CERACAU MAHASISWA UIN HAB VII: Penjahat Kampus Terus Menjabat, Mati Lebih Kupilih

CERACAU MAHASISWA UIN HAB VII: Penjahat Kampus Terus Menjabat, Mati Lebih Kupilih
Gambar CERACAU MAHASISWA UIN HAB VII: Penjahat Kampus Terus Menjabat, Mati Lebih Kupilih (Grafis Agitasi.id)

Oleh: Gita Pamuji

Agitasi.id-Senin pagi yang cerah mendadak berubah kelam. Sekitar pukul sembilan, desas-desus menyebar bahwa seorang mahasiswi ditemukan tak bernyawa di lereng kebun bambu, pinggir sungai Bedadung, belakang kampus UIN HAB.

Bacaan Lainnya

Warga berbondong-bondong menuju lokasi. “Kaso, sini! Ayo ikut ke TKP!” suara Fandi memanggilku dari tengah kerumunan.

Sebagai jurnalis, naluriku langsung terpacu. Kasus ini—seksi. Korban seorang perempuan, dan kejadiannya di kampus berbasis agama yang mengedapankan pendidikan karakter dan keimanan. Bukankah iman seharusnya menjadi benteng terakhir bagi jiwa yang terluka? Lalu, sebesar apa deritanya hingga keimanan pun tak mampu menenangkan? Kami menyeberangi sungai.

Dari kejauhan, petugas berseragam oranye dari BPBD menyibak rumpun bambu. Mereka tampak sigap, tetapi ada ketidakpastian di wajah mereka.

Tak butuh waktu lama, kami tiba di lokasi. Sosok perempuan tergeletak tanpa nyawa. Jilbab merah membingkai wajahnya yang pucat, sementara pakaian serba putihnya kontras dengan tanah lembap di sekitarnya.

Di dadanya tergeletak secarik kertas, kemungkinan pesan terakhirnya. Mulutnya berbusa—bukan kecelakaan, ini bunuh diri. Pak Zainal dari BPBD menggeleng-gelengkan kepala.

Seharusnya ini bukan urusan kami. Ini bukan bencana, ini tragedi manusia,” gumamnya.

Sementara itu, Fandi mendekati polisi yang baru tiba. “Pak Budi, apa latar belakangnya?” tanyanya kepada Kapolsek Kali Jompo.

Masih diselidiki. Surat yang ditemukan di dadanya akan difotokopi dan disebarluaskan,” jawabnya.

Fandi mengangguk, lalu menarik tanganku. Kami beranjak pergi, tapi sebelum itu, aku mengambil beberapa foto korban.

Kami menanjaki tebing, mengikuti jejak terakhir yang mungkin dilalui oleh mahasiswi malang itu.

Di atas tebing, wajah Fandi berubah. Matanya merah, seakan menahan sesuatu yang berat. “Fan, kamu kenal dia?” tanyaku.

Alih-alih menjawab, ia merogoh ponselnya dan menunjukkannya padaku, lalu memelukku erat. Aku merasakan tubuhnya gemetar.

Layar ponselnya menampilkan percakapan terakhir dengan korban. Perempuan itu bernama Romsiatin—seorang aktivis perempuan yang selama ini menuntut keadilan. Korban pelecehan dosennya sendiri.

Aku mengalihkan pandangan ke pesan terakhirnya:

Assalamualaikum, Mas. Aku memutuskan untuk mengakhiri semua penderitaanku. Terima kasih telah menemaniku dan memperjuangkan hak-hakku, meski hingga saat ini, dosen jahat itu belum menerima balasan setimpal.
Mas, aku memilih mati bukan karena menyerah pada usahamu, tapi karena bagiku, kematian lebih indah daripada hidup di bawah ancaman. Aku masih ingat kata-kata Bung Tomo yang sering kau ucapkan saat aksi di depan kampus: “Merdeka atau mati.”
Dosen itu semakin berkuasa. Rektor lebih menyayangi pelaku kejahatan daripada mahasiswanya. Malah mereka yang tak bersalah justru tersingkir.
Bagiku, kampus ini sudah tak bisa diselamatkan. Hak perempuan akan terus dirampas. Sudah saatnya aku memilih kemerdekaan. Orang tuaku memaksa agar aku lulus, tapi mereka yang berhak meluluskanku adalah orang-orang yang telah menghancurkanku.
Aku sudah kehilangan segalanya. Katamu, “Merdeka atau mati.” Aku memilih yang kedua. Di bawah bayang-bayang penjahat yang terus menjabat, mati lebih ku pilih mas.

Sampaikan maaf pada teman-teman. Salam ta’dhim untuk Ummi dan Abi. Semoga Allah menjaga mas.

Aku menutup ponsel Fandi perlahan. Lidahku kelu.

Kami berdiri dalam diam, di tebing yang memisahkan dunia antara hidup dan mati.

Di bawah sana, sungai mengalir seperti biasa, seolah tak peduli telah menjadi saksi bisu sebuah perlawanan yang tak lagi menemukan tempatnya di dunia.

Baca Juga :  CERACAU MAHASISWA UIN HAB IV: Air Mata Dan Diskriminasi Dosen “Moderasi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *