AGITASI.ID – Sejak peristiwa ditangkapnya hakim agung oleh KPK yang terjadi beberapa bulan lalu, Presiden Jokowi meminta kepada Menkopolhukam untuk merumuskan reformasi hukum yang ada di tanah air. Sebagaimana surat keputusan Menkopolhukam Nomor 63 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Reformasi Hukum telah dibentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum yang mana di dalamnya tak hanya dari internal tetapi juga dari eksternal pemerintah.
Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dibentuk pada 23 Mei 2023 dengan pembagian 4 tim kelompok kerja (pokja), meliputi Reformasi Lembaga Peradilan dan Penegakan Hukum; Reformasi Hukum Sektor Agraria dan Sumber Daya Alam; Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; serta Reformasi Sektor Penataan Peraturan Perundang-undangan.
Tepat ditanggal 14 September 2023, Tim tersebut telah menyerahkan hasilnya kepada Presiden Jokowi. Ada banyak rekomendasi dari masing-masing tim kelompok kerja dengan kemudian Jokowi meminta agar dibuat skala prioritas untuk bisa segera ditindak lanjuti. Oleh karena itu, menurut penulis ada beberapa rekomendasi yang masih perlu untuk dikaji ulang sebelum ditindak lanjuti.
Adapun rekomendasi yang telah dirumuskan diantaranya : Pertama, dari kelompok kerja Reformasi Lembaga Peradilan dan Penegakan Hukum menyebutkan perlu diadakan penilaian kembali terhadap pejabat yang sekarang menduduki posisi strategis, entah di Polri, Kejaksaan, Peradilan dan Lembaga Permasyarakatan. Pengembalian Independensi Mahkamah Konstitusi, Revisi UU KPK, UU Narkotika, UU ITE serta UU Perdata. Selanjutnya, perihal pembatasan penempatan anggota Polri di kementrian, dan lembaga termasuk di BUMN.
Tapi patut kita pahami kembali, meski rekomendasi itu diusulkan ke Presiden, kita tak boleh lupa bahwa birokrasi pemerintah serta dibarengi dengan sarang mafianya bukan tidak mungkin akan tambah melebar dan tidak kekurangan akal untuk bagaimana melemahkan serangkaian agenda Tim Percepatan Reformasi Hukum. Berbicara tentang penilaian kembali terhadap pejabat seakan-akan itu sekedar formalitas. Paling mentok jika tidak lulus penilaian, nanti penyelesaiannya ke lobby atau nggk gitu main sogok uang.
Sekalipun rekomendasi itu sudah diupayakan, kalau orang-orang yang menjabat didalamnya tidak benar-benar kuat dengan godaan nafsu cuan haram, ya percuma saja rekomendasi itu diusulkan.
Kedua, Kelompok Kerja Reformasi Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam. Terkait hal ini, tawaran rekomendasi yang diusulkan meliputi, Percepatan pembuatan satu peta untuk rujukan penyelesaian konflik, Percepatan pengesahan RUU masyarakat hukum adat, Pembentukan satgas percepatan penyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam, Peningkatan perlindungan pembela HAM dan lingkungan melalui aturan di Polri dan KLHK.
Indonesia masih merupakan salah satu pasar transaksi oligarki dengan pihak pejabat negaranya sendiri, jadi selama oligarki itu masih menjadi prioritas negara jangan harap konflik agraria itu selesai. Bahkan lewat instrumen apapun penyelesaiannya, jangankan satgas, masyarakat sendiri aslinya mengerti jika sudah menyoal hak kepemilikan tanahnya dirampas. Belum lagi pembahasan peningkatan perlindungan pembela HAM, mau ditingkatkan seperti apapun, kalau pemerintah dan aparat hukumya tidak memperhatikan beberapa kasus HAM di Indonesia, maka bisa dianggap rekomendasi itu hanya sebagai endorse regulasi yang belum tentu dijalankan.
Rekomendasi Ketiga dari Kelompok Kerja Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam persoalan ini, rekomendasi yang disodorkan perihal Pemantauan penerapan aturan kewajiban publikasi laporan penerimaan sumbangan dana kampanye, Pemanfaatan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) sebagai pertimbangan jenjang karir, Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatur sektor swasta, Percepatan pembahasan RUU perampasan aset hasil tindak pidana. Nah ini yang ditunggu-tunggu, polemik korupsi yang kemungkinan insyaallah sampai hari kiamat tak kunjung hilang dan terus merajalela bahkan beranak pinak. Memang untuk merubah permasalahan korupsi yang sudah karut-marut salah satunya dengan melalui merevisi UU nya. Namun PR nya dari rekomendasi itu lagi-lagi tetap pada penegak hukumnya, sebagus dan seideal apapun naskah akademik yang dibuat untuk persiapan revisi Undang-Undang, sedangkan yang diamanahi untuk menegakkannya tidak serius, penulis mengira jika rekomendasi itu tak lain hanya sebagai gertakan publik, iya kan. Bisa jadi gitu sih.
Bagi warga Indonesia tak asing lagi ditahun 2024 akan menghadapi tahun PEMILU yang mana mereka pasti diikutkan dalam tahap demi tahap di PEMILU, termasuk dalam tahap kampanye. Menanggapi terkait rekomendasi pemantauan penerapan aturan kewajiban publikasi laporan penerimaan sumbangan dana kampanye, sepertinya ada yang perlu kita telisik lagi artian sumbangan dana kampanye. Pasalnya, yang jadi pertanyaan ada kepentingan apa donatur itu menyumbangkan dananya. Apa lewat menyumbang itu kah donatur bisa meloloskan kepentingan pribadinya.? Jawab menurut nalar skeptis pribadi pembaca sendiri.
Rekomendasi terakhir terkait Reformasi Sektor Penataan Peraturan Perundang-undangan. Rekomendasi ini memuat tentang Pembentukan Tim Otoritas Peraturan Perundang-undangan, Penyusunan SOP pembentukan Perda untuk mencegah Perda bermasalah, Pembentukan pedoman penentuan sanksi pidana dalam pembentukan peraturan, Pembuatan dokumen terkonsolidasi untuk aturan yang direvisi dan dilakukan Judicial Riview. Memang setiap produk Undang-Undang itu berubah mengikuti perkembangan zamannya. Sebelum berbicara mengenai harus ada dokumen yang terkonsolidasi tentang Undang-Undang yang telah direvisi, ditahap revisiannya harus kita sorot terlebih dulu, siapa tau Undang-Undang yang akan direvisi itu transaksi janji politik pemerintah.
Dari kesekian rekomendasi tersebut, agenda reformasi hukum saat ini di pemerintahan Presiden Jokowi memang perlu dikawal lebih lanjut, karena sebentar lagi Jokowi akan lengser dan digantikan oleh presiden berikutnya, entah siapapun presidennya, gak ngurus.!
Harapan penulis, dari ide solusi mengembalikan integritas hukum beserta berbagai tawaran rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum tidak stagnan meski harus pergantian presiden. Khawatirnya, di Tahun 2024 meski harus pergantian Presiden, agenda reformasi hukum ini hanya dibuat dalih memperbagus track record kinerja Presiden Jokowi. (*)
Penulis : Fadli Raghiel