Mauidhoh Kekuasaan : Janganlah Cemburu !

AGITASI.ID – “Cemburu” merupakan rasa yang bersitegang dengan “kenyamanan” dalam menjalani hubungan. Seperti halnya merasa akan datangnya ancaman, kehilangan, persaingan, kasih sayang yang mulai memudar, dan tentunya rasa khawatir yang begitu besar akan kehilangan orang yang kita sayang. Bukan soal hubungan atau kecemburuan dalam percintaan yang dimaksud, karena itu terlalu subjektif !.

Kecemburuan yang ingin penulis bahas untuk saat ini, ialah tentang rasa cemburu atas dasar etape kepemimpinan yang tak lagi terorganisir. Hal ini terjadi disebabkan faktor hilangnya kekuasaan dalam hangatnya kursi jabatan seorang pimpinan kampus, serta rasa khawatir yang begitu besar untuk tidak lagi mudah memberikan kebebasan kepada manusia yang dekat dengannya. Tak lupa, hal ini juga melahirkan ketidakpastian posisi struktural dan persaingan para intelektual, yang semestinya menjadi tanggung jawab moral dalam menjalani roda kepemimpinan.

Cemburu yang didasari oleh rasa haus akan kekuasaan, tanpa sadar dan merefleksikan pantas atau tidaknya saat ia menjadi pimpinan. Apalagi merasa tidak mendapatkan posisi yang ia inginkan dalam struktur kekuasaan. Hal ini yang akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam hubungan akademik, bahkan lingkungan kekuasaan pun tak akan berjalan maksimal.

Dalam memahami kehangatan kursi jabatan bisa dianalogikan dengan tegukan air laut yang kita telan dalam kondisi haus, apa yang terjadi ? Pasti tak akan ada rasa hilangnya kehausan dalam dahaga, melainkan kita akan terus merasa haus akan air mana lagi yang akan kita minum selanjutnya. Inilah nilai substansial dari kehausan manusia, yang tak pernah sadar akan pahitnya jabatan di saat tak lagi sesuai dengan apa yang diharapkan.

Penting bagi kita untuk selalu refleksi dan saling mengingatkan agar tidak merasa cemburu akan hausnya masa jabatan, yang nantinya akan merusak terhadap reputasi nilai kualitas hubungan dan kontrol kinerja kita, hanya demi kekuasaan semata. Maka dari itu, menjadi keharusan bagi kita untuk mengelola rasa kecemburuan yang ada, dengan menggunakan langkah cara sehat dan konstruktif, komunikasi demokrasi, pembagian kekuasaan sesuai dengan kapasitas dan kualitas masing-masing, dan tentunya dalam pengembangan kepemimpinan yang akan membangun organisasi (baca: dekanat atau rektorat) berkembang untuk lebih baik dalam menghadapi zaman-zaman yang tak lagi sama.

Baca Juga :  SUARA PEREMPUAN DI NEGERI PARA BEGUNDAL

Urgensi nilai untuk memahami secara seksama bahwa kekuasaan yang sehat ialah kekuasaan yang didasari oleh akal yang sehat, bukan didasari oleh hasrat yang sesat. Kekuasaan juga menjadi dasar untuk memajukan visi-misi dalam membangun lingkungan yang inklusif, bukan untuk memperkuat dominasi tanpa kualitas yang tak bisa dipertanggung jawabkan atau bahkan kontrol yang tidak sehat dikarenakan jabatan yang sesaat.

Penulis : Ikhsan Fani H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *