Agitasi.id- Selepas kami beranjak dari kedai For.rest, Fandi melontarkan ajakan yang tak bisa kutolak.
“Ayo, kita geser ke warung pojok depan Perpus UIN HAB, beli gorengan ” katanya dengan semangat khasnya.
Sore yang mulai menjelang membuat pikiranku membayangkan nikmatnya menyantap gorengan hangat ditemani secangkir kopi hitam. Tanpa banyak berpikir, aku mengangguk. Ajakan ke tempat istimewa seperti itu, jelas tak perlu ditimbang-timbang.
Hanya butuh waktu sekejap untuk sampai ke warung yang dimaksud. Lokasinya, di luar pagar kampus, tepat di samping Poliklinik UIN HAB.
Saat tiba, aroma gorengan yang baru saja diangkat dari wajannya menyambut, membuat air liurku nyaris tak terkendali. Mataku langsung tertuju pada deretan tahu isi yang tampak menggoda.
Tanpa basa-basi, Ku ambil sepotong—sesuai tradisi aktivis, makan dulu bayar belakangan. Kalau ternyata dompet kosong, selalu ada jalan keluar, entah lewat patungan teman atau negosiasi manis dengan pemilik warung.
Aku duduk di bangku kayu bersebelahan dengan Fandi, mengunyah tahu isi sambil mengamati gedung Poliklinik UIN HAB yang berdiri kokoh di depan kita.
“Fan, keren juga ya kampus ini punya Poliklinik sendiri. Jarang lho kampus yang semewah dan selengkap ini,” kataku, mencoba memulai obrolan sambil mengunyah pelan.
Anehnya, tak kudengar respons apa pun. Ketika kutengok wajahnya, ada yang berbeda. Dahi Fandi berkerut, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit kuterjemahkan—mungkin duka, mungkin juga cemas.
“Sebentar lagi ikut aku, ya,” katanya dengan suara pelan tapi tegas. “Kita ke Poliklinik. Ngadep dr. Djono”.
Suasana tentu berubah menjadi tegang. Sikapnnya jadi sangat dingin, membuat sungkan untuk membuka obrolan kembali. Ia terlihat tergesa-gesa menghabiskan rokoknya. Begitupun aku.
“Kaso, ayok ke Poliklinik”, tutur Fandi sambil bangkit dari kursinya. Kita pun berjalan menuju dan memasuki kantor hijau abu-abu itu.
“Assalamualaikum, ingin bertemu dengan dr. Djono,” sapa Fandi dengan suara tegas namun sopan. Perempuan muda di meja resepsionis, yang wajahnya tampak cerah dan ramah, langsung menanggapi.
“Oh, mohon ditunggu mas!” jawab perempuan itu dengan senyuman, sebelum bangkit dari kursinya dan melangkah masuk ke dalam ruangan.
Tak lama berselang, seorang pria paruh baya keluar menyambut kami. “Mas Fandi, bagaimana kabarnya?” sapanya hangat.
“Baik, Pak. Saya ingin bicara soal seorang doktor yang mengancam dokter dengan membawa parang ke sini kemarin,” balas Fandi, sepertinya langsung fokus ke pokok persoalan.
Aku tercengang mendengar ucapan itu. Pikiran yang semula tenang kini dipenuhi rasa penasaran bercampur was-was. Siapa gerangan doktor yang dimaksud, dan bagaimana mungkin seseorang dengan gelar setinggi itu melakukan hal mengerikan seperti itu?
dr. Djono, yang tampak berwibawa, mempersilakan kami duduk di ruangannya. Ia menyajikan air mineral kemasan, lalu mulai bercerita. “Iya, Mas. Kejadian kemarin benar-benar menakutkan. Targetnya bukan saya, tapi dr. Ilu, dokter perempuan yang seharusnya dilindungi.”
“Ya Allah… Apa dia tidak malu? Dia bukan hanya lulusan S3, tapi juga ketua lembaga penelitian dan pengembangan di kampus. Orang seperti itu seharusnya melindungi, bukan malah mengancam,” ujar Fandi, nadanya penuh emosi. Wajahnya mulai memerah, menandakan kemarahannya yang kian memuncak.
“Tentu saja, dr. Ilu sangat trauma. Bahkan ada rencana untuk meminta perlindungan ke kepolisian. Bayangkan, Mas, pak doktor itu datang membawa parang ke sini sambil marah-marah dengan suara lantang!” cerita dr. Djono dengan nada prihatin.
Aku hanya bisa terdiam. Pandanganku terhadap UIN HAB, yang tadi kubanggakan karena fasilitas kesehatannya, kini berubah drastis dan sirna. Kampus ini terasa seperti sarang kartel preman, di mana kekuasaan digunakan untuk menindas, dan senjata tajam menjadi alat intimidasi.
“Dia memang berbahaya, Dok. Bahkan percuma saja melapor polisi, karena kampus ini cenderung melindunginya,” ujar Fandi dengan nada getir.
“Wah, siapa sebenarnya dia, Fan? Kok bisa seistimewa itu?” tanyaku, tak mampu lagi menahan rasa ingin tahu.
