HUKUM DAN KEDAULATAN RAKYAT

AGITASI.ID – Indonesia adalah salah satu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Di negara Indonesia hukum memiliki kekuasaan tertinggi yang tidak bisa dilanggar oleh apapun, hal ini diterapkan agar penguasa tidak semena-mena dalam memimpin. Jadi di dalam UUD 1945 tersebut rakyat sudah dapat dikatakan memiliki kekuasaan atas negaranya dan itu bersifat paten.

Teori-teori tentang kedaulatan rakyat menjadi teori yang cocok jika disandingkan dengan negara demokrasi (yang berhukum). Teori yang memposisikan rakyat berada pada puncak kekuasaan ini dicetuskan oleh 3 tokoh filsuf terkenal, yaitu Johannes Althusius, Montesquieu dan John Locke. Faktor yang membuat teori ini menjadi teori yang cocok dalam demokrasi adalah persepsi yang menekankan bahwa sesungguhnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara bukan penguasa.

Bacaan Lainnya

Dalam hal ini, Indonesia mulai menciptakan sistem rantainya sendiri yaitu dari rakyat ke penguasa, penguasa ke hukum dan hukum ke rakyat serta akan terus berputar hingga mencapai kesejahteraan rakyat yang diinginkan, begitulah kiranya teori kedaulatan rakyat yang ada di Indonesia. Namun realitanya tidaklah begitu, meski secara umum, dimata hukum semuanya setara untuk setiap orang, tetapi penguasalah yang paling memiliki kesempatan besar dalam menghapus kesetaraan tersebut dengan dasar status sosial, kekayaan, etnis, dan lain lain.

Jadi penguasa dapat menempatkan dirinya diatas hukum (above to the law), hal ini menjadi faktor penyebab sistem rantai Indonesia berganti dimana hukum akan ada dibawah kehendak pemerintah karena pemerintah yang menerbitkan hukum tersebut.

Baca Juga :  DASA CITA UIN KHAS JEMBER; Green and Smart Campus Bisa Hanya Jadi Monster Masyarakat, Buto Ijo

Bukti nyata sistem rantai Indonesia mulai berganti adalah banyak kasus pemerintah yang semena-mena kepada rakyat, baik kasus pidana restorative justice yang gagal seperti kasus nenek asyani dengan vonis lebih berat dari koruptor, hingga pembentukkan hukum yang melanggar aturan UUD 1945 di RUU Cipta kerja. Anomali ini membuat teori kedaulatan rakyat di Indonesia tergerus sedikit demi sedikit, dan sedikit demi sedikit menumbuhkan kembali hukum dalam diskursus Marxisme, yang menurutnya hukum dalam sistem kapitalisme semata-mata alat penguasa untuk menindas rakyat banyak (hukum sebagai alat penindas).

Hukum semacam ini ada pada masyarakat yang terbagi atas kelas-kelas, yaitu kaum borjuis (para pemilik modal) dan kaum proletar (rakyat banyak) yang tertindas. Artinya teori ini menekankan terciptanya masyarakat tanpa kelas atau masyarakat komunis hingga hukum tidak diperlukan lagi.

Hal itu tidak bisa diwujudkan ditanah air Indonesia, sebab Indonesia adalah negara republik dan menjadi negara yang menerapkan paham konstitusionalisme sehingga juga bisa disebut negara konstitusi. Mengingat marxisme bertentangan dengan takdir alamiah manusia yang senantiasa memerlukan ketertiban dan keteraturan (regularity). Untuk itu diperlukan aturan-aturan bersama (hukum), seperti ditulis Cicero: “ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Tidak ada masyarakat tanpa hukum.

Maka dari itu sudah saatnya para pemikir dan penguasa di tanah air kita berpikir dan menjalankan konsep-konsep alternatif yang prinsipil antara lain menguji kembali dasar-dasar pemikiran para founding fathers kita. Bukan hanya main petak umpet dari berbagai krisis dunia sekarang ini.

Hal lain yang tidak kalah penting yaitu cara (prosedur) membuat hukum agar tidak menjadi alat kekuasaan. Substansi hukum yang hanya dibuat untuk menjadikan negara oligarki, dapat dipastikan akan mengesampingkan kepentingan rakyat atau kepentingan pemerataan peri kehidupan yang sehat dan beradab (politik, ekonomi, sosial dan Iain-lain). Serta perlunya pembenahan terkait substansi hukum yang sebenar benarnya adalah untuk rakyat, agar sistem rantai di Indonesia dapat tersambung kembali.(*)

Baca Juga :  DEKAT DENGAN ELITE FAKULTAS ADALAH JAWABAN BAGI NELANGSANYA MAHASISWA HUKUM DI UIN KHAS

Penulis : Roudlotul Atfal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *