Penulis Cerpen: Gita Pamuji
Agitasi.id- Walau Kristian dan Fandi telah pulang ke kost masing-masing, jejak perdebatan mereka di otakku masih riuh. Hal yang paling membuat rasa kopiku hambar dalam setiap seruputannya adalah ceracau Kristian, seorang mahasiswa mu’allaf “Universitas Islam Negeri Habrakatarba Absolut Berjem (UIN HAB)” yang sedang kecewa pada perilaku pimpinan kampusnya.
Siapa sebenarnya pimpinan kampus dan ketua LPPM yang dibicarakannya? Rasanya, sangat tidak mungkin, dosen dan tokoh perguruan tinggi memiliki perilaku bobrok di luar ajaran agama. Bagiku, selain kiai pesantren, yang pantas ditauladani oleh masyarakat Indonesia adalah dosen perguruan tinggi Agama yang tentu juga paham ajaran Islam.
Apalagi setahuku, UIN HAB adalah kampus yang menjunjung tinggi kajian Islam Nusantara. Rasanya, tak masuk akal, jika pimpinan dan dosennya melakukan aksi politis yang tercela.
Siapa sebenarnya rektor dan ketua LPPM UIN HAB yang dibicarakan Kristian? Sebagai, seorang pengamat pendidikan, otakku sudah lama tak berkunjung pada kabar-kabar terbaru kampus yang berlokasi di daerah Limang Berjem ini. Informasi terakhirnya, Sang Rektor atas nama Joko Midoro telah diganti.
Sebab kopi masih tinggal separuh dan ampas-ampasnya di dasar cangkir belum terlihat, aku menyempatkan diri menarikan jari di laman google. Di kolam pencarian, ku tulis key words, “Rektor UIN HAB”.
Hasilnya membuatku terkejut, foto yang tampil di hasil pencarian adalah gambar wajah ayahku sendiri. Rasa rindu tiba-tiba menebal di dadaku, menjadi buih-buih air mata yang berat ditahan untuk tak jatuh. Pahit dan tentu malu rasanya mengingat bait demi-bait ceracau perdebatan Kristian dan Fandi tadi.
Sosok yang mereka anggap jahat, darahnya mengalir di dalam dagingku. Aku adalah putra bungsu dari rektor yang diduga Kristian berbuat licik.
Benar memang, tidak semua orang tahu nama asliku. Teman bahkan keluargaku banyak yang memanggilku “Kaso”. Tak ada yang mengerti bahwa nama lakob tersebut merupakan singkatan dari “Karim Soeharto Zein”.
Nama ibuku, Siti Malikiyah, salah seorang istri sirri Soeharto Zein yang saat ini menjabat sebagai Rektor UIN HAB itu. Sudah lama, aku dan ibu tak bertemu dengannya. Kira-kira telah lima tahunan, terhitung sejak beliau bertengkar hebat dengan ibu soal jabatannya di era orde baru.
Walau sudah lama ditinggalkan, bagiku ayah tetaplah ayah. Sejahat-jahatnya ayah dibicarakan orang, daging dan darahku tetap bagian dari dirinya.
Air mata tiba-tiba mengucur di pipiku. Kehidupan ini rasanya tambah rumit. Selain tertekan karena menjadi anak dari istri sirri, juga harus menanggung kekecewaan pada tindakan ayah sendiri yang dianggap licik banyak orang. Kenapa nasibku seburuk ini?
Tak sabar melihat jejak dan tindak-tunduk ayah dari berbagai media, akhirnya aku memutuskan untuk berkomunikasi dengan Fandi. Ku yakin Fandi, sebagai seorang senior di organisasi yang sama dengan ayahku, tentu tahu betul kasus yang sedang terjadi.
“Salamu’alikum Mas Fandi. Sudah tidur?”, salamku menyapanya melalui nomor kontak Whatsappnya yang sudah lama disave.
“Walaikum salam boy Kaso, ada apa? Tumben WA?”, balasnya seketika setelah beberapa detik pesanku centang biru.
Aktivis yang sering memanggilku boy ini, ternyata belum tidur. Benar prediksiku, curhatan Kristian tentang tindakan ketua LPPM dan liciknya program riset ratusan juta itu, pasti telah membuat pikirannya berat.
“aku mau nanyak mas, benar ta rektor UIN HAB itu lagi mendapat riset ratusan juta. Kebetulan tadi, aku duduk di sampingmu mas. Tentu aku dengar semuanya”, tandasku bertanya penuh penasaran.
“lo, iya tah? Maaf boy tadi fokus, sampai tidak sadar. Wah kalau seorang jurnalis tanya, harus hati-hati ini boy, hehe”, balasnya.
Tampak, ia sangat hati-hati menanggapi masalah ini. Apalagi dia mengenalku saat dulu meliput aksi demonstrasi tentang masalah RTRW Berjem. Mungkin, ia menyangka aku akan meliput masalah tersebut.
“terkait masalah itu, ya benar boy. Namun belum bisa dipastikan. Ada indikasi semua ini ulah dari ketua LPPM. Abi al Adzin, yang merupakan sisa-sisa nepotis dan kolusi orde baru. Bagaimana pun rektor dan ketua LPPM sangat dekat. Kan dulu dia tim pemenangannya. Soeharto Zein sebagai rektor cukup tidak berkutik pada usulannya. Termasuk mengambil jatah penelitian yang terkesan nepotis itu”, ujarnya panjang lebar menjelaskan.
Agak tenang ku mendengar. Walau ayahku rektor, ia tampak tidak berkuasa dalam menolak kehendak jahat orang lain. Itu artinya, yang jahat bukan ayahku, namun orang yang oleh Kristian dipanggil Abi al Dzin itu.
“intinya, saat ini Abi Al Dzin sebagai ketua LPPM telah lama dianggap memperkaya diri sendiri. Selama menjabat, setiap tahun, ia dan kroni-kroninya berkolusi dalam program penelitian. Mungkin sudah ratusan juta. Sebagai ketua, ia sering mengumumkan karyanya sendiri yang terbaik dan layak mendapatkan dana. Penilaian program penelitian penuh kolusi, tak objektif boy. Lucu tapi menjengkelkan”, catatnya memperinci masalah.
Aku hanya terheran dan jadi penasaran pada sosok ketua LPPM yang diceritakannya. Pasti, kehebatannya melebihi ayahku. Walaupun ayahku rektor, tampak tak berkutik untuk lepas dari cengkeraman kolusinya.
Kehebatan Joko Midoro, sang pemimpin orde baru yang saat ini telah sakit-sakitan, tampak telah diwariskan pada Abi al Dzin. Bahkan telah dikembangkan menjadi kelicikan yang paripurna.
Sehebat-hebatnya Joko Midoro tak mampu menguasai struktur kekuasaan di atasnya. Beda dengan ketua LPPM UIN HAB saat ini, tidak hanya rektor yang dikerangkeng, kata Fandi, konon ia juga pengusaha dan mafia yang sakti.
“bukan hanya penelitian yang diembat. Kabarnya, ia memiliki ilmu malih rupa seperti tokoh-tokoh hebat jaman kerajaan. Dari dosen, bisa tiba-tiba jadi politisi, pengusaha, bahkan mafia. Kemarin saja, pengadaan nasi cathering untuk konsumsi ribuan anak KKN yang umumnya dipesan ke banyak warung, diarahkan untuk memesan di rumahnya sendiri. Keuntungan dan tujuannya, hanya untuk menguatkan income sendiri. Hebat pokoknya!. Semakin kaya dan sepertinya telah bersayap uang kertas”, ujarnya dalam voice note.
Mendengar penjelasannya, aku semakin penasaran. Sepertinya, sosok Abi al Adzin benar-benar jadi sumber masalah UIN HAB. Tak heran, jika Kristian kecewa.
Sebagai anak kandung Soeharto Zein, mestinya aku ikut membantu Fandi, Kristian dan tentu juga ayahku sendiri, untuk melepaskan kerangkeng jenis manusia akademis yang sakti ini.
“Wah benar-benar sakti. Agendakan ngopi dong, ajak Kristian. Saya kok ikut prihatin dan ada hal yang ingin ku ceritakan padamu,” ucapku dengan voice note.
“Ok boy Kaso! Senin sore di tempat biasa. See U”, chatnya mengakhiri.
Kopiku ternyata telah menggigil, namun tentu tetap ku seruput hingga ampasnya nongol.
Waktu telah larut pagi, terdengar tarhim sudah mendendang di tiap toa masjid. Aku pun bergegas pulang dengan harapan “orang-orang baik akan terus berlipat ganda, begitupun kebenaran yang berupaya dikubur, tetap akan berkembang biak”.