Kampus Mengelola Tambang: Ngawur! Mirip Toko Kelontong

Grafis: Agitasi/Yesi S

AGITASI.ID – Pasca dihalalkannya Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Keagamaan membuka izin tambang, kali ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin memberikan izin kepada perguruan tinggi. Alasannya cukup ngawur, agar semua pihak memperoleh hak yang sama untuk mengelola tambang.

Mula-mula usulan ini pernah diajukan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) pada rezim Jokowi di tahun 2016. Yang mana kini, sudah tertuang dalam draf revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) dan disetujui menjadi rancangan usulan inisiatif DPR.

Bacaan Lainnya

Sesuai yang ada di redaksi revisi pada Pasal 51A Ayat (1): WIUP Mineral logam atau Batubara dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.

Revisi undang-undang tersebut menjadi topik hangat di kalangan akademisi. Beberapa pihak, lembaga, dan tak kalah menariknya forum rektor Indonesia telah menyetujui. Jika perguruan tinggi diberi izin mengelola tambang, maka Uang Kuliah Tunggal (UKT) bisa diturunkan.

Kampus atau Toko Kelontong?

Kampus sudah bertahun-tahun mengelola buku, jurnal dan paper. Namun, kali ini ingin bergulat di bidang industri yang lebih menantang dan menguntungkan, seperti emas, batubara dan minyak. Salah satu alasan utamanya adalah sebagai pendanaan pendidikan, alias meningkatkan pendapatan.

Dengan mengelola tambang, kampus mampu mendapatkan sumber dana guna membiayai operasional dan fasilitas kampus. Selain itu, adanya izin mengelola tambang, kampus dapat mandiri dalam finansial, mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah. Lagi-lagi, penulis perlu katakan kembali, ngawur!.

Baca Juga :  UIN KHAS Jember Akreditasi Unggul, Jangan Bangga!

Sekelas kampus , tempat di mana orang-orang cerdas (akademisi bukan dukun) berkumpul di perguruan tinggi. Namun, cara berpikirnya seperti pedagang kelontong yang hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek dan kurangnya visi jangka panjang. Hal ini berpotensi mengabaikan tujuan perguruan tinggi itu sendiri, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian.

Jika melihat alasan kampus ingin mengelola tambang dengan tujuan dana dan sumber pendapatan, sepertinya mereka lupa untuk mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan dan akademik. Dengan demikian, kampus kehilangan arah dalam misi pendidikan.

Keterlibatan dalam bisnis tambang juga dapat merusak reputasi kampus dan konflik kepentingan. Sama halnya dengan pedagang curang, yang mengorbankan kualitas barang demi keuntungan.

Perguruan tinggi bisa saja mengorbankan kualitas pendidikan, nilai-nilai akademik dan integritas kampus demi mendapatkan dana yang lebih besar. Lantas, siapa kira-kira yang akan paling sejahtera duluan? Rektor, Dekan, atau Mahasiswa?.

Tantangan yang Dihadapi

Tidak perlu basa-basi lagi. Padahal dengan kampus mengelola tambang, akan ada beberapa tantangan yang dihadapi. Pertama, masalah etika. Sangat disayangkan, jika benar adanya kampus diberi izin mengelola tambang.

Sebab, sejauh ini masyarakat berharap besar terhadap perguruan tinggi, terutama masyarakat kelas bawah. Mereka merupakan orang-orang yang rentan menjadi korban eksploitasi, kriminalisasi, dan diskriminasi. Tanah dan lingkungan, banyak dirusak oleh cukong-cukong tambang.

Bagi masyarakat kelas bawah, kampus adalah hal mewah, tempat orang-orang terdidik dan peduli menyampaikan suara orang-orang cilik. Namun, sayang beribu sayang apabila kampus berkontribusi merampas ruang hidup di kemudian hari.

Tentunya, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mengetahui bahwa kampus ingin merusak ekosistem sambil klaim demi kemajuan pendidikan.

Kedua, regulasi yang menghantui. Ketika institusi pendidikan berencana ikut campur mengelola tambang, maka akan tidak bisa lepas dari regulasi pertambangan yang ketat.

Baca Juga :  Dosa Dosen Dan Aktivis Pada Kiai Langgar

Regulasi yang dimaksud sangat sulit dan panjang, seperti peraturan perizinan dan izin lingkungan, peraturan kesehatan dan keselamatan kerja, pengawasan dan audit, risiko hukum dan lain-lain.

Sulit dibayangkan, sesibuk apa perguruan tinggi jika benar-benar mengelola tambang. Pengelolaan Power Point Presentation (PPT), penelitian, jurnal, dan buku tidak lagi menjadi fokus pendidikan. Sebab tidak menghasilkan keuntungan dan bukan faktor pendapatan.

Ketiga, rusaknya reputasi akademik. Industri pertambangan acap kali dinilai negatif oleh beberapa kalangan. Mengapa demikian, karena aktivitas tambang yang berpotensi merusak lingkungan juga penyebab adanya ketidakadilan sosial. Hal tersebut mampu mencoreng reputasi akademik kampus.

Masyarakat mahasiswa dan pemangku kebijakan lainnya akan menilai, bahwa keterlibatan kampus dalam industri pertambangan merupakan langkah yang bertentangan dengan nilai akademik, integritas dan tanggung jawab sosial.

Kampus dapat dicap sebagai pahlawan hijau yang gagal. Sikap percaya diri mengklaim sebagai solusi ramah lingkungan, namun realitanya lingkungan rusak atas campur tangan mereka.

Semoga saja senantiasa diberi kekuatan dengan ribuan laporan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kalaupun perlu kampus se-Indonesia raya dapat menemukan teknologi ramah lingkungan. Meskipun tidak ada yang benar-benar ramah dalam industri pertambangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *