkuasa di UIN HAB dengan jahat.

Ideologi-ideologi dan nalar perjuangan kemanusiaan di otak mantan aktivis sepertinya, sudah lenyap. Jika pun mereka masih berkumpul atas nama organisasi, diskusinya sudah bukan pemberdayaan dan pengabdian. Perkumpulan mantan aktivis kampus yang telah berkuasa, lebih mirip kroni-kroni jahat yang bergerak untuk saling melumpuhkan. Persis kelompok gangster dalam film Crows Zero.

Fandi mati kutu melawan seniornya sendiri. Dia tak bisa banyak, Kang. Semua tunduk pada Abi Al Dzin, kepala LP4M (Lembaga Perhimpunan Penjahat Perempuan Perempatan Mangli). Fandi dan kader-kadernya seperti berjalan di ladang ranjau. Tidak ada ruang untuk melawan. Jika berani, masa depannya suram. Apalagi, mereka butuh cuan untuk kegiatan organisasinya,” ungkapku yang sebenarnya sangat jengkel membayangkan perilaku buruk itu.

Agus Zay mendengarkan dengan wajah yang semakin keruh. Tangannya gemetar saat memperbesar foto di layar ponselnya.

Ya Allah! Aku kenal dosen ini. Cak Abidillah. Mantan ketua intra dulu. Dia teman seperjuanganku!”, ujarnya sambil memandangi foto dosen bertopi mirip Maher Zain di smartphonenya.

Masak di UIN HAB tidak ada pusat studi perlindungan perempuan? Kalau ada apa yang dilakukan? kok ini bisa terjadi?”, Ia tampak semakin gusar.

Ada kang. Namanya PSGA. Ketuanya, kalau tidak salah Buk Alfiyah. Tapi, secara struktural ia masih di bawah kewenangan senior pelaku diskriminasi juga. Dia tunduk pada Abi Al Dzin

Agus kemudian terdiam, pandangannya kosong. Seperti sedang mengolah kemarahan yang mendidih di dadanya. “Fandi, sebagai aktivis melakukan apa?” tanyanya ulang, nyaris berbisik terkesan menahan amarah.

Apa gunanya aktivis kampus kalau begini? Dulu, kita berani melawan aparat, melawan pemerintah. Sekarang mereka tak bisa melawan seniornya sendiri? Ke mana keberanian itu?

Aku menarik napas panjang. “Bukan soal keberanian, Kang. Ini soal struktur. Mereka terjebak dalam sistem yang membuat mereka tak berdaya. Selain itu, banyak mahasiswa sekarang sudah kehilangan orientasi. Globalisasi ekstrem membuat mereka sibuk mengejar mimpi individual. Ideologi perjuangan tidak lagi mempesona.

Agus terdiam lama. Kemarahannya belum reda. Aku tahu ia kecewa. Bukan hanya pada kampus, tapi juga pada dirinya sendiri — sebab fakta bahwa kami, generasi yang dulu memperjuangkan idealisme, telah gagal mewariskan semangat yang sama pada generasi berikutnya.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya agak mendesak.

Saatnya kita bergerak, Kang. Bukan sebagai aktivis, tapi sebagai jurnalis. Kita masuk ke kampus, lindungi korban, dan bongkar kejahatan ini. Jika perlu, libatkan Komnas HAM, KP3A, dan lembaga lain di luar kampus. Kita tak bisa lagi berharap pada mereka yang terkungkung dalam sistem yang busuk”, usulku padanya.

Agus mengangguk. “Anakku kuliah di UIN HAB. Jangan sampai dia jadi korban juga,” katanya dengan suara serak sambil menjulurkan tangan.

Entah, apa yang akan dilakukannya. Ya pasti, setelah juluran tangannya ku terima, ia bergegas menghidupkan motor vario putihnya sambil menyanyikan salah satu lagu Jason Ranti. Kurang lebih liriknya begini,

Manfaatkan angin, tiap sudut kita tumpahkan, Tiap sudut kita doakan. Bangsat-beriman diberdayakan. Mereka yang di atas harus kita kadali.

Meski tubuh mulai renta, ternyata semangat perjuangannya masih menyala. Kini giliran kita kembali turun ke medan juang, meski dengan cara yang berbeda. Tidak ada suara magaphone atau massa yang berteriak. Hanya kata-kata yang tajam dan keberanian untuk melawan penindasan.

Baca Juga :  Tingkatkan Kecintaan Pada Seni Theater, ATOS Adakan diklat Ruang dan Lapang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *