Waspadai 3 Hal, Penyebab Perempuan Korban Kekerasan Kampus Tidak Melapor

Waspadai 3 Hal, Penyebab Perempuan Korban Kekerasan Kampus Tidak Melapor
Gambar Waspadai 3 Hal, Penyebab Perempuan Korban Kekerasan Kampus Tidak Melapor (Sumber: Grafis/Agitasi.id)

Agitasi.id– Di balik gemilang reputasi perguruan tinggi, terselip cerita kelam tentang kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi.

Sayangnya, banyak dari mereka memilih diam. Mengapa? Akademisi Universitas Indonesia, Rifki Elindawati, dalam penelitiannya tahun 2021, mengidentifikasi tiga penyebab utama yang menghalangi korban untuk melapor.

Bacaan Lainnya

Relasi Kuasa yang Timpang: Ketakutan dalam Hierarki

Di kampus, hubungan hierarkis antara mahasiswa, dosen, dan staf menciptakan celah bagi penyalahgunaan kekuasaan. Pelaku kekerasan seksual sering kali berada dalam posisi otoritatif—dosen pembimbing, dosen senior, atau pimpinan organisasi mahasiswa—yang memiliki kendali atas nilai akademik, bimbingan penelitian, atau akses peluang karier.

Bagi korban, kekuasaan yang dimiliki pelaku menjadi ancaman yang nyata. Ketakutan akan balas dendam atau sanksi akademik membuat mereka ragu untuk melapor. Sistem kampus yang sering kali tidak transparan dalam menangani kasus kekerasan seksual memperparah situasi ini. Korban merasa terjebak dalam situasi di mana suara mereka dianggap tidak cukup kuat untuk melawan otoritas pelaku.

Relasi kuasa yang timpang ini menunjukkan bahwa kampus, meski dikenal sebagai ruang intelektual, masih gagal menciptakan ruang yang benar-benar setara dan aman bagi semua warganya.

Patriarki: Sistem yang Membungkam Perempuan

Kekerasan seksual di kampus tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya patriarki yang masih mengakar. Di ruang akademik, perempuan sering kali diposisikan sebagai pihak yang lemah dan bergantung. Stereotip ini memberikan celah bagi pelecehan untuk terjadi, tanpa adanya pengawasan ketat terhadap pelaku.

Patriarki juga beroperasi dalam pengelolaan kasus. Alih-alih mendukung korban, banyak perguruan tinggi justru fokus melindungi citra institusi. Pendekatan ini sering kali dilakukan dengan menekan korban untuk tidak melapor atau menyelesaikan kasus secara internal tanpa pengungkapan yang memadai. Akibatnya, perempuan kembali menjadi korban dalam sistem yang tidak berpihak kepada mereka.

Baca Juga :  AJAKAN NGOPI DAN RUPA-RUPA MOTIFNYA

Budaya patriarki ini bukan sekadar tantangan individual, tetapi masalah struktural. Dibutuhkan keberanian dari institusi untuk mengakui kelemahan sistem mereka dan mengambil langkah konkret untuk membongkar praktik yang tidak adil ini.

Victim-Blaming: Luka yang Membuat Korban Bungkam

Salah satu penghalang terbesar bagi korban kekerasan seksual untuk melapor adalah budaya victim-blaming. Ketika seorang perempuan melaporkan pelecehan atau kekerasan seksual, pertanyaan yang sering muncul adalah: “Apa yang kamu pakai?” atau “Kenapa pergi sendirian?”

Victim-blaming menyalahkan korban atas sesuatu yang jelas-jelas dilakukan oleh pelaku. Beban moral ini membuat banyak perempuan merasa bersalah, malu, bahkan takut dihakimi oleh lingkungannya. Mereka memilih bungkam karena melapor hanya akan menambah luka, bukan menyembuhkannya.

Budaya victim-blaming ini menciptakan efek domino yang buruk. Ketika satu korban dipermalukan atau diabaikan, korban lainnya menjadi semakin enggan untuk bersuara. Dalam lingkaran setan ini, pelaku kekerasan seksual justru semakin merasa kebal dari konsekuensi hukum atau sosial.

Ketiga faktor ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual di kampus bukan hanya persoalan individu, tetapi persoalan sistemik yang melibatkan budaya, struktur, dan kebijakan. Untuk melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual, perguruan tinggi harus menciptakan sistem pelaporan yang aman dan mendukung.

Melibatkan lembaga independen dalam menangani kasus kekerasan seksual, memberikan pelatihan gender untuk dosen dan mahasiswa, serta menghapus praktik victim-blaming dari kebijakan kampus adalah langkah awal yang mendesak.

Perjuangan untuk keadilan harus dimulai dari lingkungan yang memanusiakan korban, mendukung suara mereka, dan memberikan perlindungan tanpa syarat. Karena setiap perempuan, di mana pun, termasuk di kampus, berhak untuk merasa aman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *