CERACAU MAHASISWA UIN HAB VIII: Cengkeraman Kepala Proyek, Viceroy Berkekuasaan Paralel

“Sisa dari orang baik di kampus yang dikuasi mafia, adalah kekhawatiran dan ketakutan”

Oleh: Gita Pamuji

Bacaan Lainnya

AGITASI.ID- Asbak sudah nyaris meluap. Puntung-puntung rokok menggumpal, seperti gugusan frustrasi yang morat-marit. Fandi masih menatap laptopnya dengan intensitas mahasiswa yang ditekan dosen pembimbing. Tapi aku tahu, yang sedang menyita perhatiannya bukan itu—dia kan aktifis—pastilah, sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah kampus atau rakyat.

Fand, dari tadi?” tanyaku, merendahkan suara di tengah riuh pelayan yang mondar-mandir di kedai Mato, tepat ngopi favorit para dosen yang terletak di tengah tanah hijau UIN HAB.

Oh, Kaso! Sudah tadi. Malah jadi pelanggan pertama di sini,” jawabnya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tapi matanya seperti menyimpan gugatan.

Sebagai kolega dalam setiap masalah yang dihadapinya, aku bisa membaca gurat kelelahan di wajahnya. Lebih dari sekadar lelah akademik. Kantung matanya adalah tanda insomnia panjang yang tak semata karena revisi tugas akhir, melainkan pergulatan batin terhadap realitas kampus yang absurd.

Kamu masih mendampingi kasus mahasiswi bunuh diri itu?” tanyaku hati-hati.

Ya. Mahasiswi itu seharusnya lulus semester ini. Tapi dosennya tidak pernah membimbing dengan benar. Ditambah tekanan ekonomi dan beban sosial. Kampus ini, tempat orang bicara akhlak mulia, tapi tak sedikit yang memperlakukan mahasiswa seperti angka statistik.”

Ia menghela napas. Lalu menambahkan, lirih, “Bapakmu pun… rektor yang saleh, tapi sayangnya terlalu lembut untuk menindak tegas para oportunis di sekelilingnya.”

Aku terdiam. Nama lengkapku—Karim Soeharto—rupanya bukan rahasia baginya. Ya, aku memang anak dari Rektor Soeharto Zein, tokoh karismatik yang lebih dikenal sebagai kiai ketimbang birokrat.

Kamu tahu dari mana aku anak beliau?” tanyaku.

Dari cara kamu membela sistem kampus. Aku tahu kamu bukan buzzer. Kamu tulus. Tapi… kadang cinta selalu membuat kita buta.”

Fandi menggeser laptopnya ke arahku. Di layar, terbuka dokumen digital. Terbaca, Peraturan Menteri Agama Nomor 28 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja UIN HAB.

Sudah kuduga,” gumamku.

Lihat pasal 23, ayat 2. Kepala Tata Usaha bertanggung jawab pada dekan. Tapi dalam praktiknya? Mereka bertindak seperti viceroy. Memiliki kekuasaan paralel. Dekan hanya simbol. Sementara, kepala TU jadi pengendali anggaran, menentukan vendor, bahkan mengatur rotasi staf.”

Aku mengangguk pelan. Teringat diskusi kita dulu, tentang Etika dan Tata Kelola Pendidikan Tinggi. Kita memang pernah membedah kasus serupa—bagaimana birokrasi kampus bisa dibajak oleh elitnya sendiri.

Ini bukan hanya masalah struktural, Kaso. Ini krisis epistemik. Kita sedang hidup dalam universitas yang kehilangan ethos ilmiahnya. Dimana norma akademik dikalahkan oleh persekongkolan administratif.

Ia merogoh saku, mengambil ponsel, menunjukkan foto-foto gedung kampus yang baru dicat tapi sudah kusam.

Ada proyek pemiliharaan dan pengecatan gedung fakultas pendidikan, tapi fungsi hasilnya memalukan. Ada pemeliharaan sistem informasi, tapi web universitas sering dibobol judi online. Ini bukan karena kekurangan dana. Ini soal siapa yang menguasai proyeknya”, gerutu Fandi tampak kesal.

Aku menelan ludah. “Tapi bukankah rektor punya wewenang pengawasan?

Teorinya iya. Tapi tidak di UIN HAB. Laporan pertanggungjawaban sering dilewatkan, baik hanya di atas kertas. Foto ini, gedung fakultas pendidikan, baru dicat kemarin, sudah begini kondosinya. Tim evaluasi internal lemah. Senat akademik diam”, kata Fandi dengan cukup meradang.

Suasana tiba-tiba hening. Kopi kami mulai mendingin. Fandi memandangku lama, lalu berkata:

Kita ini sedang hidup di kampus yang hanya sibuk mengejar akreditasi, tapi tak peduli pada akuntabilitas. Tak mengerti apa yang harus jadi prioritas.”

Aku menarik napas dalam. Hati kecilku mulai terusik. Selama ini aku bangga, UIN HAB lebih baik di bawah kepemimpinan bapak. Tapi cerita Fandi benar-benar mengungkap sisi kelam UIN HAB—universitas Islam yang kehilangan ruhnya.

Kamu marah pada ayahku?” tanyaku pelan.

Tidak. Aku kasihan. Dia orang baik. Tapi sendirian. Dikelilingi oleh struktural yang tak paham dunia akademik. Orang yang seharusnya jadi penjaga nilai, malah jadi mafia proyek.”

Fandi menyentuh lengan bajuku, tatapannya tajam namun jujur.

Kamu harus bicara pada bapakmu. Atau setidaknya, jadilah anak yang peduli pada kampus yang dipimpinnya. Jangan diamkan warisan buruk ini terus berjalan.

Aku menunduk. Di luar, hujan mulai turun. Membasahi trotoar kedai, seolah ingin mencuci noda-noda yang lama tak tersentuh. Tapi aku tahu, bukan hujan ini yang bisa menyucikan universitas. Harus ada suara dari dalam. Kalau pun tidak mahasiswa, dosen, bisa dari aku sendiri sebagai anak rektor. Atau, sebenarnya bagi siapa saja, yang masih percaya pada nilai.

Sungguh, malam ini, aku banyak belajar dari asbak penuh dan kekesalan Fandi itu. Aku jadi paham, bahwa sisa dari orang baik di kampus yang dikuasi mafia, adalah kekhawatiran dan ketakutan.

Baca Juga :  CERACAU MAHASISWA UIN HAB PART II: "Ayahku, Rektor Yang Tak Berdaya Melawan Sisa Kuasa Orde Baru"

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *