AGITASI.ID – Polemik pertambangan di Indonesia kembali mencuat di masyarakat. Teranyar DPR RI mendadak menggarap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) (tempo.co, 20/1/2025).
Usulan revisi ini dimaksudkan untuk memberi konsesi tambang, terkait Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) secara prioritas. Konsesi diberikan untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, Usaha Kecil Menengah (UKM), dan salah kaprahnya Perguruan Tinggi (PT) juga ikut masuk ke dalam pemberian tersebut.
Jika mengingat lagi, peraturan pemberian konsesi tambang pernah diteken oleh Presiden Jokowi. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Ormas keagamaan yang awal mulanya tidak menerima pemberian konsesi, justru dihalalkan memiliki usaha tambang yang sudah digaransi dengan payung hukum.
Pada Peraturan Pemerintah tersebut hanya memberikan konsesi tambang secara prioritas pada ormas keagamaan. Dilanjut dengan aturan mainnya yang terdapat pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024 tentang Teknis Izin Tambang untuk Ormas.
Lebih tepatnya di Pasal 83A pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang memang tidak tercantum frasa ‘UKM’ dan ‘perguruan tinggi’. Oleh karena itu, revisi kebut semalam yang digelar secara tertutup oleh DPR, bertujuan memperlebar pemberian konsesi tambang.
Meskipun dalam revisi ini ada kerancuan hukum. Undang-undang yang secara hierarki berada di atas mengakomodir aturan yang di bawah dalam hal ini berupa peraturan pemerintah. Sehingga payung hukum yang menjadi cantolan aturan konsesi tambang pada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, diselundupkan beberapa pasal dengan cara merevisinya.
Adapun pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi terdapat pada Pasal 51A yang diletakkan di antara Pasal 51 dan Pasal 52 sebagaimana berikut: (1) WIUP Mineral logam atau Batubara dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. (2) Pemberian dengan cara prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan: luas WIUP Mineral logam atau Batubara; status perguruan tinggi terakreditasi; dan peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP Mineral logam atau Batubara dengan cara prioritas kepada perguruan tinggi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Usulan revisi tersebut telah salah kaprah dari apa yang sudah jadi kewajiban perguruan tinggi pada tri dharmanya. Walaupun ada saja perguruan tinggi yang siap menerima pemberian konsesi tambang. Seperti contoh Universitas Negeri Padang (UNP) yang percaya diri memiliki kapasitas sumber daya manusia cukup mumpuni dalam mengelola pertambangan (bbc.com, 21/1/2025).
Padahal sudah jelas, dampak yang ditimbulkan dari pertambangan sering kali tidak memberi jaminan kemanfaatan bagi masyarakat sekitar. Narasi yang selama ini selalu didengungkan di publik tentang iming-iming terbukanya lapangan pekerjaan, ganti rugi tanah dengan harga mahal, hingga mitos tidak akan impor pekerja luar negeri hanya pemanis kepastian. Lagi-lagi masyarakat yang tetap dijadikan korban andalan oleh pemerintah dalam merusak alam.
Penjajahan berbasis Regulasi
Adanya pemberian konsesi tambang untuk Perguruan Tinggi (PT), bukanlah sekadar kabar baik yang langsung dapat diterima secara cuma-cuma. Pasalnya perguruan tinggi sebagai lembaga akademik yang hingga kini tetap kritis dalam mengontrol kinerja pemerintah secara perlahan mulai dijajah.
Bentuk penjajahannya bukan kontak fisik lagi, melainkan dengan regulasi yang menjebak agar tunduk pada pemerintah. Termasuk dengan memberi konsesi tambang melalui revisi UU Minerba.
Dari regulasi tersebut, pemerintah tidak lagi bersusah payah untuk melemahkan perguruan tinggi. Sebab dengan mengambil jatah konsesi tambang, perguruan tinggi akan mengalami ketidakberdayaan dalam menghadapi kebijakan pemerintah yang menyimpang.
Apalagi instrumen penjajahan ini telah memiliki keterkaitan dengan kondisi keuangan yang ada di perguruan tinggi. Memang tidak semua perguruan tinggi mampu mencari ladang pendapatan untuk memenuhi kebutuhan internal lembaga. Selain tetap mengandalkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dari mahasiswa.
Bagi perguruan tinggi berstatus swasta yang notabene dikelola dan diselenggarakan oleh pribadi masyarakat, tentu butuh asupan dana dari eksternal lembaga.
Tidak terkecuali juga Perguruan Tinggi Negeri (PTN)yang berstatus Satuan Kerja Kementerian (Satker), Badan Layanan Umum (BLU) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH).
Oleh karena itu hadirnya revisi UU Minerba, bagi perguruan tinggi bisa saja dianggap sebagai peluang untuk menambah pendapatan lembaga. Hanya saja, apabila usulan konsesi tambang tetap saja dimasukkan dalam revisi UU Minerba, maka sama halnya perguruan tinggi dipaksa turut serta mendukung kerusakan alam.
Konsolidasi Perguruan Tinggi Menolak Jatah Tambang
Pendidikan terkait pelestarian alam yang diajarkan di perguruan tinggi kiranya sudah dibahas tuntas, bahkan materi ekologi telah tertanam di otak civitas akademik. Meskipun dalam praktiknya masih saja jauh menyimpang dari teori.
Karena mempunyai prinsip tidak merusak alam sungguh sulit. Terlebih dengan diberinya jatah tambang oleh pemerintah, butuh komitmen secara serentak dalam menyatukan ide antar perguruan tinggi untuk konsolidasi menolaknya. Tak pandang baik itu perguruan tinggi swasta maupun negeri, selagi setuju tidak mau merusak alam, perlu ikut menolak.
Sebab dengan mendominasi menolak jatah tambang, dapat memengaruhi sikap institusi pendidikan lain. Sehingga tidak menular pada calon-calon institusi yang kemungkian juga sudah disiapkan akan diberi jatah.
Jika konsolidasi penolakan jatah tambang telah dilakukan, maka sikap perguruan tinggi sudah jelas. Bahwa institusi pendidikan bukan kelembagaan yang selalu membebek. Sesekali juga menolak.
Dengan demikian, sejak diusulkannya pemberian jatah tambang untuk perguruan tinggi sudah salah kaprah. Sebab perguruan tinggi tugasnya bukan malah mempertegas dominasi kebobrokan nalar kebijakan dari pemerintah.