Widji Thukul: Aktivis HAM yang Melawan dengan Sastra

Grafis : Agitasi/Yesi

AGITASI.ID – Widji Thukul alias Widji Widodo adalah pria yang lahir pada 26 Agustus 1963 di Sorogenen, Solo, Jawa Tengah. Seorang penyair dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Sematan nama Thukul diberi oleh Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair W.S. Rendra.

Perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan rezim Orde Baru, merupakan sejarah yang ia lontarkan melalui puisi-puisinya dengan penuh kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Sebab kekejaman di zaman ini, tidak semua orang berani mengkritik. Kalau pun ada, nyawanya akan melayang.

Bacaan Lainnya

Suara lantang Widji Thukul saat membaca bait puisi, tanda praktik ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat semakin parah.

Sebuah inisiatif gerakan yang mengadvokasi tentang hak asasi manusia. Keabadian karyanya, menjadi potret dari perjuangan dalam keberlanjutan melawan otoritarianism.

Widji Thukul terkenal sebagai penyair yang mampu menggerakkan massa dengan keindahan tata bahasa puisinya.

Salah satu catatan sejarah, pada 11 Desember 1995. Ketika ia memimpin demonstrasi buruh di pabrik garmen PT. Sri Rejeki Isman (Sritex) di Desa Jetis, Sukoharjo, Solo, dalam tuntutan kenaikan upah.

Dalam aksi tersebut, Widji Thukul mengalami cedera parah dan berakhir ditangkap serta dianiaya oleh aparat kepolisian.

Selain gerakan perlawanannya yang dituangkan lewat dunia seni dan puisi. Ia aktif dalam berbagai gerakan sosial dan politik pada tahun 1990-an. Termasuk menjadi anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Tak hanya itu, dirinya juga menjabat sebagai Ketua Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER), yang fokus pada gerakan solidaritas dikalangan seniman dan buruh.

Baca Juga :  BELAJAR DARI MAMA ALETA BAUN: PEREMPUAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

Sayangnya, aktivitas Widji Thukul menarik perhatian negatif dari pemerintah yang melihatnya sebagai ancaman pada negara.

Pada tanggal 27 Juli 1998, Widji Thukul dilaporkan telah menghilang tanpa jejak dan informasi yang pasti. Ada dugaan kuat ia diculik oleh militer. Hal ini sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menekan suara-suara kritis menjelang reformasi pada tahun 1998.

Bahkan saat ini, nasib kematian dari Widji Thukul masih menjadi misteri dan penghilangan secara paksa. Oleh karena itu, dari kejadian tersebut menjadi tantangan besar bagi aktivis HAM di Indonesia.

Sehingga dari hilangnya Widji Thukul yang tidak pernah kembali dan ada kepastian hingga hari ini. Membaca karya-karya puisinya jadi salah satu cara merawat dedikasi perjuangan. Sekaligus bentuk penghormatan yang telah dilakukan semasa hidupnya.

Sosok Widji Thukul dapat kita jadikan ibrah, yang mana lahir dari seorang seniman dan berani untuk berbicara melawan ketidakadilan.

Melalui puisi dan jiwa aktivisnya, ia berhasil menggugah kesadaran masyarakat betapa pentingnya hak asasi manusia dan keadilan.

Semangat perjuangan Widji Thukul akan terus hidup dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia. Simbol perlawanan dengan sastra terhadap penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat.

Oleh karena itu, untuk tetap mengingat dan menolak lupa serta tidak lupa untuk terus menolak. Berikut salah satu karya puisi Widji Thukul dalam bukunya “Aku Ingin Jadi Peluru.”

Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu

Apa guna punya ilmu tinggi

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata

Berdiri gagah

Kongkalikong

Dengan kaum cukong

Di desa-desa

Rakyat dipaksa

Menjual tanah

Tapi, tapi, tapi, tapi

Dengan harga murah

Apa guna punya ilmu tinggi

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

(Widji Thukul, Juni 2000 : 62).

Baca Juga :  DISFUNGSI NEGARA DALAM KONFLIK REMPANG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *