AGITASI.ID – Hidup sebagai Mas-Mas biasa berjiwa abu-abu memang menyebalkan, apalagi ditambah dengan perguruan tinggi yang serba nanggung, sampai-sampai aktivisnya pula juga ikut nanggung. Namun hal demikian tak mungkin saya pribadi yang mengalaminya, konon hampir semua mahasiswa hukum di kampus ini dihantui mimpi buruk yang sama, lebih-lebih menimpa mahasiswa sejenis saya. Tiap malam terbayang kemelaratan dan masa depan yang menyesakkan dada. Tapi jangan khawatir, segera jalin hubungan dengan petinggi kampus, karena itu adalah satu-satunya cara menuntaskan keburukan nasib Anda. Ya! Ini cara paling jitu.
Sudah dua tahun lamanya saya hidup di kampus ini, banyak hal yang saya peroleh, mulai dari pengalaman berorganisasi, bergaul seadanya, sampai dengan belajar hal-hal yang tak amat penting. Kendati demikian, beberapa akhir pekan ini saya mulai kepikiran soal nasib hidup, nanti usai lulus kuliah mau kemana ya? Kalo mau kerja, kerja apa? Kalo lanjut S2, uang darimana? kira-kira begitu, pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul di batin. Dibuatnya kepala pening dan sedikit mual susah tidur.
Ya wajar saja, usia saya sudah duapuluh tahun. Usia ini sering disebut sebagai usia paripurna, dimana kita semua dipaksa untuk segera menentukan mana yang penting dan mana yang tidak. Saya pun diusia ini masih terbilang cukup rilex, disibukkan dengan hal macam-macam. Berwarna tanggung jawab pun sudah mulai terasa berat di pundak, berteman sewajarnya, lebih sering jalan-jalan, selebihnya belajar jatuh cinta dan benar-benar kepikiran soal makhluk ‘nasib hidup’ ini.
Menjalani hari-hari sebagai mahasiswa hukum, yang secara adminitrasi masuk di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri KH. Achmad Siddiq (UIN KHAS), memanglah tak gampang. Sungguh banyak batu terjal menghadang, dengan cita-cita yang cukup melintang, saya coba hadapinya dengan tenang.
Dengan sebutan “mahasiswa hukum” di atas, saya mulai sedikit merefleksikan diri saat ini, benarkah saya mahasiswa hukum? Sepertinya masih jauh dari sebutan itu. Mahasiwa hukum biasanya keren-keren, berpenampilan rapi; rambut kilap bak kawat gigi, arloji pernik perak di tangan kiri, kenakan kemeja sana-sini. Dari beberapa indikator keren tersebut, sama sekali tak pernah saya jumpa, apalagi mewakilkan penampilan saya, kawan sendiri saja tak satu pun dengan ciri tersebut. Ini baru soal penampilan, sudah buat hati awak nelangsa.
Selain penampilan, yang jadi persoalan kedua adalah pemikiran, atau lebih gampangnya topik yang mewarnai diskusi dan orbrolan kami saat di tongkrongan. Selayaknya mashasiswa hukum, sudah seharunya alur topik perbincangan tak terlepas dari topik-topik hukum, isu-isu hukum terkini, atau minimal kenal dengan tokoh-tokoh pemikir hukum. Yang pada intinya tetap bersinggungan dengan nuansa hukum. Namun hal ini tak berlaku di circle kami, malah seringkali membahas pemikir-pemikir ekonomi, tokoh politisi revolusioner, dan banyak pembahasan lain yang bersinggungan dengan ilmu-ilmu langit. Tak paham juga kenapa gerangan bisa terjadi pada kami. Berpenampilan dengan gaya diskusi melewati batas ala filsuf, yang justru membuat orang lain beranggapan kami gila dan sedikit mesum, seringkali membuat kami jengkel, dan tersadar bahwa obrolan ini masih jauh dari kehidupan nyata. Dengan kesadaran demikian, kami malah merasa mirip dengan mahasiswa filsafat. Selebihnya semakin minder dengan sebutan “mahasiswa hukum.”
