AGITASI.ID – Konstitusionalisme merupakan sebuah paham yang lahir dari kebutuhan untuk membatasi kekuasaan dan menjadi pilar penting dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Esensinya terletak pada penegasan bahwa kekuasaan negara tidaklah absolut, melainkan terikat oleh hukum yang lebih tinggi, yaitu konstitusi.
Sebagai hukum dasar negara, konstitusi juga hasil kesepakatan yang mencerminkan kedaulatan rakyat dan melindungi hak-hak asasi manusia. Paham ini sudah seharusnya mendarah daging di Indonesia. Terbukti dalam Pancasila yang menjadi pedoman bangsa. Namun implementasinya masih main-main, hingga melahirkan banyak pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di mana-mana.
Tragedi Semanggi I (1998) menjadi contoh pelanggaran HAM yang menodai konstitusionalisme. Begitu tragisnya tragedi ini hingga melukai dan menewaskan rakyat yang memperjuangkan haknya.
Namun dibalik tragedi ini telah membangunkan semangat juang wanita asal salatiga, Maria Catarina Sumarsih. Sosok pejuang dengan kegigihan, keteguhan, dan komitmen terhadap konstitusionalisme di Indonesia.
Kisahnya bermula dari tragedi kehilangan putra tercintanya bernama Bernadus Realino Norma Irmawan alias Wawan. Seorang mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas saat tragedi Semanggi I. Hal demikianlah, kemudian menjadi perjuangan Sumarsih untuk menegakkan supremasi hukum dan keadilan.
Kehilangan Wawan menjadi titik balik dalam hidupnya. Alih-alih terpuruk dalam kesedihan, Sumarsih memilih untuk bangkit dan menuntut pertanggungjawaban negara atas tragedi yang merenggut nyawa anaknya. Bahkan menolak impunitas yang membiarkan pelaku pelanggaran HAM lolos dari jerat hukum.
Perjuangannya bukan hanya untuk Wawan, tetapi juga untuk semua korban pelanggaran HAM di Indonesia.
Langkah kakinya tegap, tak goyah oleh segala intimidasi. Sumarsih menjadi simbol suara perlawanan bagi mereka yang tak bersuara. Sumarsih bergabung dengan para aktivis lainnya, bahu membahu memperjuangkan kebenaran, dan yang jelas mengungkap pelanggaran HAM.
Sidang demi sidang, demonstrasi demi demonstrasi, Sumarsih hadapi dengan keberanian yang luar biasa. Tak takut menghadapi kekuasaan, tak gentar menghadapi ancaman.
Komitmen dalam Perjuangan Konstitusionalisme
Aksi Kamisan pada tahun 2007, yang Sumarsih pimpin dengan konsistensi selama bertahun-tahun, menjadi wujud nyata terhadap konstitusionalisme. Setiap Kamis, Sumarsih dan para aktivis lainnya berdiri di depan Istana Negara, membawa foto-foto korban dan menuntut keadilan.
Aksi ini bukan sekadar demonstrasi, melainkan pernyataan tegas bahwa konstitusi, dengan jaminan hak asasi manusia yang tertuang di dalamnya, harus dihormati dan ditegakkan.
Perjuangan Sumarsih mengungkap kelemahan sistem konstitusionalisme Indonesia. Meskipun konstitusi menjamin hak asasi manusia, realitas di lapangan seringkali berbeda.
Keterbatasan akses keadilan, kelemahan penegakan hukum, dan adanya ketidakadilan struktur kekuasaan menjadi hambatan besar dalam mewujudkan cita-cita konstitusional. Perjuangannya menjadi cermin betapa jauh jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan negara hukum, yang benar-benar berbasis pada keadilan dan HAM.
Lebih dari itu, perjuangan Sumarsih merupakan sebuah kritikan terhadap gagalnya agenda reformasi dalam menangani masalah HAM. Harapan perubahan yang lebih baik, pasca jatuhnya Orde Baru tampaknya belum terwujud sepenuhnya.
Banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan dan pelaku seringkali lolos dari pertanggungjawaban. Aksi Kamisan menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan dan penegakan konstitusi masih jauh dari selesai.
Atas kegigihan Sumarsih dalam memperjuangkan keadilan telah mendapatkan pengakuan internasional. Dirinya dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien Award pada tahun 2004. Sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan kepada individu atau kelompok yang berjuang untuk penegakan HAM.
Penghargaan ini bukti atas dedikasi dan keberaniannya dalam menghadapi laku intimidasi polisi. Namun, Sumarsih menolak untuk menerima penghargaan tersebut untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengenang Wawan dan semua korban pelanggaran HAM.
Maria Catarina Sumarsih kepada Konstitusionalisme Indonesia
Konstitusionalisme merupakan kunci untuk membangun negara yang demokratis, berdasarkan hukum, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Penerapan konstitusionalisme membutuhkan komitmen dan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat, agar cita-cita negara yang adil dan makmur dapat terwujud.
Perjuangan Sumarsih dengan keluarga korban lainnya, suatu contoh jika warga negara dapat berperan aktif dalam menjaga konstitusi dan memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Yang mana meminta keadilan dan berjuang dengan gigih untuk mendapatkan pertanggungjawaban atas tindakan kekerasan yang terjadi pada tahun 1998.
Kisah inspiratif Sumarsih mengajarkan, bahwa konstitusionalisme tidak hanya tentang aturan tertulis, tetapi juga tentang perjuangan menegakkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.