Penulis: Gita Pamuji
Agitasi.id- “Kaso, cepat merapat! Kita di rektorat”, bunyi voice note dari Fandi di Whatsappku. Tampaknya genting. Padahal semalam, kita telah berjanji akan menemui rektor UIN HAB pada jam 13.00. Bukan di jam ini. Entah apa masalahnya? Yang pasti, aku merasa ia sedang dalam kekhawatiran.
Ku angkat kepalaku yang masih pening, sebab semalam tidur tak pulas. Diganggu bayangan kampus, pimpinan Ayahku sendiri, yang sedang mengkhawatirkan.
Fandi merupakan sosok aktivis, yang hingga saat ini, masih berjuang menstabilkannya. Ia teman dengan kesadaran dan isi otak yang hampir mirip denganku.
Dari sejumlah aktivis yang telah kesemsem pada proyek licik senior-seniornya, dialah yang tersisa dan masih peduli pada budaya mahasiswa saat ini. Dikenal sebagai elit aktivis, yang menguasai banyak ilmu kiri dan tak kenal rasa takut pada penguasa, apalagi aparat.
Rasa kagumku padanya menjadikan kami dekat seperti keluarga. Tak heran, voice note yang dikirimnya telah mendorongku bergegas ke tempat yang ditunjukkan. Tanpa membalas pesan, apalagi mandi, kupacu sepeda motorku, sebab jarum jam tak mau menunggu orang yang penuh kekhawatiran.
Setibanya di kampus, aku terkejut. Ada beberapa mahasiswa yang berkumpul di depan rektorat. Mereka seolah-oleh berupaya mengintip ke arah tangga di dalam gedung yang sepertinya baru direnovasi. Banyak mahasiswa yang mengendap-ngendap berupaya mengintip.
Fandi ternyata ada di tengah-tengah mereka. Ku dekati dia.
“Fan, ada apa?”, tanyaku
“Kas, sepertinya rektor tak bisa ditemui. Itu lihat, dia sedang bertengkar dengan pimpinan fakultas, Ayo ikut kas”, jawabnya.
Ia menarik tanganku dan masuk ke salah satu ruangan di dekat tangga dalam gedung itu. Ada seseorang setengah baya menyambut kita dengan ramah.
Tanpa permisi, Fandi duduk di mejanya dan aku tetap berdiri, sebab sungkan.
“Cak, ini teman ku dari jurnalis. Namanya Kaso, Karim Soeharto, Duduk kas! Ini Warek Satu UIN HAB”, hardiknya sambil menyuruhkan duduk.
Aku pun duduk dengan sangat terkejut, ternyata Fandi tahu nama lengkapku. Padahal, sebagai anak dari Istri gelap Rektor UIN HAB, malu jika ada orang tahu identitasku.
“Kenapa rektor dan Pak Marubed, Prof? malu dilihat mahasiswa”, nasehat Fandi pada lelaki berseragam putih itu, membuatku fokus pada topik pembicaraannya.
“Kemarin ada permasalahan. Pak rektor menginginkan kita satu misi. Kamu kan tahu, kita telah menyusun dasa cita rektor untuk mengembangkan mutu kampus ini. Susah ternyata, ada pimpinan fakultas yang sok berkuasa dan sok pintar. Pak Marubed mencak-mencak pasca masalah akreditasi itu”, jelasnya.
“Zen! Jangan bangga jadi rektor. Kalau tidak karena jasa saya, tak mungkin kau mimpin kampus ini”,
Ada suara gertakan yang tiba-tiba membuat pebincangan terhenti. Mendengarnya, kami terdiam. Sedangkan mataku terlempar pada sumber suara itu. Ku lihat seorang lelaki menuruni tangga sambil mengacungkan tangan ke belakang.
Ia berlalu sambil marah-marah. Tentu ku paham betul siapa yang dimarahinya, Soeharto Zein, Rektor UIN HAB, ayah kandungku sendiri. Darah mendidih membayangkan Ayah dimaki-maki pria pemarah dan sok ganas itu.
“apa itu pimpinan fakultas yang dimaksud Fan?”, kataku penasaran pada Fandi.
“Iya Kas. Itu pak Marubed. Dia gurita licik yang sebenarnya tak pantas memimpin fakultas. Kenapa tidak dipecat prof”, jelas Fandi sambil menoleh pada pria yang tadi diperkenalkannya sebagai wakil rektor I UIN HAB.
“Ia Fan. Sebenarnya, ia tak layak memimpin fakultas Komunikasi Bisnis dan Ekonomi. Walaupun ngaku mantan aktivis, namun temperamen. Maklum sisa orde baru. Kadang sampek ngajak gelut. Bahkan kemarin, ada jurnalis mahasiswa yang diancam akan dipotong lehernya. Pantas, dia akreditasinya lemah”, ucap lelaki yang biasa dipanggil “prof” oleh Fandi.
“Pecat saja prof! mau sampai kapan rektor dikerangkeng gurita-gurita fakultas kampus ini. Pak Marubed jadi penyakit jika dibiarkan. Kalau prof takut, mahasiswa UIN HAB pada akhirnya akan bergerak juga. Meskipun ia dianggap ahli berbisnis hukum dan pendidikan, kami tak takut. Kasian rektor kita itu”, nasehat Fandi penuh profokatif.
“Tidak muda fan. Pak Marubed itu merasa berjasa pada rektor. Dipecatpun, ia pasti jadi penyakit”, sanggahnya.
Fandi tiba-tiba berdiri dan bersalaman untuk pamit. Tentunya, tindakan memotong penjelasan Warek I itu, kurang sopan dan membuatku kaget, tak nyaman.
“sudah dulu ya pak. Biar mahasiswa yang nanti menyikapi jenis gurita yang satu ini”, ancamnya dengan agak sungkan.
Aku pun minta ijin keluar sambil berjalan menyusul di belakangnya. Wajah Fandi tampak memerah saat ia menoleh padaku di parkiran. Sangat jelas terbaca, ia sangat kecewa dan muak. Tentu aku juga demikian. Selain karena rektor UIN HAB adalah ayahku yang tak kuasa menghadapi pak Marubed, aku memiliki kekhawatiran yang sama dengan Fandi.
“sudah lihat kas? demikianlah kondisi kampus. Mustahil, akademisi UIN HAB menangani masalah-masalah negara. Berbaris di internal sendiri untuk melakukan hal baik yang sederhana saja, tak bisa. Otaknya habis untuk saling rebut jabatan dan adu taktik menguras harta negara yang ada di kampus ini. Tak mungkin mereka punya daya untuk mengabdi ke masyarakat luas”, ungkap Fandi sambil menghidupkan motor beat hitamnya.
Ku anggukkan kepala tanda sependapat, “Kampus yang dikembangkan dengan jahat, akan selalu mengahasilkan akademisi yang licik. Tak punya walas asih, mahasiswanya banyak jadi penipu”.
- Notes: Kata bewarna Merah merupakan tokoh dan latar cerpen yang diadakan dalam imajinasi penulis. Jika ada kemiripan, “itu hanya tafsir pembaca”