Berangkat dari kenelangsaan tersebut, saya semakin pesimis dengan harapan cita sejak awal memutuskan belajar di perguruan tinggi ini, khususnya bergabung dengan Fakultas Syariah, fakultas dengan kiprah pengetahuan dan skil pergulatannya di dunia hukum yang terdengar keren, entah benar-benar keren atau hanya medianya saja yang berlebihan.
Awal menjalani kehidupan sebagai mahasiwa hukum sangatlah buat hati sumringah. Bayang-bayang profesi dari jebolan mahasiswa hukum cukup terpandang elit. Menjadi hakim dengan gagahnya ketok palu, sang jaksa dengan tuntutan tajam tak pandang bulu, jika beruntung pula jadi pengacara ulung, layaknya Hotman Paris yang selalu dikelilingi wanita isuk dalu.
Kegembiraan dan harapan itu mulai terasa gagal, dan semakin jauh setelah saya memutuskan lebih banyak menggeluti dunia sastra dan filsafat sejak dua tahun silam. Mengabdikan diri pada organisasi sosial-kemahasiswaan pun jadi kesibukan. Tapi hal ini bukanlah masalah, rasa syukur lebih cocok mewakilinya, karena jelas saja jarang sekali spesies mahasiswa hukum di kampus lain seperti saya. Meskipun mereka keren, lebih banyak darinya memikirkan perut sendiri. Kalo begini caranya, apalah arti hidup tanpa melek sosial. Mirip binatang saja kata Pram
Namun lagi-lagi segala sesuatu yang berlebihan memang tak baik, rasa syukur yang berlebihan pun termasuk rumpunnya. Menjadi mahasiswa yang hidup di lingkup aktivisme, bukan berarti menghalangi keingin pribadi untuk kaya raya dan mapan cemepak. Keyakinan ini makin terasa kuat, setelah saya tak sengaja dengarkan cuplikan ceramah ulama yang hari ini populer dengan kemurnian tauhidnya. Gus baha! Blio lah yang telah mengembalikan keinginan untuk kaya pada insan naif ini. Lebih jelasnya, melalui teologi seorang muslim juga wajib punya harta. “Harta ditangan seorang muslim yang merasa punya iman, besar potensi untuk digunakan hal baik”, dawuhnya.
Untuk mewujudkan keinginan mapan ini, saya bingung mau melangkah darimana, dengan kepribadian yang sama sekali tak ada bakat usaha, membuat saya pragmatis ingin menggantungkan nasib saja. Tapi entah mau digantungkan ke siapa, senior saya sendiri pun yang terbilang masih waras, lebih banyak orang-orang yang konsisten pada prinsipnya “Berani miskin dan tidak populer, daripada kaya tapi maksiat, lebih-lebih meindas”. Ada pula beberapa dari mereka memilih melacurkan diri pada partai-partai politik, dan tatanan birokrasi lainnya yang sejak awal mereka masuk hanya berorientasi penghasilan. Bukan malah berjuang untuk rakyat. Golongan ini termasuk dalam catatan yang ingin sekali saya ludahi mulutnya. Benar-benar tikus got!
Kesulitan demikian membuat saya berpikir dan memutar otak lebih dari biasanya. Perlahan mengamati gerak-gerik seksama mahasiswa hukum di Fakultas Syariah. Ternyata hanya ada satu cara untuk menentukan nasib saya nanti, dan menjadi jawaban atas kenelangsaan ini. Dekat dengan petinggi-petinggi kampus! lebih tepatnya para jajaran elit fakultas. Betul! Dekat dengan merekalah solusinya.