“Abi Al Dzin,” jawab Fandi singkat, namun dengan nada yang berat, seolah nama itu mengandung beban yang tak terucapkan.
Mendengar nama Abi Al Dzin, hatiku seketika diliputi rasa khawatir. Nama itu bukan sekadar julukan—melainkan simbol dari kekuatan kelam yang mencengkeram UIN HAB sejak era Orde Baru. Bapakku, Soeharto Zein, Rektor UIN HAB, bahkan tak mampu menghadapi sosok berserta kelompok mafia kampus warisan orba ini (Abi Al Dzin, juga telah dikisahkan pada Ceracau Mahasiswa UIN HAB ke-I).
UIN HAB dalam bayanganku tak lagi seperti lembaga pendidikan tinggi pada umumnya. Lebih mirip negara Kolombia tahun 1980an, saat berada di bawah kuasa mafia kejam bernama Pablo Escobar. Seluruh masyarakat takut menentang kuasanya. Berani berbeda, nyawa taruhannya.
“Abi Al Dzin itu doktor yang hanya di atas kertas,” tutur Fandi, wajahnya kini tegang.
“Dia bukan akademisi sejati, tapi penguasa kartel bisnis kampus terbesar di kota ini. Dosen-dosen yang bersamanya lebih mirip algojo daripada pendidik, terutama bagi perempuan. Dia preman bersenjata parang, Direktur Utama Kartel LP4M,”Suaranya bergetar, mencerminkan kemarahan bercampur keputusasaan.
Kata-katanya membuat nafasku sesak. Jaringan jahat yang begitu terorganisir, dengan kekerasan sebagai senjata utama, seolah membuat segalanya tampak tak terjangkau oleh keadilan. Jabatan Abi Al Dzin di kampus sebagai ketua lembaga penelitian hanyalah kedok bagi kejahatannya. Ia menggunakan titel doktornya untuk menutupi sepak terjangnya sebagai Direktur utama LP4M (Lembaga Perhimpunan Penjahat Perempuan Perempatan Mangli). Covernya akademisi, sedangkan perangainya tetap preman berparang yang menakutkan.
“Selama 25 tahun jadi dokter, baru kali ini ada pasien datang bawa parang, Mas,” ujar dr. Djono, memecah lamunanku.
Fandi menyela, “Masalahnya apa, Dok?”
“Anaknya sakit tenggorokan, katanya kritis, dan harus segera diobati. Tapi dia tak paham prosedur surat rujukan asuransi. Poliklinik sudah tidak berwenang mengeluarkan surat itu. Anehnya, dia datang marah-marah, bawa parang, mencari dr. Ilu. Kami akhirnya buatkan surat itu, walaupun melanggar aturan, hanya demi menyelamatkan dr. Ilu,” jelasnya sambil menarik napas panjang. Jelas terlihat, ia masih menyimpan trauma dari kejadian itu.
Perilaku Abi Al Dzin ini, sudah kelewat batas. Bukan sekadar pelanggaran administratif; ini adalah pemerasan dengan ancaman senjata tajam. Jelas-jelas, ia telah melanggar Pasal 482 ayat (1) UU 1/2023 tentang pemerasan, bahkan bisa dikenakan pidana Pasal 336 KUHP tentang ancaman pembunuhan. Belum lagi status korban, dr. Ilu, yang dilindungi UU No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
“Mestinya, ia sudah dilaporkan dan membusuk di penjara,” gumamku dalam hati.
“Kasihan dr. Ilu. UIN harus bertanggung jawab melindungi perempuan,” kata Fandi dengan nada tegas.
“Kami sudah lapor ke wakil rektor 2, Mas. Tapi belum ada tanggapan,” balas dr. Djono dengan suaranya lelah.
Fandi menggeleng, wajahnya penuh kekecewaan. “Maklum,” pikirku. Semua kejahatan ini akan terus ditutupi demi menjaga satu hal: “nama baik UIN HAB”.
Namun Fandi, seperti yang kukenal, tak pernah menyerah begitu saja.
“Ini demi melindungi semua perempuan di kampus ini,” ujarnya sambil berdiri tegap.
“Mari kita bantu dr. Ilu mencari keadilan. Laporkan ke kepolisian. Saya yakin, aktivis dan jurnalis akan bergerak mendampingi perempuan tertindas”
Ia menjabat tangan dr. Djono dengan mantap.“Lindungi dr. Ilu dok! Kita akan memimpin barisan melawan Dirut utama LP4M yang kejam ini!”
“Siap, Mas,” jawab dr. Djono dengan penuh keyakinan.
Setelah berpamitan dan memberi salam, kita keluar dari Poliklinik.
Fandi buru-buru menuju sepedanya, langkahnya dipenuhi tekad yang membara. Ia bahkan tak menyadari keberadaanku.
Tapi aku tahu, rasa peduli dan semangatnya untuk melawan ketidakadilan tengah berkobar, mengendalikan dirinya. “Memang, tak ada aktivis yang tak sakit hati melihat kampus, tempatnya menimba ilmu, dikuasai kartel penjahat perempuan yang mengerikan”.
Penulis: Gita Pamuji (Jurnalis, Aktivis dan Cerpenis, Alumni UIN KHAS Jember)