AGITASI.ID – “Ketika saya berani shalat, konsekuensinya saya harus berani memihak yang miskin dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak berpihak kepada yang tertindas.” (Munir Said Thalib ; 8 Desember 1965 – 7 September 2004).
Begitulah perkataan yang diucapkan oleh aktivis HAM bernama Munir Said Thalib. Seorang anak dari pasangan Said Thalib dan Jamilah. Pria yang akrab dipanggil Cak Munir itu lahir di kota Batu, Malang.
Semangat membela Hak Asasi Manusia (HAM) sudah muncul sejak dirinya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan saking benci pada penindasan dan intimidasi, Munir sering berkelahi dengan orang-orang yang mengganggu di sekolah.
Dalam melanjutkan jenjang pendidikannya, Munir mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB). Tak hanya kuliah saja di UB, Munir juga ikut bergabung dengan organisasi ektra kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Komitmen menjalankan amanat Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang ada di HMI, telah mengilhami Munir untuk membela kaum yang tertindas. Sehingga pemahaman terkait Islam bukan hanya dipahami sebagai ritus peribadatan.
Namun lebih dari itu, bahwa Islam harus bisa tampil layaknya agama yang membela kaum tertindas dan mereka yang dijadikan korban penyelewengan kekuasaan.
Kanan Merah, Kiri Hijau
Ketika berbicara tentang Munir, tentu tak asing dengan sebutan ‘Kanan Merah, Kiri Hijau’. Semacam jargon yang disematkan pada Munir ketika berpihak pada kaum tertindas. Karena dalam memperjuangkan HAM sepatutnya tidak terjebak pada dikotomi sebuah ideologi.
Menurut Munir, keberpihakan itu tidak terikat ideologi. Di mana konotasi golongan ‘Kiri’ sering dimaknai dengan ‘Merah’ yang berarti memberotak, anti kemapanan, suka mengkritik. Begitu pun golongan ‘Kanan’ yang lumrah dimaknai dengan ‘Hijau’ yang berarti pro status quo, konservatif, agamis-ortodoks, sakral.
Sehingga Munir justru mematahkan mitos-mitos perkataan tersebut. Sebab bukan persoalan baik golongan ‘Kiri maupun Kanan’, tapi yang lebih penting ialah mereka yang ditindas, itulah yang harus dibela.
Perjuangan HAM
Sewaktu selesai studi sarjana pada tahun 1989, Munir meniti karirnya sebagai pekerja bantuan hukum. Pekerjaan tersebut ia lalukan tak lain untuk memperjuangkan HAM. Ia berkiprah dengan berpindah-pindah tempat, mulai dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, LBH Surabaya, LBH Semarang, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Di tahun 1998, Munir mendirikan sebuah lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Berlanjut menjadi direktur di lembaga pemantau HAM bernama imparsial.
Di saat melakukan aktivitas bantuan hukum. Ada beberapa kasus yang ditangani oleh Munir, salah satunya kasus pembunuhan Marsinah. Seorang buruh perempuan PT. Catur Putra Surya yang berada di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Marsinah yang tergabung dalam unjuk rasa di Tanggulangin, Sidoarjo tentang kenaikan upah buruh dari 1.700; menjadi 2.250; per hari. Namun nasibnya, berakhir dengan cara diculik, dan menurut hasil autopsi telah diperkosa sebelum dibunuh.
Pembunuhan Munir
Memang setiap pilihan yang ditempuh oleh seseorang, pasti tidak lepas dengan konsekuensinya. Begitu pun terkait memilih untuk perjuangan HAM.
Totalitas Munir tentang HAM tidak pernah surut. Bahkan dirinya diracun menggunakan arsenik di udara pada 7 September 2004. Hal demikian, berawal dari ketika Munir akan melanjutkan studi magister hukum di Universitas Utrecht, Amsterdam, Belanda.
Adapun di waktu itu, maskapai penerbangan yang ditumpangi Munir yaitu Garuda Indonesia GA-974. Pesawat lepas landas pada Senin, 6 September 2004, pukul 21.55 WIB. Tepatnya pesawat tersebut sedang dikendarai oleh pilot bernama Pollycarpus.
Di saat transit di Singapura, Munir sempat minum jus jeruk yang tidak tau kalau di dalam minuman terdapat senyawa arsenik.
Tak butuh lama untuk merenggut nyawa Munir, pesawat kemudian lanjut terbang menuju Belanda. Dalam perjalanan inilah, Munir terlihat mondar-mandir ke toilet, rasa sakit perutnya seperti ditusuk-tusuk besi.
Meski sempat mendapat pertolongan dari salah satu penumpang yang berprofesi sebagai dokter. Dengan cara memindahkan Munir ke tempat duduk lain. Namun kejamnya senyawa arsenik, telah menghentikan nafas Munir untuk berlanjut hidup.
Sebagaimana laporan KontraS, bahwa adanya pembunuhan Munir ini dilakukan secara sistematis yang melibatkan beberapa pihak Garuda Indonesia. Di waktu itu maskapai penerbangan Garuda Indonesia bukan jam kerja pilot Pollycarpus. Yang mana, sebenarnya dia sedang libur.
Tapi karena penugasan langsung dari mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, maka Pollycarpus masuk kerja. Kedua orang itu telah diduga dalang dari dibunuhnya Munir. Bahkan Pollycarpus disebut merupakan orang yang memasukkan senyawa arsenik tersebut.
Liciknya Pemerintah dalam Pengusutan Pembunuhan
Upaya menggali lebih dalam siapa dalang dibalik pembunuhan Munir lumayan membutuhkan waktu yang lama. Sebab liciknya pemerintah dalam pengusutan kasus tidak begitu serius dan tidak mau menginformasikan secara terbuka kepada masyarakat.
Memang di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY), sudah ada upaya berupa Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir.
Tetapi lagi-lagi, patut disayangkan meskipun sudah dibentuk tim dengan kurang lebih 6 bulan kerja menggali bukti data dan fakta. Ternyata hasil dari pencarian tersebut tidak diumumkan. Inilah alasan kenapa hingga sekarang, masih menjadi pertanda serius dalam mengungkap pembunuhan Munir.
Oleh karena itu, perjuangan HAM begitu penting. Jika menurut Mahbub Djunaidi (2018 : 271), dalam bukunya ‘Humor Jurnalistik’ tertulis; ‘Mulai sekarang harus kau tanamkan ke kepalamu, bahwa hak asasi itu sama pentingnya dengan sepiring nasi.’
Maka dari perjuangan Munir, kita bisa belajar apa arti dari keberpihakan dan harus berpihak ke mana dalam perjuangan HAM. Dengan demikian, semoga ruh perjuangan HAM yang dimiliki Munir terus terwariskan dan berlipat ganda.