Berkat datangnya jawaban tersebut, yang juga bisa disebut impen, saya kembali teringat salah satu dongeng Kang Mahbub tentang ‘kucing pasar dan kucing kantor.’ Kucing pasar kebanyakan kurus-kurus, bulunya jelek tak terawat, apalagi urusan makan, mereka hanya mencarinya saat lapar. Namun kekonsistenannya dalam berburu tikus jangan dipertanyakan. Berbeda dengan kucing kantor, body mereka gemuk-gemuk, bulunya rapi tersisir, selalu dapat jatah makan dari sang pemelihara, hanya bermodal penurut dan sering mengelus-eluskan bulu di kaki pejabat-pejabat kantornya, mereka sudah tak lagi memikirkan jatah makan datang darimana. Kehadiran mereka di kantor mungkin dibutuhkan untuk memberhangus tikus, tapi nampaknya mereka bingung tikus yang mana yang akan dieksekusinya. Konon di kantor tersebut ada dua jenis tikus: tikus yang berkaki dua, dan tikus dengan kaki empat yang sudah menjadi target untuk disingkirkannya. Ya memang sedikit sukar membedakan keduanya, apalagi untuk seekor kucing.
Kembali ke solusi di awal, apa untungnya menjalin relasi dengan elite fakultas? jelas banyak untungnya, selain bisa populer dengan jalur orang dalam, kehidupan mereka sebagai mahasiswa hukum terbilang cukup nyaman. Lebih jelasnya, berikut saya paparkan alasan kenapa dekat dengan elite fakultas adalah satu-satunya jawaban atas kenelangsaan ini, dan jadi cara jitu untuk memasrahkan nasib:
#Memperoleh perhatian lebih
“Tak kenal maka tak sayang” pepatah satu ini cukuplah jadi alasan. Semua mahasiswa hukum di Fakultas Syariah yang sama sekali tak dikenal oleh jajaran elite fakultas, pastinya lebih banyak berpotensi nelangsa seperti saya. Kurang kasih sayang dari mereka. Meskipun di rumah tak kurang rasa, di kampus pun kami membutuhkannya. Maklum, sejak kecil kita dididik bahwa sekolah adalah rumah kedua.
Mahasiswa yang hari ini terbilang dekat dengan para elite fakultas, cukup peroleh perhatian lebih, perkembangan dan perjalanannya dalam menggeluti dunia akademsi ataupun organisasi (kesayangan fakultas) terpantau jeli. Hal ini wajar, jika mereka tak berkembang, pastinya jadi beban moral. Poin plusnya, ini jadi dorongan untuk mereka tetap semangat belajar.
#Peluang kerja usai lulus kuliah
Tiap tahun dari sekian banyak mahasiswa yang lulus dari Fakultas Syariah, tak semua dari mereka peroleh kesibukan kerja. Mungkin diantaranya ada yang melanjutkan pendidikan pengacara, namun tanpa pemasukan nyata, malah putus di tengah jalan yang ada. Berbeda dengan mahasiwa yang sudah menjalin hubungan harmonis dengan elite fakultasnya. Mereka dapat arahan jelas, untuk sementara mengisi waktu memikirkan nasibnya lanjut kemana, ada pekerjaan baginya. Pekerjaan ini tak begitu sulit, hanya sekedar membantu kerja-kerja fakultas, entah tak paham jelas seperti apa. Yang lebih saya tahu mereka jadi tanduk media. Melantunkan inovasi Fakultas Syariah. Eksistensi lebih utamanya.
#Besar potensi dapatkan beasiswa S2
Menjadi mahasiswa dengan relasi yang cukup bagus dengan elite fakultas, cukup menjamin nanti usai lulus pasti tak susah untuk akses beasiswa S2, ini terbukti dari beberapa jebolan Fakultas Syariah, yang dimasa mereka kuliah terbilang cukup dekat dengan jajaran elite fakultas, menjadi tangan kanan orang-orang fakultas, yang pada intinya selalu pro kebijakan dan ide-idenya, mereka semua pasti bisa dengan mudah melanjutkan pendidikannya. Meskipun tak tahu persis usaha mereka seperti apa, namun kesimpulan ini cukup mewakili perjalannya, mengabdikan diri pada fakultas dengan imbalan nyata. Mungkin sedikit banyak mirip dengan kisah kucing kantor versi Kang Mahbub di atas, tapi lagi-lagi ini soal pilihan belaka.
Sudah cukup terang cara jitu ini di depan mata, bagi Anda yang merasa bernasib sama, segeralah jalani ritualnya, dan sampai sini saja nelangsanya.